Yamin dan Ilmu Sejarah
Heri Priyatmoko ;
Alumnus
Pascasarjana Sejarah FIB, UGM
|
TEMPO,
11 September 2014
Nama
Muhammad Yamin menempati posisi istimewa dalam jagad pengetahuan sejarah
Indonesia. Satu dekade setelah Indonesia merdeka, bersama kaum cerdik-pandai
lainnya, ia menggulung lengan mewujudkan impian "pribumisasi"
historiografi Indonesia. Sebelumnya, dunia sejarah Indonesia didominasi oleh
karya asing yang sarat akan kepentingan politik kolonial. Nah, mereka ingin
melepaskan diri dari perangkap budaya Nerlandocentris, warisan penjajah yang
dianggap sebagai "racun" yang ditebarkan lewat jalur pendidikan Barat
dan buku bacaan.
Terkisah,
pada 1957 di Yogyakarta, digelar Seminar Sejarah Nasional Indonesia yang
pertama. Tahun tersebut dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru
bahwa bangsa yang belum lama menikmati angin segar kemerdekaan ini harus punya
sejarah versinya sendiri. Digodoklah filsafat sejarah nasional, periodesasi
sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah.
Dalam
Laporan Seminar Sedjarah, saya menemukan curahan pikiran pokok Yamin mengenai
konsepsi filsafat sejarah nasional. Dia melontarkan istilah tafsiran
sintesis, yaitu interpretasi masyarakat Indonesia pada masa lalu dengan
memakai pisau analisis hukum, ekonomi, teologis, tata negara, geografis, dan
rohani. Berbagai analisis tersebut dapat dioperasikan secara serentak atau
individual guna mengurai berbagai realitas dalam masyarakat untuk memperoleh
gambaran sejarah Indonesia yang bulat sempurna tanpa retak atau
terpecah-belah.
Kemudian,
subyek filsafat sejarah Indonesia adalah bangsa dengan semangat nasionalisme
Indonesia. Dalam forum agung penentu bulat-lonjongnya sejarah Indonesia itu,
Yamin berkomentar di mimbar bahwa sejarah Indonesia yang baru seharusnya
bercorak nasional, yang berdasarkan hasil penafsiran dari aneka kejadian pada
masa silam. Nasionalisme Indonesia merupakan rasa patriotisme terhadap
persatuan bangsa, persatuan Tanah Air, dan kebulatan-kebulatan pada saat
memperkuat atau membina pembentukan bangsa (nation building) Indonesia. Nasionalisme Indonesia dalam konsepsi
filsafat sejarah Indonesia menimbulkan berbagai syarat etis dan kesusilaan
Indonesia untuk penulis dan juga karangan sejarah Indonesia itu sendiri.
Inilah
alasan mengapa Yamin berkeras menyuburkan semangat nasionalisme dari sebuah
bangsa yang baru saja merdeka lewat tulisan tentang pahlawan dan simbol negara.
Sebagai contoh, Yamin, dalam buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, meyakinkan
bahwa bendera nasional Indonesia, Merah Putih, sudah dikenal sejak zaman
purba dan direkam dalam ingatan kolektif melalui ritual tradisional bubur
merah dan putih.
Meski
secara teori dan metodologi sejarah karya Yamin dianggap menciptakan mitos
belaka, spirit pada masa itu memang mendorong Yamin untuk berbuat demikian.
Bagi Yamin, perjuangan politik bangsa Indonesia kala itu memerlukan
legitimasi untuk membangun nasionalisme sebagai ideologi. Anakronisme sejarah
bukanlah persoalan utama yang perlu diperdebatkan. Yang penting, semua
"menjadi Indonesia" dan cinta Indonesia seutuhnya.
Bagaimanapun,
Muhammad Yamin semasa hidup telah ikut mengerahkan kedigdayaan untuk
menentukan visi ilmu sejarah. Kendati dicela lantaran menyebarkan kisah
historis yang sulit diterima akal sehat, dia telah membaktikan hidupnya dan
mengamalkan ilmunya untuk bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar