Jumat, 12 September 2014

Mengerdilkan Daerah

Mengerdilkan Daerah

Taufik Ikram Jamil  ;   Sastrawan
TEMPO, 11 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Wacana pemilihan kepala daerah untuk menentukan gubernur dan bupati/wali kota melalui DPRD, mengerdilkan daerah, dan menjadikannya sebagai ladang perburuan. Selain itu, pemilihan pemimpin formal di daerah dipisahkan dari sistem pemilihan pemimpin formal nasional yang memperlihatkan daerah hanyalah sebagai obyek. Belum lagi hal yang berkaitan dengan gonjang-ganjing pengesahan RUU Pilkada, yang hanya memperlihatkan kekuasaan tanpa rasa malu, sehingga berdampak pemudaran rasa kebangsaan.

Melalui pesan pendek, kawan saya Abdul Wahab menulis, "Kenyataan ini ironis karena pertama-tama, yang dikatakan nasional adalah gabungan antardaerah sekaligus tempat bermukimnya masyarakat, sehingga seharusnya apa yang terjadi di daerah merupakan cerminan nasional. Jika pemimpin nasional, yakni presiden, dipilih langsung, tentu hal serupa dilakukan untuk pemimpin di daerah. Demikian pula sebaliknya. Jika sistem pemilihan ini tidak sejalan, daerah terkesan bukan bagian dari nasional, sehingga pada gilirannya dapat mempertebal keinginan disintegrasi."

Di sisi lain, patut diakui bahwa pilkada melalui DPRD menyebabkan pemimpin di daerah hanya menjadi milik partai. Padahal kehidupan politik sesungguhnya bukan hanya terletak pada partai. Dengan adanya pemilihan langsung, elemen lainnya akan ikut berpartisipasi. Hal ini tidak saja penting bagi kehidupan berdemokrasi, tapi juga lebih luas bagi kreativitas manusia. Menguasai partai tidak berarti menguasai hak pilih seseorang terhadap pemimpin. Sebab, baik pemilih maupun yang dipilih memiliki elemen lain sesuai dengan harkat manusia sebagai makhluk multidimensional.

Saya mencoba mengimbangi pandangan Wahab itu dengan menulis bahwa pengalaman dalam pilpres yang baru lalu kembali mengajarkan kita bahwa partai bukan segala-galanya dalam menentukan seorang pemimpin. Kubu Prabowo-Hatta menguasai lebih dari 60 persen partai di parlemen, tapi harus mengaku kalah oleh kubu lainnya. "Bukankah kalau pilpres melalui DPR, dapat dipastikan Jokowi-JK kalah telak dan Prabowo-Hatta melenggang kangkung tampil sebagai pejabat nomor satu dan dua di republik ini. Namun nyatanya, kekuatan non-partai lebih besar dibanding partai kan?" demikian saya menulis. Pilkada melalui DPRD, tutur Wahab, hanya memperkuat satu kubu tertentu, sehingga dinamisasi politik di daerah dipangkas habis. Apalagi, patut dicurigai wacana tersebut merupakan jilid baru pertentangan antara kubu Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta. Kubu terakhir dengan nama koalisi Merah Putih (KMP) menginginkan pilkada melalui DPRD, sedangkan kubu Jokowi-JK sebaliknya. Dengan keyakinan menguasai DPRD, KMP yakin akan merebut posisi pimpinan di daerah yang setidak-tidaknya dapat mengkritik setiap keputusan nasional-agar tidak dikatakan menghambat.

Kecurigaan tersebut beralasan karena sikap KMP itu terjadi justru setelah kalah dalam pemilihan presiden 2014. Padahal, sebelumnya mereka berhasrat mempertahankan pilkada langsung. Bila dibandingkan dengan RUU yang diajukan pemerintah melalui Kemendagri, sikap KMP tersebut semakin mengecewakan. Sebab, RUU yang diajukan pihak eksekutif sempat diubah akibat tantangan dari semua partai di parlemen. Semula, pihak eksekutif mengusulkan agar semua kepala daerah dipilih DPRD, kemudian berubah sehingga hanya bupati/wali kota yang dipilih DPRD. Adapun gubernur dipilih langsung. Duh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar