Pemimpin
Bernalar Kewarganegaraan
Fajar Kurnianto ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
(PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
|
KOMPAS,
11 November 2015
Sistem demokrasi tak
selalu menghasilkan pemimpin yang demokratis. Biarpun pemilu berjalan
demokratis, rakyat berduyun-duyun datang ke tempat-tempat pemungutan suara,
kemudian dari situ lahir seorang pemimpin, hal ini tak menjamin pemimpin
terpilih adalah seorang ”demokrat” sejati.
Kadang, sebelum proses
pemilihan secara demokratis, sang calon pemimpin berkampanye berjanji akan
menegakkan konstitusi, akan menjadi pemimpin yang menjamin kebebasan
berekspresi atau berkegiatan di ruang publik. Nyatanya, janji tak selalu
ditepati.
Betul bahwa demokrasi
hanya sarana, bukan tujuan. Namun, justru di sinilah kadang persoalan besar
terjadi. Sistem demokrasi diharapkan mampu menciptakan sosok pemimpin yang
demokratis, yakni pemimpin yang tak hanya mendemokratiskan warga masyarakat
yang dipimpinnya, tetapi yang lebih penting juga adalah mendemokratiskan
dirinya sendiri.
Bagaimana bisa tujuan
demokrasi, yakni terciptanya masyarakat yang sejahtera, aman, nyaman, tanpa
tekanan atau gangguan akan terwujud jika pemimpinnya tidak demokratis?
Bagaimana akan sampai ke tujuan jika sarananya bermasalah?
Seni memimpin
Pemimpin demokratis
adalah pemimpin yang berkomitmen menjunjung tinggi dan memegang teguh
pilar-pilar demokrasi, antara lain kebebasan berekspresi atau berkegiatan di
ruang publik. Apalagi jika ekspresi atau kegiatan itu adalah ekspresi atau
kegiatan yang lahir dari keyakinan religius yang sudah terwariskan secara
turun-temurun. Ditambah lagi bahwa ekspresi atau kegiatan itu bukan suatu
tindakan kriminal yang mengganggu atau melanggar hukum.
Kenapa pemimpin yang
dipilih secara demokratis oleh warga masyarakat yang heterogen justru
kemudian menunjukkan paradigma yang homogen? Banyak kemungkinan bisa
dikemukakan. Pertama, bisa jadi pemimpin tadi adalah sosok yang sesungguhnya
lemah secara leadership. Kedua, bisa jadi ada tekanan-tekanan tertentu yang
terlalu kuat sehingga pemimpin tadi tak kuasa menahannya karena dapat
merongrong dan melemahkan kekuasaannya. Ketiga, bisa jadi sang pemimpin tidak
cakap berdialog dengan banyak pihak. Padahal, dalam kapasitasnya sebagai
pemimpin yang berkuasa, ia seharusnya bisa melakukan itu.
Maka, masalah
sesungguhnya ada pada sosok pemimpin tadi. Pemimpin yang lemah secara
leadership akan cenderung mengalah pada tekanan-tekanan yang muncul demi
melanggengkan kekuasaannya. Dalam kondisi seperti ini, tak ada dialog dengan
pihak-pihak yang berkepentingan.
Kemampuan leadership
kerap kali tak berkaitan dengan intelektualitas seseorang. Leadership adalah
seni memimpin. Ia berkaitan dengan kelihaian dan kelincahan mengelola
kekuasaan dengan tetap menyadari posisi sebagai pemimpin yang berada di atas
segala golongan yang berbeda, yang mampu menyelesaikan persoalan secara baik,
karena punya tanggung jawab konstitusional dan penjunjungan nilai-nilai
demokrasi.
Dengan kata lain,
leadership adalah seni memimpin dengan nalar kewarganegaraan. Konsep asli
kewarganegaraan berarti hak yang sama dan tugas/kewajiban yang sama untuk
semua warga negara tanpa memandang ras dan agama (Marshall, 1950).
Konsep ini berfungsi
untuk mempersatukan warga negara, bukan memecah-belah, apalagi mempertajam
perbedaan antarwarga negara, seperti perbedaan ras, kultur, etnis atau agama
dan ekspresi atau kegiatan yang berasal darinya. Mendiang Gus Dur pernah
menegaskan, warga negara Indonesia adalah anggota bangsa Indonesia dan karena
itu seharusnya mereka tidak dibedakan dilihat dari sudut pandang hak dan
kewajiban mereka.
Will Kymlicka dalam Multicultural Citizenship (1995)
berbicara tentang multikulturalisme dan kewarganegaraan. Menurut dia,
multikulturalisme atau upaya memajukan keanekaragaman budaya akan
menguntungkan negara yang bersangkutan. Prinsip kewarganegaraan yang setara
akan mempersatukan penduduk dibandingkan dengan pembedaan warga yang
membedakan hak-hak kelompok di antara warga negara. Di sini, Kymlicka tidak
berbicara tentang pembangunan bangsa, tetapi pembangunan kewarganegaraan.
Konsep kewarganegaraan
merupakan konsep yang konkret. Dalam teori, semua warga negara Indonesia
adalah sama secara hukum, tetapi dalam praktiknya warga negara Indonesia dari
kelompok atau kategori tertentu lebih diutamakan haknya dibandingkan warga
negara atau kelompok lainnya. Sebagai contoh, apa yang terjadi pada etnis
Tionghoa selama Orde Baru (Orba) di bawah Soeharto? Mereka dibatasi dalam
menjalankan jenis usaha tertentu dan juga dalam menjalankan kegiatan
kebudayaan dan keagamaan serta kegiatan lainnya. Barulah setelah rezim Orba
runtuh diganti Orde Reformasi, segala peraturan perundang-undangan yang
dinilai diskriminatif itu dicabut.
Orde Reformasi
digembar- gemborkan sebagai era demokrasi sejati. Secara faktual, wujudnya
adalah dijaminnya kebebasan berekspresi atau berkegiatan sepanjang tidak
melanggar hukum. Maka, kegiatan-kegiatan budaya dan keagamaan pun tampil ke
muka penuh ingar-bingar.
Sayangnya, tidak semua
ekspresi atau kegiatan keagamaan itu dirayakan bersama sebagai sebuah
keindahan. Ada beberapa ekspresi atau kegiatan keagamaan justru dilarang
dilakukan. Ada pula yang tengah dilakukan kemudian dibubarkan. Ironisnya,
pelarangan dan pembubaran itu dilakukan oleh penyelenggara negara dari tingkat
nasional hingga lokal. Ironisnya lagi, sang pemimpin malah terjun langsung ke
lapangan ikut membubarkan kegiatan keagamaan.
Tak bernalar
Begitulah problem
pemimpin yang tak bernalar kewarganegaraan. Alam pikirannya masih
terkontaminasi alam pikiran Orba yang otoriter dan diskriminatif. Era telah
berubah, tetapi nalar tak selalu ikut berubah. Padahal, kita banyak sekali
berharap para pemimpin dari tingkat nasional hingga lokal memegang teguh
pilar-pilar demokrasi dan mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi secara baik.
Dengan memegang teguh
pilar-pilar demokrasi, pemimpin sejatinya akan menjadi sosok yang kuat dan
disegani. Sementara dengan mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi, pemimpin
akan menjadi pionir dan sosok ”demokrat” sejati yang menginspirasi yang
lainnya untuk berbuat hal yang sama.
Pemimpin yang bernalar
kewarganegaraan tidak akan kalah dari tekanan-tekanan kelompok- kelompok yang
ingin menghancurkan nilai-nilai demokrasi demi memuaskan kepentingan
komunalnya yang eksklusif dan intoleran. Pemimpin bernalar kewarganegaraan
akan memandang keragaman sebagai khazanah yang memperkaya horizon
pengetahuan.
Pada gilirannya,
keberadaan para pemimpin semacam ini diharapkan akan makin memperkuat
bangunan negara Indonesia yang demokratis secara lebih kukuh, bukan malah
merobohkannya hingga berkeping-keping. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar