Sukarno Kembali Dituduh Dalangi G-30-S
Asvi Warman Adam ; Sejarawan LIPI
|
KORAN
TEMPO, 06 November 2015
Di masa Orde Baru,
Sukarno dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965. Bahkan perannya
dalam sejarah berusaha direduksi atau dihilangkan. Ketetapan MPRS No.
XXXIII/1967
tentang pengalihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto di dalam
pertimbangannya menyebut bahwa Sukarno membantu upaya G-30-S.
Pada era reformasi,
Ketetapan itu berusaha dicabut dan pada akhirnya dinyatakan einmalig—sudah terjadi. Karena
konsideran Ketetapan masih mengganjal, maka ada upaya untuk merehabilitasi
nama baik Sukarno. Atas prakarsa Taufik Kiemas ketika menjadi Ketua MPR,
Sukarno diusulkan menjadi pahlawan nasional pada 2012, walaupun telah
diangkat sebagai pahlawan proklamator pada 1986. Dengan menjadi pahlawan
nasional, stigma negatif produksi rezim Orde Baru bahwa Sukarno dituduh
terlibat G30S itu bisa hilang.
Namun, Oktober lalu,
terbit buku
Salim Haji Said, Gestapu 65: PKI, Aidit,
Sukarno, dan Soeharto. Buku itu menyimpulkan bahwa G30S terjadi karena
Sukarno ingin menculik Jenderal A. Yani (bukan membunuhnya). Hal itu
dilakukan untuk memecat Yani dan menggantinya dengan jenderal yang lebih loyal
terhadap Sukarno. Biro Khusus PKI membonceng saja, dan akibatnya meletuslah
G-30-S. Buku itu seakan mementahkan kembali upaya rehabilitasi nama baik Sang
Proklamator.
Salim adalah wartawan
pemula surat kabar Angkatan Bersenjata, yang waktu itu dipimpin Brigadir
Jenderal Soegandi. Katanya, ia bertemu dengan atasannya tersebut pada 30
September 1965 siang, sehingga banyak memperoleh informasi. Bahkan pada sore
hari tanggal 1 Oktober 1965 ia ikut ke RRI, yang sudah dikuasai RPKAD.
Pada awal Oktober 1965,
koran Angkatan Bersenjata melakukan kampanye hitam terhadap kelompok kiri
dengan memberitakan penyiksaan para jenderal, termasuk pencungkilan mata
mereka. Di kemudian hari, ternyata informasi itu tidak benar. Apakah Salim
juga mengetahui atau ikut menulis laporan yang semacam itu?
Salim juga dekat
dengan kolumnis Wiratmo Sukito. Wiratmo menjelaskan bahwa pastor Pater Beek
punya hubungan dengan CIA melalui Pater Laszlo Ladany, rohaniwan Jesuit asal
Hungaria yang tinggal di Hong Kong. Sebelum G-30-S meletus, Beek, menurut
Wiratmo, aktif membuat/menyebarkan sejumlah bacaan antikomunis yang dananya
ditengarai dari CIA. Adapun Wiratmo, selain dekat dengan Beek, banyak
berhubungan dengan perwira di sekitar Jenderal Nasution.
Sebagai wartawan surat
kabar militer, Salim juga diajak Sarwo Edhi dalam operasi penumpasan PKI di
Jawa Tengah dan menyaksikan korban pembunuhan massal. Di antara Solo dan
Boyolali, pasukan Sarwo Edhi berhenti karena ada mayat seorang tokoh PKI
tingkat kecamatan di tengah jalan. Salim melihat mayat itu tertembak persis
di kepala yang kemudian otaknya berhamburan di sekitarnya. Di Purworejo juga
ada penembakan. Seorang prajurit mengumpulkan daun telinga mayat-mayat itu dan
dijadikan cendera mata berupa kalung.
Menurut Salim, "Kisah berdarah yang amat tragis ini mungkin bisa
dihindarkan jika sekiranya Presiden Sukarno tidak merasa terpaksa harus
menyingkirkan Jenderal Ahmad Yani dengan cara daulat, yang ternyata dengan
mudah ditumpangi PKI. Informasi yang saya
kumpulkan menunjukkan bahwa Sukarno waktu itu memang sudah sangat kehilangan
kepercayaan kepada Yani, di satu pihak, di pihak lain, Sang Presiden juga
tidak cukup kuat dan yakin untuk begitu saja dengan cara normal menyingkirkan
Panglima Angkatan Darat itu" (hlm. 184-185). "Gagasan awal yang
kemudian muncul dalam bentuk Gestapu, bukan berasal dari Aidit, melainkan
justru dari Sukarno sendiri. Pemimpin PKI itu hanya menumpang dengan
memanfaatkan gagasan Sang Presiden" (hlm. 181).
"Teori"
Salim ini muncul berdasarkan kisah Bambang Widjanarko dalam buku The Devious Dalang, yang mengatakan
bahwa, pada 4 Agustus 1965, Presiden Sukarno memanggil Letnan Kolonel Untung
untuk menerima perintah melaksanakan rencana Presiden. Pengakuan Bambang
merupakan berita acara pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib, yang
sebetulnya merupakan rahasia negara tapi diterbitkan di Belanda pada 1974.
Di dalam buku The Devious Dalang, sebetulnya
terdapat informasi bertolak belakang dengan "skenario 4 Agustus
1965", yaitu pembicaraan Sukarno dengan Jenderal Mursyid pada 29
September 1965 bahwa Bung Karno akan mengganti Yani sebagai Menteri Panglima
AD dan menyerahkan pimpinan AD kepada Mursyid. Pada 30 September 1965, pukul
8 pagi, menurut Djamin—sekretaris pribadi Presiden—Sukarno telah
menandatangani pengangkatan Mursyid sebagai Menpangad.
Apakah The Devious Dalang sahih sebagai
sumber penulisan sejarah? Bambang mengaku dipaksa dalam interogasi tersebut.
Maulwi Saelan, ajudan Presiden dan Wakil Komandan Cakrabirawa, menyangkal
pertemuan tanggal 4 Agustus 1965. Lagi pula, pada tanggal tersebut Sukarno
terkena stroke ringan. Seandainya pertemuan itu terjadi, dalam kondisi
tersebut apakah ia masih bisa memberi perintah? Jadi, Salim menyusun teori
tentang Sukarno sebagai dalang pertama G30S berdasarkan sumber yang lemah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar