Rabu, 24 September 2014

Rupiah dan Likuiditas Global

Rupiah dan Likuiditas Global

Firmanzah ;   Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
KORAN SINDO, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Seperti mata uang di hampir mayoritas emerging market, nilai tukar rupiah berada dalam dua tekanan global yang saling berlawanan arah.

Di satu sisi, Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) berjuang untuk mengurangi likuiditas global melalui pengurangan, sampai pada akhirnya tercapai penghentian stimulus moneter atau yang disebut sebagai quantitative easing (QE) III. Sementara di sisi lain, Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) bersama Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral China justru mempertahankan dan bahkan menambah likuiditas untuk menggairahkan perekonomian di kawasan tersebut. Selain aspek-aspek dalam negeri, dua tekanan yang berlawanan arah dipastikan akan menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan, baik dalam jangka pendek maupun menengah terhadap nilai tukar rupiah.

Hal ini tecermin pada sesi perdagangan pekan lalu (minggu ke-3 September), nilai tukar sejumlah mata uang negaranegara Asia ditutup melemah. Depresiasi nilai tukar mata uang negara-negara di Asia ini merupakan respons dari hasil The Federal Open Market Committee (FOMC) terkait tahapan pengakhiran QE III dan pengakhiran suku bunga murah. Pemangkasan pembelian obligasi yang menyisakan USD25 miliar ini direncanakan dilakukan pada bulan ini sebesar USD10 miliar dan pada Oktober sebesar USD15 miliar sekaligus mengakhiri kebijakan QE.

Hal yang sedikit melegakan terkait dengan rencana kenaikan suku bunga (The Fed Rate), adalah pernyataan Gubernur The Fed, Janet Yellen, yang akan tetap mempertahankan suku bunga rendah untuk beberapa waktu (considerable time) setelah QE berakhir. Dalam rilis hasil rapatnya, The Fed juga menyampaikan kenaikan proyeksi suku bunga menjadi 1,375% di akhir 2015 dari proyeksi sebelumnya 1,125%. Dan pada tahun 2017, suku bunga ini di targetkan menjadi 3,75% dengan sejumlah asumsi-asumsi dari proyeksi yang dihasilkan komite FOMC.

Optimisme perkembangan ekonomi AS juga tercermin dari sejumlah proyeksi yang disampaikan The Fed. Dalam rilisnya, The Fed memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) akan meningkat di kisaran 2,6-3,0% pada 2015, 2,6-2,9% di 2016, dan 2,3-2,5 % di 2017. Tingkat pengangguran AS juga diharapkan membaik ke kisaran 5,4-5,6% di tahun 2015 dan 5,1-5,4% di tahun 2016. The Fed juga memproyeksikan kisaran suku bunga pada level 3,75% di akhir 2017 dengan ekspektasi inflasi naik 1,9-2,0%.

Proyeksi ekonomi AS yang lebih tinggi dari sebelumnya muncul setelah sejumlah data ekonomi makro AS menunjukkan perkembangan positif. Data pertengahan September 2014 menunjukkan penurunan klaim pengangguran sebanyak 36.000 menjadi 280.000. Dengan tren penurunan angka ini, The Fed memproyeksikan tingkat pengangguran di akhir 2014 berada di kisaran 5,9-6,0% atau lebih rendah dari proyeksi sebelumnya di level 6,0-6,1%. Sementara itu, tingkat inflasi diperkirakan berada di rentang 1,5-1,7% year on year tahun ini.

Tingkat penjualan kendaraan juga meningkat tajam sebanyak 17,5 juta di Agustus 2014 atau mencapai level tertinggi dalam delapan tahun terakhir. Kestabilan tingkat permintaan dan penawaran juga tecermin dari sejumlah aktivitas ekonomi dan belanja rumah tangga dalam beberapa bulan terakhir. Kondisi ini memperkuat optimisme pemulihan ekonomi AS sehingga prospek jangka panjang diperkirakan semakin membaik.

Sinyal pemulihan ekonomi AS yang tertuang dalam pengumuman hasil rapat komite FOMC pekan lalu ini, kemudian mendorong sentimen penguatan mata uang dolar AS terhadap mata uang negara-negara lain, termasuk rupiah. Setidaknya hampir seluruh mata uang di Asia melemah terhadap dolar AS pada sesi perdagangan pekan ketiga September 2014. Mata uang Malaysia, Korea Selatan, Filipina, Jepang, Thailand, Singapura, Taiwan, dan Indonesia melemah terhadap dolar AS. Nilai tukar rupiah pada sesi perdagangan Kamis (18/9) menembus batas psikologisnya di level Rp12.025 per dolar AS atau melemah 0,46%.

Pelemahan ini merupakan respons pascapengumuman hasil rapat FOMC. Diperkirakan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang negara lain dalam beberapa waktu ke depan terus berlangsung, seiring dengan positifnya berbagai indikator makro perekonomian AS. Pada kondisi ini, para investor global akan cenderung mengubah orientasi investasinya dari jangka panjang menjadi jangka pendek. Aksi spekulatif akan cenderung mewarnai aktivitas perdagangan global dalam beberapa waktu ke depan melalui aksi relokasi investasi.

Sentimen penguatan dolar AS ini telah memicu spekulasi adanya relokasi investasi yang selama ini tersebar di sejumlah negara dengan prospek ekonomi yang positif untuk kembali ke AS. Relokasi investasi dan aliran arus modal ini diperkirakan terus berlangsung sepanjang sinyal positif ekonomi AS tetap menunjukkan angka-angka yang positif. Di sisi lain, entitas-entitas ekonomi besar seperti Eropa, China, dan Jepang justru menunjukkan potret kebalikannya.

Bank sentral Eropa, China, dan Jepang saat ini justru mengalami persoalan likuiditas yang mendorong kebijakan quantitative easing. Bank Sentral Eropa meluncurkan Targeted Long Term Refinancing Operations (TLTROs) dengan memberikan pinjaman murah kepada industri perbankan di kawasan euro senilai 400 miliar euro (USD518 miliar). Bank Sentral China mengeluarkan stimulus USD81 miliarpada lima bank BUMN terbesar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi China.

Sementara itu, Bank of Japan akan mempertahankan stimulus ekonominya untuk menghindari tekanan deflasi yang lebih dalam. Kondisi ini juga dapat menjelaskan bahwa prospek perekonomian di ketiga wilayah tersebut masih memerlukan waktu untuk mencapai target-target pemulihan ekonomi seperti yang diharapkan. Bagi Indonesia, rencana pengakhiran QE III di AS dan masih berkontraksinya ekonomi Zona Euro, China, dan Jepang merupakan faktor penting yang perlu kita antisipasi bersama. Ketidakpastian dan volatilitas pasar keuangan dunia masih akan terjadi dalam jangka pendek dan jangka menengah.

Dampak dari tekanan eksternal telah kita rasakan bersama saat ini dan dapat dipastikan gelombang ketidakpastian masih akan terus terjadi. Untuk memitigasi pengaruh ketidakpastian eksternal, prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan dalam pengelolaan sektor moneter, fiskal, dan sektor riil perlu terus kita jaga dan tingkatkan. Menciptakan formula yang tepat dan keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium) sangat kitaperlukan antara nilai tukar rupiah, suku bunga, inflasi, cadangan devisa, serta indikator sektor riil.

Melalui koordinasi antara BI, pemerintah, LPS, dan OJK maka kita akan tetap menjaga serta meningkatkan daya tahan dan daya saing perekonomian Indonesia dalam jangka pendek dan jangka menengah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar