Parpol, DPR, dan Korupsi
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
30 Oktober 2015
Setiap kali anggota DPR tertangkap tangan ataupun ditetapkan
sebagai tersangka kasus dugaan suap dan korupsi oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, kita hanya bisa bergumam dan mengelus dada. Partai politik dan DPR
seolah-olah begitu sulit dipisahkan dari mata rantai isu korupsi. Mengapa?
Rasa terkejut kita belum benar-benar hilang atas penetapan
status tersangka bagi Sekretaris Jenderal Partai Nasional Demokrat (Nasdem)
Patrice Rio Capella, ketika tak lama kemudian tiba-tiba KPK mengumumkan hasil
operasi tangkap tangan terhadap Sekretaris Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura) di DPR Dewie Yasin Limpo. Patrice Rio Capella diduga menerima suap
dari Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho yang telah menjadi tersangka
kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) APBD
Sumut. Adapun Dewie Yasin Limpo, politisi Hanura dan adik kandung Gubernur
Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, diduga menerima suap untuk
"mengamankan" proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro di
Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua.
Menarik, baik Patrice maupun Dewie adalah anggota DPR dari dua
partai politik yang relatif baru, Nasdem, yang baru ikut Pemilu 2014 dan
Hanura yang telah ikut pemilu sejak 2009. Mereka baru genap setahun menjadi
anggota DPR 2014-2019. Selain itu, sebelum ditetapkan menjadi tersangka oleh
KPK, Patrice dan Dewie merupakan figur penting yang memegang posisi strategis
di partai masing-masing, yakni Sekjen Partai Nasdem dan Sekretaris Fraksi
Partai Hanura di DPR.
Parpol baru
sama saja
Kasus Patrice dan Dewie memperlihatkan bahwa wabah virus korupsi
tidak hanya menjangkiti partai-partai lama, tetapi juga menular ke
partai-partai baru. Ironi memang. Komitmen anti korupsi dan kampanye
berapi-api parpol baru dalam pemberantasan korupsi ternyata bertolak belakang
dengan realitas perilaku para politisi partai itu sendiri. Dengan kata lain,
komitmen anti korupsi, baik dari parpol baru maupun lama, bukanlah jaminan
bagi perilaku bersih politisi parpol di parlemen-nasional dan daerah-serta
juga pejabat eksekutif dari parpol di semua tingkat pemerintahan, pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota.
Para politisi parpol semestinya belajar dari pengalaman pahit
Partai Demokrat (PD) sebagai parpol relatif baru menjelang Pemilu 2009.
Mungkin karena terlalu berorientasi seremoni dan pencitraan, kampanye anti
korupsi PD dengan slogan "Katakan Tidak pada Korupsi" justru
berubah menjadi bencana "senjata makan tuan". Saat partai berlimpah
dukungan, dan bahkan kemudian berkuasa, sejumlah pejabat teras partai ini
ditangkap KPK karena terlibat korupsi, mulai dari ketua umum, bendahara umum,
wakil sekjen, pimpinan komisi di DPR, dan bahkan dua menteri yang menjabat
posisi strategis partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.
Dampaknya sangat drastis, partai pemenang Pemilu 2009 itu merosot di urutan
keempat dari 10 parpol peraih kursi DPR dalam Pemilu 2014.
Pengalaman pahit serupa menimpa Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Presiden PKS Luthfi Hassan Ishaaq akhirnya dihukum penjara karena terbukti
menerima suap dari pengusaha dalam rangka memengaruhi kebijakan kuota impor
daging sapi di Kementerian Pertanian. Luthfi, yang juga anggota DPR
2009-2014, tidak hanya mempermalukan partainya yang begitu getol mengusung
slogan "bersih dan peduli", tetapi juga membuka mata publik bahwa
partai agama dengan misi dakwah pun bisa tertular virus korupsi. Tidak
mengherankan jika citra publik PKS pun merosot sehingga berimplikasi pada
perolehan kursi di DPR yang berkurang signifikan, dari 57 kursi pada Pemilu
2009 menjadi 40 kursi pada 2014.
DPR dan
korupsi
DPR era Reformasi sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan DPR
periode Orde Baru yang dikenal dengan perilaku "5D" (datang, duduk,
dengar, diam, duit). Namun, citra buruk DPR hasil pemilu-pemilu demokratis
sejak 1999 sudah terbentuk sejak wabah korupsi menghinggapi para wakil rakyat
di Senayan. DPR disorot antara lain karena skandal suap dan korupsi yang
marak di komisi-komisi "basah" dan dugaan adanya mafia anggaran
yang bisa "mengatur" proyek-proyek pemerintah di Badan Anggaran
DPR. Selain itu, masih cukup segar dalam memori publik kasus aliran dana
haram Bank Indonesia terkait pemilihan Miranda S Goeltom sebagai Deputi
Gubernur Senior BI oleh Komisi IX DPR, dan sejumlah kasus suap dan korupsi
lainnya. Tidak mengherankan jika citra publik parpol dan DPR masih cenderung
buruk hingga saat ini. Seperti dikonfirmasi beberapa survei Tranparency
International Indonesia, parpol dan DPR masih berpredikat sebagai lembaga
terkorup selain institusi peradilan, seperti kejaksaan dan kepolisian.
Konsistensi KPK dalam mengungkap berbagai skandal korupsi itulah
tampaknya yang mendorong kalangan parpol di DPR begitu menggebu-gebu
mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Seperti
diketahui, UU KPK saat ini memungkinkan KPK melakukan penyadapan, penyitaan,
dan operasi tangkap tangan atas siapa saja yang diduga melakukan tindak
pidana korupsi, termasuk para wakil rakyat. Kewenangan KPK ini dianggap momok
yang menghambat "kebebasan" para wakil rakyat yang terhormat.
Dengan kata lain, UU KPK membatasi ruang gerak para politisi parpol di
parlemen untuk "berkreasi" sehingga peran lembaga anti rasuah
tersebut perlu dilumpuhkan.
Tidak mengherankan pula berbagai "kiat", atau tepatnya
akal-akalan, diciptakan para politisi DPR untuk mengail dana haram di tengah
gencarnya KPK mengusut dan menindak para koruptor. Dapat disebut, misalnya,
usulan DPR tentang Program Pembangunan Daerah Pemilihan (P2DP), atau populer
sebagai "dana aspirasi" sebesar Rp 20 miliar per anggota/per daerah
pemilihan. Terakhir, DPR meminta agar usulan dana alokasi khusus (DAK) fisik
APBN 2016 mendatang menjadi hak atau otoritas parlemen. Padahal, seperti yang
berlaku selama ini, usulan DAK, termasuk alokasi dan peruntukannya, berasal
dari pemerintah daerah.
Otoritas
distortif
Partai-partai politik yang lahir pada era Reformasi pada mulanya
adalah parpol dengan komitmen perubahan yang besar. Terlepas berbagai kekurangannya,
format politik dan ketatanegaraan baru, seperti tecermin dalam UUD 1945 hasil
amandemen, bagaimana pun harus diakui sebagai produk para politisi partai
hasil Pemilu 1999. Bersama berbagai elemen masyarakat sipil, parpol juga
berperan penting dalam proses transisi demokrasi bangsa Indonesia hingga hari
ini.
Akan tetapi, komitmen perubahan itu berangsur luntur dan
berhenti sebagai retorika ketika para politisi parpol di DPR semakin
memperluas otoritas mereka. DPR format baru hasil amandemen konstitusi tak
hanya memiliki otoritas legislasi, pengawasan, dan anggaran, tetapi juga
kekuasaan menyeleksi pejabat publik serta pimpinan dan anggota komisi dan
atau lembaga negara. Seperti terungkap dari kasus suap pemilihan Deputi
Gubernur Senior BI oleh Komisi IX DPR 1999-2004, otoritas distortif seperti
inilah yang akhirnya menjadi perangkap korupsi bagi para politisi parpol di
parlemen. Begitu pula, perluasan kewenangan Dewan dalam fungsi anggaran yang
akhirnya dikoreksi MK pada 2014, sangat berpotensi jadi lahan korupsi,
terutama bagi anggota Badan Anggaran DPR.
Komitmen parpol secara institusi tentu bukan satu-satunya
variabel korupsi. Faktor komitmen personal para politisi kita juga patut
dipersoalkan mengingat begitu mudahnya politisi parpol memperjualbelikan
otoritas yang mereka miliki. Problemnya, sebagian dari mereka masuk parpol
bukan untuk membela atau memperjuangkan suatu nilai luhur tertentu yang
diyakini, tetapi lebih sebagai cara instan untuk meraih popularitas secara
publik, "terhormat" secara sosial, dan "berlimpah" secara
ekonomi.
Sekali lagi tampak jelas di sini urgensi reformasi parpol, bukan
semata-mata dalam rangka demokratisasi internal, melainkan juga agar parpol
dan para politisi memiliki komitmen ideologis yang jelas bagi perbaikan
kehidupan kolektif. Terlalu mahal ongkos politik yang harus dibayar bangsa
ini jika parpol dan DPR didominasi oleh para politisi pemburu rente, pencari
status, dan penggila jabatan. Itu artinya, negara melalui APBN membayar mahal
mereka yang ternyata hanya sibuk mengurus dirinya sendiri. Semoga para
petinggi parpol lebih membuka mata hati mereka bahwa berbagai kasus korupsi
yang dilakukan politisi tak hanya mempermalukan diri sendiri, keluarga, dan
partai, tetapi juga sangat melukai hati rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar