Rabu, 04 November 2015

Bahasa dan Identitas Budaya

Bahasa dan Identitas Budaya

Donny Syofyan  ;  Dosen Sastra Inggris FIB Universitas Andalas
                                                       KOMPAS, 31 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pernahkah Anda mengubah bahasa dalam berkomunikasi, seperti di tempat kerja? Bila pernah, pernahkah Anda memperhatikan berbagai perubahan dalam diri Anda?

Sebelumnya saya tidak ambil pusing dengan pertanyaan ini hingga saya menemukan artikel singkat tentang apa artinya bila seseorang mengubah bahasanya. Artikel itu berkisar mengenai seseorang yang mengubah bahasanya dari "black English" (bahasa Inggris kulit hitam) sewaktu masih kanak-kanak menjadi "educated English" (bahasa Inggris terdidik) di saat ia dewasa.

Pada awalnya perubahan bahasa-yang melibatkan perubahan sistem linguistik pikiran seseorang-adalah sebuah proses dramatis, walaupun mereka yang mengalami perubahan ini tidak menyadari. Guy Bailey, pakar bahasa kulit hitam dari University of Nevada di Los Angeles, Amerika Serikat, telah mengkaji fenomena Ebonics atau Black English Vernacular (BEV) selama beberapa tahun. Ini adalah varian bahasa Inggris yang digunakan oleh kalangan masyarakat kulit hitan perkotaan di AS.

Menurut pendapat banyak pihak, termasuk Board of Education (Dewan Pendidikan) di Oakland, California, black English bukanlah bahasa Inggris, melainkan suatu West and Niger-Congo African Language Systems. Dewan Pendidikan Oakland tidak menginstruksikan sekolah-sekolah mengajarkan Ebonics dan bersikukuh bahwa mereka mengerti bahasa BEV dan menggunakannya untuk membantu siswa kulit hitam untuk mempelajari educated English.

Kebijakan ini telah menyulut perdebatan hangat. Namun, sebagian besar perdebatan ini cenderung mengabaikan hasil temuan riset linguistik yang telah dilakukan selama beberapa tahun. Walt Wolfram, pakar bahasa dari University of North Carolina, mengatakan, bahwa selama kurun 30 tahun black English telah jadi varian bahasa Inggris yang paling banyak dikaji. Sementara Bailey mengutarakan bahwa kajian-kajian tersebut telah menyuguhkan sumbangan yang besar demi memahami perubahan dan perkembangan bahasa.

W Wayt Gibbs, ahli bahasa dari San Fransisco, dalam Journal of Scientifc American  (1997) mendiskusikan sejumlah kontroversi berkenaan dengan black English. Pertama, terkait perdebatan apakah BEV bagian dari varian bahasa Inggris atau tidak. Salikoko S Mufwene dari Universitas Chicago tidak sependapat dengan Dewan Pendidikan Oakland. Ia berargumen bahwa mendefinisikan sebuah bahasa harus diletakkan pada bahasa si pengguna. Ia yakin bila orang kulit hitam Amerika ditanya bahasa apa yang mereka ucapkan, mereka akan menjawab,  bahasa Inggris. Dengan arti kata, Ebonics atau BEV atau black English adalah bahasa Inggris.

Kedua, apakah Ebonics slang atau tidak. Wolfram menyatakan, "Slang berkenaan dengan kosa kata khusus yang sifatnya tertentu, dan cenderung memiliki lingkaran hidup yang pendek. Misalnya, Wolfram mengatakan,  groovy adalah slang, tetapi he done gone  bukan.

Apakah black English masih dipersepsi menyimpang dari "bahasa Inggris arus utama"? Kembali terjadi perbedaan pendapat. Wolfram menyebut bahwa untuk setiap ciri khas black English yang kelihatan menyimpang atau "bercabang", tetap saja ada ciri lain yang menyatu atau "berkumpul". John Baugh, ahli bahasa dari Universitas Stanford, menegaskan bahwa apa yang terlihat menyimpang dari ciri-ciri black English pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk dari "tantangan kebahasaan".

Ada sebuah pengakuan menarik dari Bailey, seorang warga kulit hitam Amerika, dalam artikel Gibbs ini. Ia mengatakan, "Aku dibesarkan di Alabama selatan dan orang pertama di keluarga ibuku yang masuk sekolah tinggi. Ketika aku mulai kuliah dan mulai bicara dengan bahasa Inggris terdidik, ada rasa seolah-olah aku telah mengkhianati kebudayaanku. Untuk mendidik orang-orang dari latar belakang tidak berpendidikan hingga berhasil, Anda harus mengerti bahwa mereka akan membayar harga yang mahal untuk berbicara dengan cara yang berbeda. Mengatakan kepada mereka bahwa mereka keliru saja bukanlah cara yang terbaik."

Penuturan ini menyadarkan saya mengenai perubahan bahasa dalam kehidupan saya. Dimulai dari penggunaan bahasa Minang sebagai bahasa ibu dalam pergaulan sesama sejak SD hingga SMA, bahasa Indonesia tatkala memasuki jenjang perguruan tinggi hingga bahasa Inggris saat saya melanjutkan studi di Australia. Saya tak pernah berpikir bagaimana perubahan bahasa ini memengaruhi pola pikir dan rasa. Saya hanya tahu, secara gradual saya mulai enggan menggunakan kalimat-kalimat majemuk dan lebih memilih kalimat-kalimat singkat. Saya lebih menyukai gaya bahasa yang jelas dan ekonomis.

Saya belum tahu persis berapa jumlah bahasa daerah yang masih bertahan di Indonesia. Yang pasti ada banyak dialek bahasa Indonesia. Mencermati panorama kebahasaan ini, kita bisa mengatakan, terdapat kesatuan dalam keragaman   menyangkut sistem-sistem bahasa di Indonesia. Pada saat bersamaan, kita telah dan tengah dihadapi dengan problem bagaimana menciptakan keseimbangan antara kesatuan dan kebinekaan. Kesan umum yang muncul: kita kerap memberi perhatian "berlimpah" bagi kesatuan, tetapi abai pada upaya-upaya mengembangkan harmonisasi keragaman.

Dapatkah bahasa jadi instrumen untuk mengatasi masalah ini? Jika bahasa memang dapat memengaruhi pola pikir dan rasa, seyogianya jawaban pertanyaan tersebut "bisa". Terlepas dari itu semua, bersatu dalam menghadapi perbedaan sebenarnya adalah masalah pikir dan rasa. Persoalannya, apa yang kita maksud hidup dalam semangat kesatuan dalam keragaman?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar