Selasa, 02 September 2014

Solusi Pengendalian Subsidi BBM

Solusi Pengendalian Subsidi BBM

Sunarsip  ;   Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
REPUBLIKA, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dimulainya era pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi), masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) kini menjadi isu yang paling mendapat perhatian. Ini wajar karena BBM bersubsidi masih menjadi "komoditas" strategis yang dibutuhkan masyarakat.

Sayangnya, sebagian besar penikmat BBM bersubsidi adalah mereka yang berada dalam kelompok kelas menengah ke atas. Sehingga wajar bila muncul gagasan agar harga BBM bersubsidi ini dinaikkan.

Namun, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi juga harus dilakukan pada saat (timing) yang tepat. Kita memiliki pengalaman yang kurang baik pada saat menaikkan harga BBM bersubsidi. Contohnya pada 2013, di saat pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada Juni, yaitu ketika tekanan inflasi sedang tinggi. Akibatnya, kebijakan kenaikan harga BBM ini mendorong kenaikan inflasi secara masif. Pada 2013, inflasi kita tergolong tinggi, yaitu 8,38 persen.

Pertanyaannya, apakah bila harga BBM bersubsidi dinaikkan saat ini merupakan waktu yang tepat? Untuk menjawabnya, mari kita lihat perkembangan berikut. Pertama, saat ini inflasi kita masih relatif rendah, sampai dengan Juli 2014 baru mencapai 2,94 persen. Bila harga BBM bersubsidi dinaikkan pada kisaran yang tepat, dampaknya terhadap inflasi tahunan masih dalam jangkauan.

Namun, kita juga punya pengalaman buruk dengan kenaikan harga BBM ini. Pada 2005, situasi inflasi sebelum kenaikan harga BBM juga relatif aman, yaitu 6,24 persen. Begitu harga BBM naik hingga 80 persen pada 1 Oktober 2005, inflasi  Oktober langsung menjadi 8,70 persen dan inflasi tahunan 17,11 persen.

Kedua, terdapat faktor eksternal yang perlu dipertimbangkan bila pemerintah menaikkan harga BBM. Saya melihat tantangan eksternal saat ini hampir sama dengan situasi pada 2008. Krisis ekonomi di Amerika Serikat dan berimbas ke krisis global saat itu menyebabkan harga minyak mentah sangat tinggi. Tidak hanya harga minyak, harga komoditas pangan juga sangat tinggi.

Sektor keuangan kita turut terkoreksi dan rentan gejolak. Nilai tukar rupiah sempat tembus di kisaran Rp 12 ribu per dolar AS. Akibatnya, kenaikan harga BBM saat itu mengerek laju inflasi pada level yang tinggi, inflasi 2008 sebesar 11,06 persen. Padahal, inflasi sebelum kenaikan harga BBM pada Mei 2008 baru sebesar 5,35 persen.

Situasi yang hampir sama juga terjadi pada saat ini. Saat ini, situasi pasar finansial kita juga cukup rentan terhadap gejolak eksternal. Nilai tukar rupiah saat ini berada di kisaran Rp 17.700-an.

Kita juga menghadapi kemungkinan dampak kebijakan tapering dan pengakhiran kebijakan quantitative easing di AS. AS diperkirakan menaikan tingkat suku bunga acuannya dan ini berpotensi menimbulkan krisis likuiditas bagi Indonesia, sama persis dengan 2008.

Padahal, saat ini saja bank-bank sudah kesulitan likuiditas terlihat dari tingginya loan to deposit ratio (LDR) yang di atas 90 persen. Konsekuensinya, kurs rupiah terancam semakin melemah dan inflasi karena faktor eksternal (imported inflation) akan meningkat.

Dengan pertimbangan di atas, tampaknya pilihan yang sangat sulit bagi pemerintah (baik pemerintahan SBY maupun Jokowi) untuk menaikkan harga BBM di sisa akhir 2014. Kenaikan harga BBM mungkin bisa dilakukan, tapi besarannya tidak bisa tinggi.

Oleh karenanya, dalam jangka dekat ini pemerintah harus mengefektifkan langkah-langkah pengurangan subsidi BBM di luar kenaikan harga BBM bersubsidi. Apa itu?

Pertama, saya berpendapat, kebijakan yang paling realistis saat ini dengan mempercepat program konversi ke gas, tidak terbatas pada minyak tanah ke LPG, termasuk pula konversi BBM untuk transportasi. Data menunjukkan, sekitar 60 persen BBM bersubsidi berasal dari BBM jenis Premium, selebihnya 34 persen Solar dan enam persen minyak tanah.

Bila dilihat dari penggunanya, hampir 90 persen pengguna BBM bersubsidi adalah transportasi darat. Yang paling mengejutkan, penikmat BBM bersubsidi ternyata sekitar 50 persen pemilik mobil pribadi, dan motor sekitar 40 persen. Sedangkan, kendaraan umum tidak lebih dari lima persen.

Dengan komposisi tersebut, bila konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi khususnya kendaraan roda empat dilakukan intensif, dampak pengurangan beban subsidi BBM akan cukup signifikan. Penggunaan compressed natural gas (CNG) untuk mobil merupakan pilihan yang atraktif untuk mengurangi beban subsidi energi. Penggunaan CNG telah sukses dipraktikkan di sejumlah kota di Asia, seperti New Delhi, Mumbai, dan Bangkok.

Untuk menyukseskan konversi ke BBG ini memerlukan pendekatan yang terintegrasi dengan menggabungkan beberapa elemen, seperti (i) insentif ekonomi bagi konsumen, produsen, dan penjual serta harga yang optimal sebagai kompensasi kepada konsumen atas biaya investasi yang dikeluarkannya untuk mengubah komponen kendaraannya setidaknya selama 12 bulan; (ii) produsen dan supplier mendapatkan tingkat pengembalian yang cukup atas investasinya; (iii) penjual memperoleh margin keuntungan yang cukup; (iv) dukungan regulasi yang mewajibkan (mandatory) adanya perubahan (switch) ke CNG untuk alat-alat transportasi; dan (v) menyiapkan infrastruktur penting untuk memungkinkan pemasangan converter kits dapat dilakukan serta pembangunan SPBG pada lokasi yang mudah dijangkau konsumen.

Kedua, pemerintah perlu segera menerapkan instrumen lindung nilai (hedging), baik hedging valuta asing maupun harga minyak dan BBM untuk kepentingan pengadaan BBM bersubsidi. Indonesia semestinya telah menjadikan oil hedging sebagai kebutuhan sejak lama. Ini mengingat, berdasarkan fakta empiris, realisasi harga minyak (ICP) hampir selalu lebih tinggi dibandingkan asumsi di APBN. Perkembangan nilai tukar rupiah kita juga cenderung melemah.

Kebijakan oil heding tidak hanya penting bagi APBN, juga bagi perekonomian keseluruhan. Pertamina (selaku pelaksana PSO BBM bersubsidi) memiliki kebutuhan dolar AS terbesar di Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan BBM bersubsidi di dalam negeri yang terus meningkat, Pertamina harus melakukan impor minyak dan BBM. Kondisi ini akan berakibat meningkatnya kebutuhan valas Pertamina dan berpotensi menaikkan harga dolar AS. Karenanya, jika kebijakan oil hedging (khususnya untuk BBM bersubsidi) dilakukan pemerintah akan turut menjaga volatilitas kurs rupiah.

Saya berpendapat bahwa kebijakan yang tepat juga harus dilakukan pada waktu yang tepat pula. Kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi adalah hal yang tepat. Namun, mengingat situasi saat ini yang kurang mendukung bila dilakukan kenaikan harga BBM secara signifikan, maka untuk mengurangi beban subsidi energi, mengefektifkan langkah-langkah di luar kenaikan harga BBM yang sudah tersedia, menjadi pilihan yang paling rasional. Dan ini menjadi tanggung jawab pemerintah saat ini (SBY) dan nanti (Jokowi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar