Mengerdilkan
Daerah
Taufik Ikram Jamil ;
Sastrawan
|
TEMPO,
11 September 2014
Wacana
pemilihan kepala daerah untuk menentukan gubernur dan bupati/wali kota
melalui DPRD, mengerdilkan daerah, dan menjadikannya sebagai ladang
perburuan. Selain itu, pemilihan pemimpin formal di daerah dipisahkan dari
sistem pemilihan pemimpin formal nasional yang memperlihatkan daerah hanyalah
sebagai obyek. Belum lagi hal yang berkaitan dengan gonjang-ganjing
pengesahan RUU Pilkada, yang hanya memperlihatkan kekuasaan tanpa rasa malu,
sehingga berdampak pemudaran rasa kebangsaan.
Melalui
pesan pendek, kawan saya Abdul Wahab menulis, "Kenyataan ini ironis karena pertama-tama, yang dikatakan
nasional adalah gabungan antardaerah sekaligus tempat bermukimnya masyarakat,
sehingga seharusnya apa yang terjadi di daerah merupakan cerminan nasional.
Jika pemimpin nasional, yakni presiden, dipilih langsung, tentu hal serupa
dilakukan untuk pemimpin di daerah. Demikian pula sebaliknya. Jika sistem
pemilihan ini tidak sejalan, daerah terkesan bukan bagian dari nasional,
sehingga pada gilirannya dapat mempertebal keinginan disintegrasi."
Di
sisi lain, patut diakui bahwa pilkada melalui DPRD menyebabkan pemimpin di
daerah hanya menjadi milik partai. Padahal kehidupan politik sesungguhnya
bukan hanya terletak pada partai. Dengan adanya pemilihan langsung, elemen
lainnya akan ikut berpartisipasi. Hal ini tidak saja penting bagi kehidupan
berdemokrasi, tapi juga lebih luas bagi kreativitas manusia. Menguasai partai
tidak berarti menguasai hak pilih seseorang terhadap pemimpin. Sebab, baik
pemilih maupun yang dipilih memiliki elemen lain sesuai dengan harkat manusia
sebagai makhluk multidimensional.
Saya
mencoba mengimbangi pandangan Wahab itu dengan menulis bahwa pengalaman dalam
pilpres yang baru lalu kembali mengajarkan kita bahwa partai bukan
segala-galanya dalam menentukan seorang pemimpin. Kubu Prabowo-Hatta
menguasai lebih dari 60 persen partai di parlemen, tapi harus mengaku kalah
oleh kubu lainnya. "Bukankah kalau
pilpres melalui DPR, dapat dipastikan Jokowi-JK kalah telak dan Prabowo-Hatta
melenggang kangkung tampil sebagai pejabat nomor satu dan dua di republik
ini. Namun nyatanya, kekuatan non-partai lebih besar dibanding partai
kan?" demikian saya menulis. Pilkada melalui DPRD, tutur Wahab,
hanya memperkuat satu kubu tertentu, sehingga dinamisasi politik di daerah
dipangkas habis. Apalagi, patut dicurigai wacana tersebut merupakan jilid
baru pertentangan antara kubu Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta. Kubu terakhir
dengan nama koalisi Merah Putih (KMP) menginginkan pilkada melalui DPRD,
sedangkan kubu Jokowi-JK sebaliknya. Dengan keyakinan menguasai DPRD, KMP
yakin akan merebut posisi pimpinan di daerah yang setidak-tidaknya dapat
mengkritik setiap keputusan nasional-agar tidak dikatakan menghambat.
Kecurigaan
tersebut beralasan karena sikap KMP itu terjadi justru setelah kalah dalam
pemilihan presiden 2014. Padahal, sebelumnya mereka berhasrat mempertahankan
pilkada langsung. Bila dibandingkan dengan RUU yang diajukan pemerintah
melalui Kemendagri, sikap KMP tersebut semakin mengecewakan. Sebab, RUU yang
diajukan pihak eksekutif sempat diubah akibat tantangan dari semua partai di
parlemen. Semula, pihak eksekutif mengusulkan agar semua kepala daerah
dipilih DPRD, kemudian berubah sehingga hanya bupati/wali kota yang dipilih
DPRD. Adapun gubernur dipilih langsung. Duh... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar