Minggu, 08 November 2015

Menakar Harapan pada India

Menakar Harapan pada India

Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                KORAN SINDO, 04 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

India adalah salah satu sahabat lama Indonesia sejak masa revolusi kemerdekaan. Karena sejarah panjang tersebut, Pemerintah India dan Indonesia sepakat pada 2005 untuk mengikatkan diri dalam skema kemitraan strategis.

Dengan jenis kemitraan ini berarti tingkat harapan pada hasil kerja sama sangatlah tinggi. Namun dalam pemerintahan Narendra Modi yang terpilih tahun lalu, kerja sama kemitraan strategis ini tidak optimal baik dari sisi ekonomi maupun politik. Memang kita menyadari bahwa dalam sebuah hubungan bilateral dua negara, turun-naik hubungan perdagangan adalah hal biasa.

Namun di tengah ekonomi dunia yang sedang melambat, menurunnya intensitas hubungankeduanegara dapatmenjadi sinyal ada hal yang tidak berjalan dengan baik dalam hubungan tersebut. Dalam konteks sejarah dan budaya, India dan Indonesia memiliki modal dasar yang kuat. Misalnya dalam hal bahasa, diperkirakan tak kurang dari 800 kosakata bahasa kasta tinggi dalam agama Hindu, yakni bahasa Sanskerta, diadopsi bahasa Indonesia (seperti graha, cahaya, pahala, kesatria, gita).

Sejumlah peninggalan sejarah, sendratari, dan seni rupa mengakar pada budaya yang sama sehingga sejumlah orang Indonesia pun tak segan menyematkan nama-nama Sanskerta pada nama anak keturunannya. Itulah sebabnya seorang Wakil Presiden Mohammad Hamid Ansari yang berkunjung ke Indonesia mengangkat tema yang terbilang romantis ”India and Indonesia: Soul Companion, Strategic Partner” (India dan Indonesia: Sahabat Kalbu, Mitra Strategis).

Pada tahun 2005 disepakati bahwa kedekatan hubungan bilateral India-Indonesia adalah sangat penting untuk dibina, bahkan sampai di level strategis, dalam arti bentuk kerja samanya bisa sampai di tataran membentuk aliansi atau persekutuan. Setelah lebih satu periode, komitmen itu mulai menjelma menjadi kenyataan pada 2011. Perdana Menteri India Manmohan Singh menyambut kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke New Delhi pada Januari 2011.

Lawatan SBY ke India itu dibalas dengan kunjungan Manmohan Singh ke Bali, untuk menghadiri KTT India- ASEAN dan KTT Asia Timur, dan ke Jakarta pada Oktober 2013. Pada 2011 itu pula neraca investasi dan perdagangan India- Indonesia membaik pesat. Investasi dari India mengalir deras ke Indonesia dan surplus perdagangan Indonesia ke India (yang didominasi tak kurang dari 75% produk mineral khususnya batu bara dan produk kehutanan khususnya minyak sawit mentah) pun membesar.

Di atas kertas, hubungan Indonesia dan India semestinya terus dapat mencapai peningkatan. Karena di bawah kebijakan Perdana Menteri Modi, politik luar negeri India telah diarahkan dari Look East Policy menjadi Act East Policy . Kebijakan Look East Policy dipelopori Perdana Menteri PV Narasimha Rao di awal 1990-an. Konteks dari kebijakan tersebut antara lain dari bubarnya Uni Soviet, berakhirnya Perang Dingin, mulai terbukanya China dan kepentingan untuk mencari pasar baru selain mitra tradisional mereka.

Perubahan geopolitik itu mengharuskan India untuk fokus pada pertumbuhan ekonomi. India mulai menjalin hubungan yang lebih serius dengan negara-negara di Asia Timur. Ketika PM Narendra Modi menang pemilu pada 2014, kebijakan ini mengalami ”revisi”. Mengutip pendapat Hillary Clinton, Modi menyatakan bahwa pemerintahannya akan lebih proaktif terlibat dalam dinamika politik regional di Asia Timur, termasuk masalah Laut China Selatan.

Artinya Modi meninggalkan safe zone yang selama ini dijalankan dan masuk ke hal-hal yang lebih berisiko, termasuk kemungkinan kerja sama keamanan dan menentukan posisinya dalam konflik seperti yang terjadi di Laut China Selatan. Kebijakan Act East Policy itu mendasarkan diri pada keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sekarang berada di Asia akan semakin meningkat apabila batas infrastruktur yang menghambat ekspor-impor antarproduksi di tiap negara dapat dihilangkan.

Dengan kata lain, seperti halnya dengan China, India juga ingin membangun konektivitas yang menghubungkanpasardiIndiadengannegaranegara Asia Tenggara. Masalahnya, gagasan itu tidak dapat terwujud apabila masalah politik yang memanas seperti di Laut China Selatan tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu, India merasa penting untuk terlibat baik langsung atau tidak langsung dalam mencari jalan keluar atas masalah tersebut.

Terkait dengan konteks tersebut, sebagai catatan kecil, kita dapat melihat bahwa India telah memikirkan konsekuensi ketika menetapkan diri ingin menjadi negara yang kuat secara ekonomi dan politik, maka melibatkan diri dalam dinamika geopolitik regional tidak bisa dihindarkan. Meski bukan termasuk negara yang bersengketa seperti Indonesia, India mengambil jalan politik yang berbeda. India tidak segan untuk menjalin hubungan lebih kuat dan mendukung posisi salah satu negara yang bersengketa seperti Vietnam.

Dalam kunjungannya tahun lalu, India memberikan pinjaman USD100 juta dengan bunga 2% untuk modernisasi angkatan bersenjata Vietnam. BUMN India ONGC Videsh Limited dan Petrovietnam bahkan bekerja sama untuk melakukan eksplorasi beberapa blok sumber minyak dan gas di perairan Laut China Selatan dan semakin mengkhawatirkan China.

Indonesia tentunya juga perlu memanfaatkan kebijakan politik luar negeri India yang baru itu untuk memfasilitasi kepentingan kita. Hubungan ekonomi Indonesia-India dapat dimaksimalkan lagi apabila masing-masing dapat mengidentifikasi komoditas apa yang bisa dikurangi proteksinya. Hal ini perlu menjadi perhatian karena sejak 2013, BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) justru mencatat terjadinya penurunan volume investasi dari India; besaran investasi per proyek pun mengecil dengan drastis hingga 50%.

Memang dalam konteks perdagangan India- ASEAN, Singapura yang lebih memetik keuntungan dari kebijakan politik luar negeri tersebut. Apa yang menarik dari hubungan perdagangan dengan India adalah Singapura melakukan reekspor produk-produk yang diimpornya dari India. Apabila kita ingin mengambil jalan seperti Singapura, liberalisasi jadi kunci.

Singapura yang lebih unggul di sumber daya manusia tidak mengalami kesulitan dengan liberalisasi. Ia tidak memiliki keunggulan komoditas yang harus diproteksi. Sebaliknya, India harus menelan pil pahit karena Singapura banyak mengekspor ke India barang-barang dari negara lain. Oleh sebab itu mungkin Indonesia perlu membuat daftar hambatan-hambatan ekonomi apa saja yang terjadi dalam perdagangan dengan India. Karena bulan November ini akan ada KTT ASEAN-India yang diselenggarakan di Malaysia.

Dalam kesempatan itu, kita perlu menegaskan langkah konkret yang harus dilakukan kedua negara agar terjadi peningkatan hubungan ekonomi. Selain itu perlu diturunkan tim teknis dari Indonesia untuk menelusuri potensi kerja sama investasi yang bisa memperdalam nilai tambah produk-produk Indonesia di India maupun untuk ekspor lanjutan ke negara-negara Asia Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar