Sabtu, 07 November 2015

Sukarno Kembali Dituduh Dalangi G-30-S

Sukarno Kembali Dituduh Dalangi G-30-S

Asvi Warman Adam  ;  Sejarawan LIPI
                                               KORAN TEMPO, 06 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di masa Orde Baru, Sukarno dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965. Bahkan perannya dalam sejarah berusaha direduksi atau dihilangkan. Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 tentang pengalihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto di dalam pertimbangannya menyebut bahwa Sukarno membantu upaya G-30-S.

Pada era reformasi, Ketetapan itu berusaha dicabut dan pada akhirnya dinyatakan einmalig—sudah terjadi. Karena konsideran Ketetapan masih mengganjal, maka ada upaya untuk merehabilitasi nama baik Sukarno. Atas prakarsa Taufik Kiemas ketika menjadi Ketua MPR, Sukarno diusulkan menjadi pahlawan nasional pada 2012, walaupun telah diangkat sebagai pahlawan proklamator pada 1986. Dengan menjadi pahlawan nasional, stigma negatif produksi rezim Orde Baru bahwa Sukarno dituduh terlibat G30S itu bisa hilang.

Namun, Oktober lalu, terbit buku Salim Haji Said, Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto. Buku itu menyimpulkan bahwa G30S terjadi karena Sukarno ingin menculik Jenderal A. Yani (bukan membunuhnya). Hal itu dilakukan untuk memecat Yani dan menggantinya dengan jenderal yang lebih loyal terhadap Sukarno. Biro Khusus PKI membonceng saja, dan akibatnya meletuslah G-30-S. Buku itu seakan mementahkan kembali upaya rehabilitasi nama baik Sang Proklamator.

Salim adalah wartawan pemula surat kabar Angkatan Bersenjata, yang waktu itu dipimpin Brigadir Jenderal Soegandi. Katanya, ia bertemu dengan atasannya tersebut pada 30 September 1965 siang, sehingga banyak memperoleh informasi. Bahkan pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 ia ikut ke RRI, yang sudah dikuasai RPKAD.

Pada awal Oktober 1965, koran Angkatan Bersenjata melakukan kampanye hitam terhadap kelompok kiri dengan memberitakan penyiksaan para jenderal, termasuk pencungkilan mata mereka. Di kemudian hari, ternyata informasi itu tidak benar. Apakah Salim juga mengetahui atau ikut menulis laporan yang semacam itu?

Salim juga dekat dengan kolumnis Wiratmo Sukito. Wiratmo menjelaskan bahwa pastor Pater Beek punya hubungan dengan CIA melalui Pater Laszlo Ladany, rohaniwan Jesuit asal Hungaria yang tinggal di Hong Kong. Sebelum G-30-S meletus, Beek, menurut Wiratmo, aktif membuat/menyebarkan sejumlah bacaan antikomunis yang dananya ditengarai dari CIA. Adapun Wiratmo, selain dekat dengan Beek, banyak berhubungan dengan perwira di sekitar Jenderal Nasution.

Sebagai wartawan surat kabar militer, Salim juga diajak Sarwo Edhi dalam operasi penumpasan PKI di Jawa Tengah dan menyaksikan korban pembunuhan massal. Di antara Solo dan Boyolali, pasukan Sarwo Edhi berhenti karena ada mayat seorang tokoh PKI tingkat kecamatan di tengah jalan. Salim melihat mayat itu tertembak persis di kepala yang kemudian otaknya berhamburan di sekitarnya. Di Purworejo juga ada penembakan. Seorang prajurit mengumpulkan daun telinga mayat-mayat itu dan dijadikan cendera mata berupa kalung.

Menurut Salim, "Kisah berdarah yang amat tragis ini mungkin bisa dihindarkan jika sekiranya Presiden Sukarno tidak merasa terpaksa harus menyingkirkan Jenderal Ahmad Yani dengan cara daulat, yang ternyata dengan mudah ditumpangi PKI. Informasi yang saya kumpulkan menunjukkan bahwa Sukarno waktu itu memang sudah sangat kehilangan kepercayaan kepada Yani, di satu pihak, di pihak lain, Sang Presiden juga tidak cukup kuat dan yakin untuk begitu saja dengan cara normal menyingkirkan Panglima Angkatan Darat itu" (hlm. 184-185). "Gagasan awal yang kemudian muncul dalam bentuk Gestapu, bukan berasal dari Aidit, melainkan justru dari Sukarno sendiri. Pemimpin PKI itu hanya menumpang dengan memanfaatkan gagasan Sang Presiden" (hlm. 181).

"Teori" Salim ini muncul berdasarkan kisah Bambang Widjanarko dalam buku The Devious Dalang, yang mengatakan bahwa, pada 4 Agustus 1965, Presiden Sukarno memanggil Letnan Kolonel Untung untuk menerima perintah melaksanakan rencana Presiden. Pengakuan Bambang merupakan berita acara pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib, yang sebetulnya merupakan rahasia negara tapi diterbitkan di Belanda pada 1974.

Di dalam buku The Devious Dalang, sebetulnya terdapat informasi bertolak belakang dengan "skenario 4 Agustus 1965", yaitu pembicaraan Sukarno dengan Jenderal Mursyid pada 29 September 1965 bahwa Bung Karno akan mengganti Yani sebagai Menteri Panglima AD dan menyerahkan pimpinan AD kepada Mursyid. Pada 30 September 1965, pukul 8 pagi, menurut Djamin—sekretaris pribadi Presiden—Sukarno telah menandatangani pengangkatan Mursyid sebagai Menpangad.

Apakah The Devious Dalang sahih sebagai sumber penulisan sejarah? Bambang mengaku dipaksa dalam interogasi tersebut. Maulwi Saelan, ajudan Presiden dan Wakil Komandan Cakrabirawa, menyangkal pertemuan tanggal 4 Agustus 1965. Lagi pula, pada tanggal tersebut Sukarno terkena stroke ringan. Seandainya pertemuan itu terjadi, dalam kondisi tersebut apakah ia masih bisa memberi perintah? Jadi, Salim menyusun teori tentang Sukarno sebagai dalang pertama G30S berdasarkan sumber yang lemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar