Pelajaran dari Kebakaran Hutan dan Lahan
Dwikora Karnawati ; Rektor UGM
|
KOMPAS,
30 Oktober 2015
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,
dengan sumber daya hutan yang cukup signifikan melingkupi pulau-pulau besar terutama
Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Sumber daya hutan tersebut merupakan potensi
tidak ternilai sehingga jaminan kelestarian hutan yang bebas dari ancaman
kerusakan-termasuk dari kebakaran hutan dan lahan-mutlak dibutuhkan.
Bencana kebakaran hutan dan lahan sudah menjadi hal rutin.
Hampir setiap tahun kita disibukkan oleh bencana tersebut. Padahal, sistem
pengelolaan hutan di Indonesia sudah terbangun puluhan tahun, didukung para
profesional yang andal. Sangatlah ironis apabila kita tidak sanggup mengakhiri
rutinitas kejadian bencana ini. Apa akar permasalahan dari rentetan peristiwa
kebakaran ini?
Dapat dicegah
Kebakaran hutan sebenarnya dapat dicegah, dikontrol, dan
dikendalikan apabila faktor-faktor pemicu kebakaran dapat diidentifikasi dan
dipetakan sejak dini.
Kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh faktor alami ataupun
faktor manusia. Faktor alami meliputi lapisan gambut kering yang cukup tebal
dan sisa-sisa vegetasi kering.
Lahan gambut (peat land)
dicirikan oleh material organik cukup tebal, terbentuk dalam jangka waktu
lama yang menghasilkan tanah organik (organosol) yang apabila pada kondisi
kering sangat mudah terbakar.
Faktor berikutnya adalah kondisi iklim, di mana pada tahun ini
Indonesia mengalami periode kering lebih panjang dari kondisi normal akibat
adanya fenomena ENSO (El Nino Southern
Oscillation) khususnya El Nino. Periode kering yang cukup panjang akan
memicu serasah pohon, dahan, daun, ataupun lahan gambut yang sangat mudah
terbakar.
Selain itu, ada faktor non-alami sebagai faktor utama pemicu
kebakaran lahan gambut, yaitu aktivitas manusia membuka lahan dengan cara
membakar atau membuat kanal-kanal untuk mengeringkan lahan gambut.
Tim kajian gambut Universitas Gadjah Mada menyampaikan hasil
studinya tahun 2014 lalu, bahwa sebaran titik-titik api di lahan gambut
sangat dikontrol oleh sebaran jaringan kanal-kanal buatan. Kehadiran
kanal-kanal inilah, terutama di zona kubah gambut, yang memicu pengatusan air
bawah tanah di lahan gambut. Semakin luas jaringan kanal ini, makin bertambah
pula titik-titik api yang terjadi.
Berbagai sumber (Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Pertanian)
mencatat bahwa luas wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan mencapai
1,7 juta hektar. Total kehilangan akibat bencana tersebut di Provinsi Riau
mencapai Rp 20 triliun, belum termasuk wilayah lain di Indonesia.
Wilayah yang terpapar di Sumatera mencakup 25,6 juta penduduk,
sedangkan di wilayah Kalimantan mencapai 3 juta jiwa. Kebakaran hutan dan
lahan juga berdampak berat pada transportasi udara, pendidikan, kesehatan,
dan aktivitas ekonomi.
Selain kerusakan dan kerugian, kebakaran hutan dan lahan yang
meluas sangat sulit untuk dipadamkan dengan cepat. Hal ini disebabkan oleh wilayah
yang terbakar tidak hanya di permukaan, tetapi juga di bawah permukaan
(sub-surface).
Api yang membakar lahan gambut dengan ketebalan 1 meter-3 meter
sangat menyulitkan proses pemadaman dan membutuhkan volume air cukup banyak.
Untuk memadamkan api dengan luas 1 meter persegi dengan kedalaman api 30
sentimeter dibutuhkan 200 liter-400 liter air. Dengan air sebanyak itu, bisa
dibayangkan berapa volume total air untuk memadamkan api di 1,7 juta hektar
hutan dan lahan.
Mengurangi
risiko
Lalu bagaimana caranya mengupayakan pengurangan risiko kebakaran
lahan gambut berupa kerugian lingkungan, sosial, dan ekonomi yang terus
berlangsung secara sistemik ini?
Terkait upaya pencegahan kebaran lahan gambut dan hutan, UGM
telah melakukan kajian intensif selama beberapa tahun. Berdasarkan kajian
itu, tim studi gambut UGM merekomendasikan beberapa hal penting dan mendesak.
Antara lain, tindakan segera dalam kondisi darurat ini untuk pemadaman dan
penanganan dampak serta untuk evakuasi dan penanganan korban, baik kesehatan
maupun pendidikan bagi siswa di area terdampak.
Berikutnya penegakan hukum dan disinsentif ekonomi. Misalnya
dengan memberikan hukuman administrasi termasuk mencabut izin perkebunan dan
pembebanan biaya pemulihan lingkungan pada perusahaan. Hal lain menggugat
secara perdata untuk gugatan lingkungan hidup dan pidana untuk
pertanggungjawaban pidana korporasi.
Tindakan pencegahan lain adalah penanganan secara sistematis
jangka panjang dengan meninjau ulang dan menyempurnakan rencana induk
pengembangan kawasan lahan gambut, penataan ulang atau pembenahan tata ruang
lahan gambut, mengaudit saluran/kanal, dan menyempurnakan tata kelola tata
air di lahan gambut. Selain itu, mendesak untuk membuka data dan akses hasil
pemantauan lingkungan di lahan gambut, yang sebenarnya tersebar di pelbagai
instansi terkait.
Data gambut
Data tersebut berupa data kondisi dan sebaran gambut, kondisi
dan sebaran air bawah tanah di lahan gambut, serta sebaran kanal dan kualitas
lingkungan yang seharusnya terpantau oleh institusi yang memanfaatkan lahan
gambut selama bertahun-tahun. Data perlu diintegrasikan dan diakumulasikan
untuk menggambarkan kondisi permukaan dan bawah permukaan lahan gambut serta
perubahannya sehingga dapat memprediksi risiko dan mengupayakan mitigasi yang
tepat.
Di era serba digital ini, seharusnya data integrasi mudah
dilakukan dan diakses secara real time, baik melalui situs web maupun media
sosial. Dengan demikian, data kunci berupa perubahan kelembaban gambut
ataupun muka air tanah, profil dan ketebalan gambut, serta data yang
berdampak langsung pada publik, seperti curah hujan, kualitas, dan suhu udara
di kawasan lahan gambut, dapat dipantau langsung secara real time dari dash
board melalui berbagai media sosial atau situs web pemerintah.
Dengan cara itu, semua pihak dapat dengan mudah ikut memantau
berbagai gejala yang membahayakan sebelum bencana terjadi dan dapat segera
diupayakan peringatan dini, mitigasi, ataupun pengurangan risiko secara
tepat. Sangat disayangkan bahwa kekuatan Indonesia sebagai masyarakat
digital, dengan jumlah telepon pintar melampaui jumlah penduduk di beberapa
lokasi yang berpotensi kebakaran lahan, ternyata belum dapat memanfaatkan
kekuatan ini hanya karena sistem pemantauan dan peringatan dini gambut belum
terbentuk dengan dukungan data terintegrasi.
Penerapan
teknologi
Tidak kalah penting adalah penerapan teknologi untuk
pengendalian tata air di lahan gambut. Pengembangan kanal-kanal untuk
pengeringan air harus dihindari, kecuali untuk transportasi publik. Yang diperlukan
justru upaya memilih pola tanam yang tidak memerlukan pengeringan untuk lahan
gambut.
Audit kinerja dan kepatuhan berbagai pihak yang terlibat dalam
pemanfaatan lahan gambut juga penting untuk mencegah dan mengurangi risiko
bencana kebakaran lahan gambut.
Seluruh upaya mencegah atau mengurangi risiko kebakaran perlu
diatur dengan regulasi yang menjamin sinergi berbagai sektor dan pihak
terkait, serta menjamin harmonisasi berbagai peraturan untuk pengelolaan
lingkungan lahan gambut.
Pencegahan kebakaran lahan gambut dan berbagai risiko bencana
lainnya perlu kita pandang sebagai upaya investasi keberlanjutan dan
kenyamanan lingkungan, serta keselamatan umat manusia, jangan dipandang
sebagai biaya yang hilang sia-sia. Semakin serius kita tanamkan investasi
ini, semakin besar manfaat dalam kondisi lingkungan yang makin aman, nyaman,
dan produktif.
Oleh karena itu, perlu adanya peraturan dan sistem
"governance" yang menjamin adanya alokasi dana untuk program
pencegahan atau pengurangan risiko bencana kebakaran ini sebagai bagian dari
investasi di dalam proses bisnis pengelolaan lahan gambut.
Itulah beberapa hal yang perlu kita garap bersama, dengan
belajar dari serangkaian kesalahan yang berlangsung bertahun-tahun. Semoga
saja dengan mengubah paradigma pikir dari memandang upaya pencegahan sebagai
bagian dari biaya yang hilang, menjadi sebagai bagian dari investasi dalam
proses bisnis, akan menjadi gerakan untuk mencegah kebakaran hutan di masa
yang datang.
Semoga semua dapat kita lakukan secara efektif dengan melibatkan
berbagai pihak, baik swasta, masyarakat setempat, pemerintah daerah, maupun
pihak pengawas dalam hal ini pemerintah pusat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar