Selasa, 23 September 2014

Pilkada Bermata Dua

Pilkada Bermata Dua

Arief Setiawan ;   Alumnus S2 Ilmu Politik PFUR Moskow
HALUAN, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pemilihan umum kepala daerah (pemi­lukada) menjadi isu besar setelah digulirkannya wacana kepala daerah dipilih oleh Dewan Pimpinan Rakyat Daerah (DPRD). Wa­cana ini diusung Koalisi Merah Putih yang saat Pilpres 2014 mengusung pasangan Pra­bowo-Hatta.

Berbagai tanggapan bermun­culan dan mayo­ritas menolak wacana tersebut. Demokrasi menjadi alasan penolakan karena pemilukada melalui DPRD dinilai sebagai k­emun­duran.

Koalisi Merah Putih mengu­sung wacana itu karena prihatin dengan fenomena banyaknya kepala daerah yang tersangkut pidana korupsi. Menurut data Kemendagri, sejak 2005 sampai Februari 2014, sebanyak 318 kepala daerah menjadi tersang­ka kasus korupsi. Ang­ka yang cukup fantastis tentunya di tengah upaya pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan. Mereka juga beralasan, pemilukada langsung mem­­­punyai ong­kos ekonomi dan sosial-politik yang sangat besar. Argu­men ini menjadi mantra untuk me­ngem­balikan pe­mi­lukada secara tidak langsung me­lalui DPRD.

Pemilukada lang­sung dila­kukan pertama kali pada 2005 pascapengesahan UU No 32/2004 tentang Peme­rintahan Daerah dan sudah dilakukan ratusan kali di tengah peme­karan daerah yang tanpa ujung. Pelaksanaan pemilukada langsung merupakan perge­seran dari pemi­lihan pemimpin dari model yang sifatnya elitis ke model yang bersifat populis. Pe­milukada langsung pun men­jadi rona dalam pembangunan demokrasi di Indo­nesia dan rakyat diha­rap­kan bisa ber­partisipasi aktif.

Pelaksanaan pemi­lukada langsung erat dengan imple­mentasi otonomi daerah. Pemilukada langsung diha­rapkan menjadi katalis menuju konsolidasi demokrasi dan pemberdayaan politik lokal. Sayangnya, tujuan ini jauh pangggang daripada api. Pemilukada langsung tidak lagi menjadi sarana untuk demo­krasi partisipatoris. Elite politik menggesernya menjadi patro­nage democracy dengan meng­gunakan isu agama, etnis, keluarga, dan kelompok sebagai instrumen hegemoninya (van Klinken, 2009). Alhasil, pemi­lukada langsung pun bukan jadi pesta rakyat, tapi pesta elite dan patron-patronnya.

Pemilukada langsung juga mengandung paradoks dari tujuan awal desentralisasi. Dalam pemilukada, partai politik mempunyai peran sangat penting dalam mengusung calon pemimpin di daerah meski saat ini memungkinkan adanya calon independen. Ironisnya, desentralisasi dalam pengelolaan pemerintahan daerah di bidang politik berjalan diametral dengan peran partai politik di daerah. Partai politik cenderung sentralistis karena besarnya kekuasaan dan intervensi elite politik di tingkat pusat dalam rekrutmen calon pemimpin daerah (Ismanto, 2011; Faguet, 2014).

Celah dalam pemilukada langsung ini harus segera diperbaiki guna meminimalkan distorsi demokrasi. Jika tak diperbaiki, sis­tem ini akan terus dijalankan dan te­tap mem­berikan peluang­ bagi elite politik daerah un­tuk terus menghe­gemoni poli­tik lokal. Korupsi, dinasti politik, politik patro­nase, dan eksploitasi sum­­ber daya alam seca­ra masif akan menjadi sulit diken­dali­kan karena kom­plek­sitas per­masalahan.

Pemilukada tidak langsung melalui DPRD bukanlah tanpa masalah. Se­jarah mebuk­tikan, pemi­lu­kada dengan mo­del ini me­m­­punyai keku­rangan yang cukup besar pu­la. Hal ini ha­rus dile­tak­kan dalam kon­teks be­sar­nya ke­kuasaan par­tai politik da­lam pe­nentuan ke­bijakan daerah. Pemi­lukada mela­lui DPRD juga akan semakin me­ngu­­­­kuhkan feno­mena legis­lative hea­vy yang sekarang sedang melanda. Masya­rakat akan semakin sulit me­ngontrol kinerja DPRD karena kekuasaan mereka semakin besar.

Perubahan dari pemilukada langsung ke tak langsung hanya akan melahirkan perge­seran kekuasaan dalam pengelo­laan daerah. Parpol akan semakin kuat posisinya dalam penentuan kebijakan di daerah. Ruang politik bagi calon independen pun bakal tertutup rapat. Kita tak akan melihat lagi adanya calon independen yang bertarung dalam pemilukada jika DPRD yang memilih kepala daerah.

Revitalisasi pemilukada langsung

Mencari jalan ketiga di tengah dilema politik seperti ini merupakan keharusan. Jalan ketiga ini bukan hanya me­ngambil sisi ekletik dari masing-masing kutub perten­tangan. Perlu terobosoan dengan segala risikonya guna mere­vitalisasi desentralisasi, khu­susnya pemilukada lang­sung. Partai politik sebagai salah satu tiang utama demo­krasi harus dapat perhatian serius. Kebe­radaan mereka mempunyai peran sangat signifikan dalam memb­angun ruang publik dan membang­kitkan partisipasi politik masyarakat.

Hal pertama yang bisa dilakukan terkait partai politik, yakni mengubah model koalisi dalam setiap pemilukada. Model koalisi cair di daerah perlu diubah dengan mengikuti aras politik nasional. Koalisi yang dibangun di pusat harus jadi panutan daerah. Hal ini bertujuan untuk mengurangi deviasi implementasi kebijakan dan dualisme “loyalitas” kepala daerah. Juga bisa berfungsi untuk meminimalkan munculnya dinasti dan patro­nase politik di daerah serta sinkronisasi program kerja.

Partai politik di daerah harus juga diberi otonomi dalam menentukan calon kepala daerah. Bukan lagi bergantung pada keputusan final dari pimpinan nasional partai yang mengusung calon kepala daerah. Partisipasi politik masyarakat merupakan kunci perubahan di daerah. Pembu­kaan ruang-ruang politik masyarakat akan menciptakan kontrol yang kuat dan pem­bangunan sesuai kebutuhan daerah. Rapat umum maupun tanya jawab secara nirkabel bisa menjadi solusi. Ada hal lain juga sangat penting, yaitu penguatan sistem desentralisasi secara komprehensif. Penguatan ini bisa menjadi problem solver terhadap parasit dalam demo­krasi lokal yang sedang men­dera saat ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar