Selasa, 16 September 2014

Mengurai Kemacetan Demi Pelayanan Publik

Mengurai Kemacetan Demi Pelayanan Publik

Revi Marta Dasta  ;   Magister Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara (LAN) Jakarta
HALUAN, 15 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kesemrawutan Jakarta kian hari tampak jelas di de­pan mata. Hal itu dipicu dengan tingkat kema­cetan yang tak lagi terkendali. Biasanya ada tempat dan waktu alternatif untuk warga Ibukota menghindari kema­cetan. Sekarang bahkan hampir di semua jalan, ter­masuk jalan protokol me­ngalami kemacetan parah.
Pilihan warga Jakarta memiliki sepeda motor demi efektifnya perjalanan sekarang tidak lagi menjamin memu­dahkan mereka  menembus parahnya kemacetan. Pengen­dara sepeda motor tersebut banyak yang frustasi. Begitu juga nasib pengguna ken­daraan roda empat bisa stress di tengah jalan.

Salah satu faktor kesem­rawutan yang berujung ke­macetan tersebut karena prilaku dari oknum warga Jakarta itu sendiri. Yang sangat kentara ditemukan adalah banyaknya parkir liar yang terjadi di jalanan umum. Seperti yang terlihat di depan  Pasar Pramuka, Jakarta Timur, parkir liar me­nim­bulkan kemacetan karena sudah memakai separuh jalan raya. Bahkan kemacetan mengular sepanjang jalan Pramuka sampai ke perem­patan Matraman.

Upaya menindak tegas prilaku parkir liar ini pernah dilakukan Pemprov DKI Jakar­ta dengan penggembok dan pengempisan ban sepeda motor dan mobil di beberapa ruas jalan protokol. Namun kebija­kan tersebut hanya membuat jera pelakunya sementara, setelah itu mereka mengulangi lagi perbuatannya. Apalagi kebijakan tersebut terkesan bersifat sporadis dan tidak berkesinambungan.

Untuk mengurai kemacetan tersebut pemerintah DKI Jakarta juga melakukan penambahan trayek dan jumlah angkutan Trans Jakarta. Namun hal tersebut tidak serta merta mampu menekan angka kemacetan. Malah datang masalah baru, di mana Trans Jakarta juga menimbulkan kemacetan karena sebagian ruas jalan diambil untuk operasional bus berbahan bakar gas tersebut.

Pelayanan Publik Terganggu

Jika demikian halnya yang terjadi, pelayanan kepada public tentu menjadi terganggu. Padahal pelayanan untuk berkendara sangat diharapkan warga sehingga mendapatkan jaminan bagi keamanan dan kenyamanan mereka dalam beraktivitas. Apalagi di beber­apa negara maju yang senan­tiasa memperhatikan kepen­tingan orang banyak sehingga transportasi publik dapat tertata, tertib, bersih dan nyaman. Kenapa Indoensia tidak mencoba melakukan hal yang sama.

Jika kemacetan dan kesem­rawutan ini tak ada solusi maka pemenuhan hak dasar masyarakat akan terganggu. Karena jutaan warga Jakarta tiap hari mengadu nasib berpergian ke tempat kerjanya kemudian terganggu karena pemerintah tidak menyediakan sarana pelayanan armada maupun infrastruktur trans­portasi yang tidak memadai.

Padahal konstitusi mengamanatkan negara berkewajiban melayani setiap warga negara untuk memenuhi hak dan ke­butu­han dasarknya dalam kerangka pelayanan pub­lik. Hal tersebut diper­tegas dengan UU No 25 tahun 2009 tentang pela­yanan publik yang menge­depankan masya­rakat sebagai produk layanan pelayanan tersebut.

Tugas Aparatur Pemerintah

Pemerintah ber­ke­wajiban memberikan pe­layanan yang prima kepa­da masyarakat dalam rangka memenuhi ke­sejahteraan publik. Pe­layanan prima tersebut berwujud pelayanan yang maksimal dan berkualitas. Sementara Thoha (1995:4) mengatakan tugas pe­layan publik adalah mene­kankan kepada mendahulukan kepen­tingan umum, mempermudah urusan publik dan mempersingkat waktu proses pelaksanaan urusan publik.

Untuk itu aparatur peme­rintah mesti mencarikan solusi masalah transportasi yang tepat agar pelayanan public dapat berjalan dengan semestinya. Memang upaya pemerintah DKI Jakarta mengurai kema­cetan selalu dilakukan. Namun begitu, kenyataannya kema­cetan tak kunjung mengalami penurunan.

Menurut penulis, dalam rangka meningkatkan pelay­anan public bertransportasi yang harus dilakukan peme­rintah DKI Jakarta antara lain, Pertama, penegakan aturan harus dikuti dengan pem­berlakukan sanksi yang tegas. Ini kadang-kadang yang menja­di titik lemah setiap kebijakan dilakukan. Saat ini Pemerintah DKI melakukan Derek kepada kendaraan yang par­kir sembarangan, berda­sarkan Perda No 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah. Kebijakan yang mulai berlaku dimulai 8 September 2014 ini diharapkan tidak setengah hati sehingga efektif untuk mem­buat jera pelanggar rambu larangan.

Kedua, pelayanan Trans Jakarta juga lebih dimak­simalkan sehingga pemilik kendaraan pribadi beralih ke transportasi massal. Kedatangan yang sering terlambat dan antrean membuat penumpang tak percaya lagi dengan Transjakarta. Untuk itu perlu adanya manajemen pelayanan yang dapat mengukur waktu kedatangan dan jumlah bus yang dibutuhkan. Selanjutnya kualitas bus harus ditingkatkan tidak ada yang terbakar.

Ketiga, alur kemacetan di Jakarta tidak hanya persoalan pemerintah DKI semata tetapi sudah menjadi masalah na­sional. Untuk itu perlu didorong perencanaan transportasi darat yang sinergis dengan rencana transportasi nasional sehingga mampu mengatasi  perma­salahan transportasi di Jakarta.

Keempat, selain aturan yang lemah sebenarnya ma­salah krusial kemacetan terletak pada mental pe­ngendara yang tidak me­ngindahkan aturan ber­lalu­lintas. Seringkali ditemukan pengendara yang menerobos jalurtrans Jakarta, bahkan lampu merah pun diterobos. Untuk itu pemerintah harus bisa secara perlahan melalui sosialisasi memperbaiki mental masyarakat agar memiliki kepatuhan dalam meng­gu­nakan kendaraan.

Akhirnya, harapan akan berakhirnya kemacetan di Jakarta tentu menjadi keinginan semua warga Jakarta. Karena macet jelas sekali merugikan kepentingan warga. Untuk itu pemerintah seyog­yanya  memperbaiki pelayanan bertransportasi kepada warga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar