Menakar Harapan pada India
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 04 November 2015
India adalah salah
satu sahabat lama Indonesia sejak masa revolusi kemerdekaan. Karena sejarah
panjang tersebut, Pemerintah India dan Indonesia sepakat pada 2005 untuk
mengikatkan diri dalam skema kemitraan strategis.
Dengan jenis kemitraan
ini berarti tingkat harapan pada hasil kerja sama sangatlah tinggi. Namun
dalam pemerintahan Narendra Modi yang terpilih tahun lalu, kerja sama
kemitraan strategis ini tidak optimal baik dari sisi ekonomi maupun politik.
Memang kita menyadari bahwa dalam sebuah hubungan bilateral dua negara,
turun-naik hubungan perdagangan adalah hal biasa.
Namun di tengah
ekonomi dunia yang sedang melambat, menurunnya intensitas hubungankeduanegara
dapatmenjadi sinyal ada hal yang tidak berjalan dengan baik dalam hubungan
tersebut. Dalam konteks sejarah dan budaya, India dan Indonesia memiliki
modal dasar yang kuat. Misalnya dalam hal bahasa, diperkirakan tak kurang
dari 800 kosakata bahasa kasta tinggi dalam agama Hindu, yakni bahasa
Sanskerta, diadopsi bahasa Indonesia (seperti graha, cahaya, pahala,
kesatria, gita).
Sejumlah peninggalan
sejarah, sendratari, dan seni rupa mengakar pada budaya yang sama sehingga
sejumlah orang Indonesia pun tak segan menyematkan nama-nama Sanskerta pada
nama anak keturunannya. Itulah sebabnya seorang Wakil Presiden Mohammad Hamid
Ansari yang berkunjung ke Indonesia mengangkat tema yang terbilang romantis ”India and Indonesia: Soul Companion,
Strategic Partner” (India dan
Indonesia: Sahabat Kalbu, Mitra Strategis).
Pada tahun 2005
disepakati bahwa kedekatan hubungan bilateral India-Indonesia adalah sangat
penting untuk dibina, bahkan sampai di level strategis, dalam arti bentuk
kerja samanya bisa sampai di tataran membentuk aliansi atau persekutuan.
Setelah lebih satu periode, komitmen itu mulai menjelma menjadi kenyataan
pada 2011. Perdana Menteri India Manmohan Singh menyambut kedatangan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke New Delhi pada Januari 2011.
Lawatan SBY ke India
itu dibalas dengan kunjungan Manmohan Singh ke Bali, untuk menghadiri KTT
India- ASEAN dan KTT Asia Timur, dan ke Jakarta pada Oktober 2013. Pada 2011
itu pula neraca investasi dan perdagangan India- Indonesia membaik pesat.
Investasi dari India mengalir deras ke Indonesia dan surplus perdagangan
Indonesia ke India (yang didominasi tak kurang dari 75% produk mineral
khususnya batu bara dan produk kehutanan khususnya minyak sawit mentah) pun
membesar.
Di atas kertas,
hubungan Indonesia dan India semestinya terus dapat mencapai peningkatan.
Karena di bawah kebijakan Perdana Menteri Modi, politik luar negeri India
telah diarahkan dari Look East Policy menjadi Act East Policy . Kebijakan
Look East Policy dipelopori Perdana Menteri PV Narasimha Rao di awal 1990-an.
Konteks dari kebijakan tersebut antara lain dari bubarnya Uni Soviet,
berakhirnya Perang Dingin, mulai terbukanya China dan kepentingan untuk
mencari pasar baru selain mitra tradisional mereka.
Perubahan geopolitik
itu mengharuskan India untuk fokus pada pertumbuhan ekonomi. India mulai
menjalin hubungan yang lebih serius dengan negara-negara di Asia Timur.
Ketika PM Narendra Modi menang pemilu pada 2014, kebijakan ini mengalami
”revisi”. Mengutip pendapat Hillary Clinton, Modi menyatakan bahwa
pemerintahannya akan lebih proaktif terlibat dalam dinamika politik regional
di Asia Timur, termasuk masalah Laut China Selatan.
Artinya Modi
meninggalkan safe zone yang selama ini dijalankan dan masuk ke hal-hal yang
lebih berisiko, termasuk kemungkinan kerja sama keamanan dan menentukan
posisinya dalam konflik seperti yang terjadi di Laut China Selatan. Kebijakan
Act East Policy itu mendasarkan diri pada keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi
yang sekarang berada di Asia akan semakin meningkat apabila batas
infrastruktur yang menghambat ekspor-impor antarproduksi di tiap negara dapat
dihilangkan.
Dengan kata lain,
seperti halnya dengan China, India juga ingin membangun konektivitas yang
menghubungkanpasardiIndiadengannegaranegara Asia Tenggara. Masalahnya,
gagasan itu tidak dapat terwujud apabila masalah politik yang memanas seperti
di Laut China Selatan tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu,
India merasa penting untuk terlibat baik langsung atau tidak langsung dalam
mencari jalan keluar atas masalah tersebut.
Terkait dengan konteks
tersebut, sebagai catatan kecil, kita dapat melihat bahwa India telah
memikirkan konsekuensi ketika menetapkan diri ingin menjadi negara yang kuat
secara ekonomi dan politik, maka melibatkan diri dalam dinamika geopolitik
regional tidak bisa dihindarkan. Meski bukan termasuk negara yang bersengketa
seperti Indonesia, India mengambil jalan politik yang berbeda. India tidak
segan untuk menjalin hubungan lebih kuat dan mendukung posisi salah satu
negara yang bersengketa seperti Vietnam.
Dalam kunjungannya
tahun lalu, India memberikan pinjaman USD100 juta dengan bunga 2% untuk
modernisasi angkatan bersenjata Vietnam. BUMN India ONGC Videsh Limited dan
Petrovietnam bahkan bekerja sama untuk melakukan eksplorasi beberapa blok
sumber minyak dan gas di perairan Laut China Selatan dan semakin
mengkhawatirkan China.
Indonesia tentunya
juga perlu memanfaatkan kebijakan politik luar negeri India yang baru itu
untuk memfasilitasi kepentingan kita. Hubungan ekonomi Indonesia-India dapat
dimaksimalkan lagi apabila masing-masing dapat mengidentifikasi komoditas apa
yang bisa dikurangi proteksinya. Hal ini perlu menjadi perhatian karena sejak
2013, BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) justru mencatat terjadinya
penurunan volume investasi dari India; besaran investasi per proyek pun
mengecil dengan drastis hingga 50%.
Memang dalam konteks
perdagangan India- ASEAN, Singapura yang lebih memetik keuntungan dari
kebijakan politik luar negeri tersebut. Apa yang menarik dari hubungan
perdagangan dengan India adalah Singapura melakukan reekspor produk-produk
yang diimpornya dari India. Apabila kita ingin mengambil jalan seperti
Singapura, liberalisasi jadi kunci.
Singapura yang lebih
unggul di sumber daya manusia tidak mengalami kesulitan dengan liberalisasi.
Ia tidak memiliki keunggulan komoditas yang harus diproteksi. Sebaliknya,
India harus menelan pil pahit karena Singapura banyak mengekspor ke India
barang-barang dari negara lain. Oleh sebab itu mungkin Indonesia perlu
membuat daftar hambatan-hambatan ekonomi apa saja yang terjadi dalam
perdagangan dengan India. Karena bulan November ini akan ada KTT ASEAN-India
yang diselenggarakan di Malaysia.
Dalam kesempatan itu,
kita perlu menegaskan langkah konkret yang harus dilakukan kedua negara agar
terjadi peningkatan hubungan ekonomi. Selain itu perlu diturunkan tim teknis
dari Indonesia untuk menelusuri potensi kerja sama investasi yang bisa
memperdalam nilai tambah produk-produk Indonesia di India maupun untuk ekspor
lanjutan ke negara-negara Asia Selatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar