Senin, 01 September 2014

SBY-Jokowi

SBY-Jokowi

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 30 Agustus 2014
                                      


BALI ibarat kedatangan dua kepala negara yang mengadakan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) pada Selasa lalu. Keamanan di kawasan Nusa Dua diperketat. Hotel tempat pertemuan kedua tokoh itu dijaga berlapis. Wartawan, baik media cetak, televisi, maupun online, dan wartawan media sosial (jurnalis warga, ehm, keren) sudah menunggu sejak siang, padahal pertemuan dimulai malam hari.
Siapa kedua petinggi itu? Yang satu masih menjabat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, disingkat SBY. Yang satu lagi, Presiden terpilih Joko Widodo, dipopulerkan Jokowi. Ealah, kenapa begitu genting?

Karena pertemuan ini, menurut pengamat, bersejarah. Untuk pertama kali presiden yang akan lengser bertemu dengan presiden yang akan menggantikan. Sejarah mencatat-begitu kata pengamat yang belum kehilangan nyinyirnya di televisi-SBY telah menorehkan tradisi yang bagus dalam pergantian kepemimpinan nasional.

Soeharto menggantikan Sukarno dengan mengganjar "tahanan" untuk Sang Proklamator. Soeharto digantikan B.J. Habibie dengan "dipaksa" lewat aksi mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR. Habibie diganti Abdurrahman Wahid dengan menolak pertanggungjawabannya di MPR, dan Abdurrahman Wahid pun digantikan Megawati dengan "persekongkolan" di MPR juga. Mega digantikan oleh SBY dengan pemilihan langsung oleh rakyat tetapi hubungan keduanya beku. Nah, layaklah pertemuan SBY dan Jokowi jadi sejarah.

Rakyat yang lebih banyak di rumah menonton televisi-sulit keluar karena Premium sudah langka di sepanjang Aceh sampai Merauke-menunggu siaran langsung pertemuan itu. Jokowi pun terlihat tergopoh-gopoh menghampiri SBY, mengenakan baju batik, bukan baju putih yang lengannya digulung. Jokowi sadar ini bukan blusukan, tetapi pertemuan formal, harus berpakaian rapi sesuai dengan budaya Nusantara. Dia disambut SBY dengan kedua tangan, sesaat melakukan cipika-cipiki (ini ritual formal yang tak perlu dijelaskan), lalu menuju meja dengan dua kursi yang sudah disiapkan. Pertemuan empat mata.

Seusai pertemuan, kedua tokoh diberi mimbar yang bentuknya sama persis, dengan lambang Garuda Pancasila-bukan garuda yang lain. Keduanya menjelaskan apa yang dibicarakan. Apa? La, apa, ya? Ini adalah pertemuan awal yang akan dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya, begitu inti penjelasan. Ya, formal banget.

Esoknya, dan esoknya lagi, beredar berita bahwa Jokowi mengusulkan agar SBY segera menaikkan harga bahan bakar minyak, tetapi SBY menolak. Berita ini terus digoreng sehingga apa benar hal itu dibicarakan dalam "empat mata" tak jelas. Atau hanya dibicarakan dalam "bukan empat mata", juga tak jelas. (Belum ada komentar dari Tukul Arwana, host Bukan Empat Mata). Tiba-tiba saja Jokowi mengatakan: "Saya siap tidak populer untuk menaikkan harga minyak."

Jika SBY takut (lebih bagus kata itu diganti hati-hati), tampaknya Jokowi sudah mantap menaikkan harga minyak, kompak dengan Jusuf Kalla, wakilnya. Tetapi tak sesuai dengan tuit dari Megawati (@MegawatiSSP) yang intinya lebih baik cari jalan lain, misalnya Premium bersubsidi dilarang untuk mobil dan sepeda motor di atas 150 cc. Tak sesuai pula dengan pernyataan Faisal Akbar, deputi tim transisi, yang menyebutkan: ada opsi lain seperti menaikkan pajak sepeda motor dan mobil, lalu mengoptimalkan pajak tambang. Bahkan tuit Rieke Diah Pitaloka (@Rieke_RDP) lebih keras: TOLAK KENAIKAN HARGA BBM (huruf kapital sesuai dengan aslinya).

Minyak mudah membakar atau membuat orang tergelincir. Sebelum saya tergelincir, lebih baik saya akhiri tulisan ini. Biarkan SBY dan Jokowi yang menulis sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar