Bahasa dan Identitas Budaya
Donny Syofyan ; Dosen Sastra Inggris FIB Universitas
Andalas
|
KOMPAS,
31 Oktober 2015
Pernahkah Anda mengubah bahasa dalam berkomunikasi, seperti di
tempat kerja? Bila pernah, pernahkah Anda memperhatikan berbagai perubahan
dalam diri Anda?
Sebelumnya saya tidak ambil pusing dengan pertanyaan ini hingga
saya menemukan artikel singkat tentang apa artinya bila seseorang mengubah
bahasanya. Artikel itu berkisar mengenai seseorang yang mengubah bahasanya
dari "black English" (bahasa Inggris kulit hitam) sewaktu masih
kanak-kanak menjadi "educated English" (bahasa Inggris terdidik) di
saat ia dewasa.
Pada awalnya perubahan bahasa-yang melibatkan perubahan sistem
linguistik pikiran seseorang-adalah sebuah proses dramatis, walaupun mereka
yang mengalami perubahan ini tidak menyadari. Guy Bailey, pakar bahasa kulit
hitam dari University of Nevada di Los Angeles, Amerika Serikat, telah
mengkaji fenomena Ebonics atau Black
English Vernacular (BEV) selama beberapa tahun. Ini adalah varian bahasa
Inggris yang digunakan oleh kalangan masyarakat kulit hitan perkotaan di AS.
Menurut pendapat banyak pihak, termasuk Board of Education (Dewan Pendidikan) di Oakland, California,
black English bukanlah bahasa Inggris, melainkan suatu West and Niger-Congo African Language Systems. Dewan Pendidikan
Oakland tidak menginstruksikan sekolah-sekolah mengajarkan Ebonics dan
bersikukuh bahwa mereka mengerti bahasa BEV dan menggunakannya untuk membantu
siswa kulit hitam untuk mempelajari educated
English.
Kebijakan ini telah menyulut perdebatan hangat. Namun, sebagian
besar perdebatan ini cenderung mengabaikan hasil temuan riset linguistik yang
telah dilakukan selama beberapa tahun. Walt Wolfram, pakar bahasa dari
University of North Carolina, mengatakan, bahwa selama kurun 30 tahun black
English telah jadi varian bahasa Inggris yang paling banyak dikaji. Sementara
Bailey mengutarakan bahwa kajian-kajian tersebut telah menyuguhkan sumbangan
yang besar demi memahami perubahan dan perkembangan bahasa.
W Wayt Gibbs, ahli bahasa dari San Fransisco, dalam Journal of Scientifc American (1997) mendiskusikan sejumlah kontroversi
berkenaan dengan black English. Pertama, terkait perdebatan apakah BEV bagian
dari varian bahasa Inggris atau tidak. Salikoko S Mufwene dari Universitas
Chicago tidak sependapat dengan Dewan Pendidikan Oakland. Ia berargumen bahwa
mendefinisikan sebuah bahasa harus diletakkan pada bahasa si pengguna. Ia
yakin bila orang kulit hitam Amerika ditanya bahasa apa yang mereka ucapkan,
mereka akan menjawab, bahasa Inggris.
Dengan arti kata, Ebonics atau BEV atau black English adalah bahasa Inggris.
Kedua, apakah Ebonics slang atau tidak. Wolfram menyatakan,
"Slang berkenaan dengan kosa kata khusus yang sifatnya tertentu, dan
cenderung memiliki lingkaran hidup yang pendek. Misalnya, Wolfram
mengatakan, groovy adalah slang, tetapi he
done gone bukan.
Apakah black English masih dipersepsi menyimpang dari
"bahasa Inggris arus utama"? Kembali terjadi perbedaan pendapat.
Wolfram menyebut bahwa untuk setiap ciri khas black English yang kelihatan
menyimpang atau "bercabang", tetap saja ada ciri lain yang menyatu
atau "berkumpul". John Baugh, ahli bahasa dari Universitas
Stanford, menegaskan bahwa apa yang terlihat menyimpang dari ciri-ciri black
English pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk dari "tantangan
kebahasaan".
Ada sebuah pengakuan menarik dari Bailey, seorang warga kulit
hitam Amerika, dalam artikel Gibbs ini. Ia mengatakan, "Aku dibesarkan
di Alabama selatan dan orang pertama di keluarga ibuku yang masuk sekolah
tinggi. Ketika aku mulai kuliah dan mulai bicara dengan bahasa Inggris
terdidik, ada rasa seolah-olah aku telah mengkhianati kebudayaanku. Untuk
mendidik orang-orang dari latar belakang tidak berpendidikan hingga berhasil,
Anda harus mengerti bahwa mereka akan membayar harga yang mahal untuk
berbicara dengan cara yang berbeda. Mengatakan kepada mereka bahwa mereka
keliru saja bukanlah cara yang terbaik."
Penuturan ini menyadarkan saya mengenai perubahan bahasa dalam
kehidupan saya. Dimulai dari penggunaan bahasa Minang sebagai bahasa ibu
dalam pergaulan sesama sejak SD hingga SMA, bahasa Indonesia tatkala memasuki
jenjang perguruan tinggi hingga bahasa Inggris saat saya melanjutkan studi di
Australia. Saya tak pernah berpikir bagaimana perubahan bahasa ini
memengaruhi pola pikir dan rasa. Saya hanya tahu, secara gradual saya mulai
enggan menggunakan kalimat-kalimat majemuk dan lebih memilih kalimat-kalimat
singkat. Saya lebih menyukai gaya bahasa yang jelas dan ekonomis.
Saya belum tahu persis berapa jumlah bahasa daerah yang masih
bertahan di Indonesia. Yang pasti ada banyak dialek bahasa Indonesia.
Mencermati panorama kebahasaan ini, kita bisa mengatakan, terdapat kesatuan
dalam keragaman menyangkut
sistem-sistem bahasa di Indonesia. Pada saat bersamaan, kita telah dan tengah
dihadapi dengan problem bagaimana menciptakan keseimbangan antara kesatuan
dan kebinekaan. Kesan umum yang muncul: kita kerap memberi perhatian
"berlimpah" bagi kesatuan, tetapi abai pada upaya-upaya
mengembangkan harmonisasi keragaman.
Dapatkah bahasa jadi instrumen untuk mengatasi masalah ini? Jika
bahasa memang dapat memengaruhi pola pikir dan rasa, seyogianya jawaban
pertanyaan tersebut "bisa". Terlepas dari itu semua, bersatu dalam
menghadapi perbedaan sebenarnya adalah masalah pikir dan rasa. Persoalannya,
apa yang kita maksud hidup dalam semangat kesatuan dalam keragaman? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar