Jika Ribuan Artefak Itu Kembali
Fadly Rahman ; Sejarawan; Alumnus Pascasarjana Sejarah UGM
|
KOMPAS,
07 November 2015
Nusantara Museum di
Delft, Belanda, berencana akan mengembalikan 14.000 artefak dari berbagai
daerah di Indonesia ke Pemerintah Indonesia. Entah, apakah ini harus disikapi
cukup dengan suka cita atau justru malah memunculkan dilema tersendiri.
Sebagaimana dilansir
sejumlah media massa, alasan pengembalian ribuan artefak itu dikarenakan
pihak museum menghadapi kesulitan dalam perawatan. Kesulitan ini terkait
dengan masalah finansial yang dihadapi pihak museum beberapa tahun terakhir.
Nusantara Museum sendiri terpaksa ditutup pada tahun 2013 terkait faktor
kunjungan pengunjung yang kian sepi.
Pengurangan anggaran
untuk berbagai bidang oleh pihak Kementerian Pendidikan Belanda diduga
menjadi biang kemunduran lembaga-lembaga museum, perpustakaan, dan riset di
Belanda. Penyebabnya tidak bisa dilepaskan dari krisis moneter yang menerpa
Uni Eropa beberapa tahun silam.
”Angin segar” bagi siapa?
Pada April 2014,
Nusantara Museum akhirnya mengumumkan akan mendistribusikan
koleksi-koleksinya ke Prinsenhof Museum, Rijksmuseum Volkenkunde, dan
museum-museum lain, termasuk ke Indonesia.
Itikad pengembalian
14.000 artefak itu tentu angin segar bagi Indonesia. Artinya, ini kelak akan
menambah koleksi museum di berbagai daerah di Indonesia, mengingat
artefak-artefak itu ada yang berasal dari Pulau Jawa, Bali, Nias, dan Nusa
Tenggara.
Secara ideal, hal ini
jelas bakal memperkaya khazanah pengetahuan sejarah dan budaya bangsa bagi
masyarakat Indonesia. Pasalnya, selama ini banyak artefak (dan juga naskah
kuno) dari Indonesia yang disimpan sebagai koleksi di berbagai museum di
mancanegara. Maka, tidak heran, untuk keperluan riset sejarah Indonesia
sendiri, tidak sedikit peneliti Indonesia yang mau tidak mau mesti menelusuri
sumber primernya ke Belanda atau ke Inggris.
Selaku yang pernah
berkuasa di Indonesia, wajar jika Belanda (selain juga Inggris)
memboyong—bahkan menjarah—benda- benda sejarah dan budaya dari tanah
jajahannya. Sebagian besar di antaranya kini tersimpan dan terawat baik di
museum-museum di Eropa; tetapi tidak sedikit yang menjadi koleksi pribadi
para kolektor.
Sepintas rencana
pengembalian 14.000 artefak itu menjadi semacam ”angin segar” bagi Indonesia.
Akan tetapi, jika menyimak kembali kasus-kasus tidak sedap seputar nasib
benda-benda bersejarah di Indonesia, maka rencana itu kiranya perlu disikapi
secara saksama dan antisipatif.
Kasus tidak sedap itu
dapat dibuktikan dari sindikat penjualan harta karun peninggalan masa Dinasti
Ming dari abad ke-10 Masehi yang ditemukan di perairan Cirebon pada 2010
silam. Koleksi museum pun tak luput raib karena aksi pencurian. Tengok saja
kasus pencurian koleksi lima arca di Museum Radya Pustaka Surakarta (tahun
2007); dan juga pencurian koleksi empat artefak emas peninggalan masa Mataram
Kuno (abad ke-10-11 Masehi) milik Museum Nasional Jakarta (tahun 2013).
Dugaan adanya skandal
sindikat jual-beli koleksi museum yang beredar di pasar-pasar gelap benda
kuno di dalam dan luar negeri hingga akhirnya jatuh ke tangan-tangan
kolektor, tentu perlu diantisipasi secara lebih serius oleh pemerintah.
Artinya, 14.000 artefak yang akan dikembalikan oleh pihak Belanda ke
Indonesia itu jangan sampai malah justru memberi ”angin segar” bagi para
sindikat jual-beli benda-benda kuno.
Lain Belanda, lain Inggris
Jika menilik konteks
pengembalian 14.000 artefak itu, Belanda jelas lebih ”bermurah hati” daripada
Inggris. Dalam kasus permohonan pengembalian naskah-naskah kuno Keraton
Yogyakarta yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan Megawati
Soekarnoputri, dan juga diupayakan langsung oleh Sultan Hamengku Buwono X,
pihak Inggris justru menunjukkan kesan alot. Mereka lebih memilih enggan
untuk menyerahkan koleksi-koleksi naskah Keraton Yogyakarta ”hasil jarahan”
Raffles, Crawfurd, dan Mackenzie pada 1812 yang di antaranya kini tersimpan
baik di British Museum dan British Library.
Alasan mereka, Inggris
khawatir pihak keraton tidak bisa mengurusnya. Melalui British Council, pihak
keraton akhirnya hanya menerima naskah-naskah kuno itu dalam format mikrofilm
dan dalam bentuk fotokopi untuk disimpan sebagai koleksi perpustakaan
keraton.
Dalam Konvensi UNESCO
Tahun 1970 memang ditetapkan aturan bahwa setiap artefak atau naskah yang
didapatkan sebelum 1970, maka kebijakan pengembaliannya dikembalikan ke pihak
pemilik. Belanda sebagai pihak pemilik, tentu memiliki hak untuk
mengembalikan kepada Indonesia sebagai negara asal 14.000 artefak itu.
Namun, kebijakan Pemerintah
Belanda berbeda dengan Pemerintah Inggris. Tidak tersirat adanya syarat atau
perjanjian ketat dari pihak Belanda terkait apa yang harus dilakukan
Indonesia jika ribuan artefak itu kembali.
Tentu saja ini
tantangan berat dan besar bagi Pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga
museum di Indonesia agar lebih ketat mengantisipasi praktik pencurian dan
jual-beli ilegal benda-benda sejarah dan budaya yang terjadi selama ini. Jika
langkah antisipatif tidak dilakukan, jangan sampai apa yang dikhawatirkan
Inggris itu terbukti: kita tidak bisa
mengurusnya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar