Minggu, 14 September 2014

Menelisik Determinan Rasio Pajak

Menelisik Determinan Rasio Pajak

Lury Sofyan  ;   Alumnus GSAPS waseda, Tokyo
DETIKNEWS, 12 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Di awal masa pemerintahan Jokowi, isu fiscal space di APBN kembali menjadi perhatian. Berbagai alternatif solusi muncul untuk menanggulangi hal ini. Diantaranya adalah melalui peningkatan rasio pajak.

Banyak pihak berpendapat bahwa rasio pajak di Indonesia masih rendah. Meningkatkan rasio pajak memang sangat penting guna mendukung fiscal sustainability. Dorongan tersebut sangat masuk akal karena kebutuhan pembiayaan pembangunan dimasa datang akan semakin membengkak.

Hal ini sejalan dengan apa yang kita kenal dengan Wagner Law yang menyatakan bahwa fungsi pembiayaan pemerintah akan bertambah seiring pertumbuhan ekonomi.

Seluruh negara dimuka bumi ini berkepentingan dalam mencapai suatu rasio pajak yang optimal. Bukan hanya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, tetapi juga negara-negara maju yang banyak mengalami fiscal crisis, terlebih negara-negara yang tergolong low-income countries, mereka harus meningkatan rasio pajak kurang lebih 4% untuk mencapai Millenium Development Goals untuk mengurangi kemiskinan dan membangun infrastruktur (UN, 2005).

Namun demikian, pada kenyataannya pencapaian rasio pajak sangat beragam jika kita bandingkan suatu negara dengan negara yang lain.

Mengapa negara low income countries & middle income countries seperti Indonesia sulit untuk menaikan rasio pajak? Sedangkan beberapa negara maju memiliki rasio pajak yang sangat tinggi bahkan 2x lipat lebih.

Untuk menjawab pertanyaan itu, akan sangat berguna jika kita mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian rasio pajak.

Pandekatan Makro

Banyak studi yang mempelajari determinan dari rasio pajak. Dari sisi makro, Salah satu studi yang cukup komprehensif adalah Gupta (2007) yang melakukan studi empiris di 105 negara berkembang dalam kurun waktu 25 tahun yang dipublish dalam IMF Working paper series.

Dia menggarisbawahi bahwa proxy penting yang berpengaruh kepada rasio pajak adalah Pendapatan Per Kapita, Komposisi Output Sektoral, Tingkat Perdagangan Internasional (trade openess) , Bantuan & Hutang Luar Negeri, Tingkat Ekonomi Informal, dan faktor institutional seperti korupsi dan stabilitas politik.

Faktor Pendapatan Per Kapita menunjukan kemajuan ekonomi secara keseluruhan dari suatu bangsa sehingga menjadi faktor yang sangat penting. Komposisi Output Sektoral juga sangat berpengaruh karena menunjukan struktur dari perekonomian.

Negara yang lebih bergantung kepada pertanian cenderung lebih sulit untuk menarik pajak; negara agraris cenderung menghasilkan output yang lebih kecil dibanding negara industri karena produk pertanian memiliki nilai tambah yang kecil dan melibatkan pelaku yang banyak.

Faktor trade openess yang menunjukan porsi expor & impor suatu negara juga berpengaruh terhadap rasio pajak suatu negara.

Apakah berpengaruh positif atau negatif masih menjadi perdebatan. Liberalisasi perdagangan baik dalam skala internasional melalui WTO, melalui Free Trade Agreement (FTA) seperti Asean - China, atau FTA model bilateral agreement seperti Indonesia - Jepang, banyak mempengaruhi pendapatan dari pajak impor.
Selain itu, dengan meningkatnya trade openess, kompleksitas perdagangan juga bertambah dan berimplikasi pada meningkatnya peluang tax evasion.

Dilain pihak, beberapa ahli berpendapat bahwa dalam jangka panjang, meningkatnya trade openess akan menstimulus ekonomi sehingga meningkatkan GDP dan tentunya meningkatkan tax base.

Tidak kalah penting, Gupta (2007) juga menemukan bahwa negara-negara yang menggantungkan sumber penerimaan pajaknya pada jenis indirect tax seperti PPN memiliki kinerja yang lebih rendah dibanding negara-negara yang fokus kepada direct tax (PPh).

Efek distribusi dari kedua jenis pajak ini menjadi biang keladi utama; efek regresif dari PPN dapat mengakselerasi kesenjangan ekonomi dan akhirnya dapat mereduksi tax base.

Sedangkan PPh yang bersifat progressif merupakan salah satu senjata ampuh untuk mengurangi kesenjangan ekonomi sehingga dapat meningkatkan tax base. Catatan kecil untuk studi ini adalah tidak dimasukkannya proxy tax rate itu sendiri kedalam model.

Peran PPh di Indonesia cukup signifikan. Di tahun 2011, direct tax (PPh) memberikan kontribusi hampir 50% dari total penerimaan dibanding dengan kontribusi PPN yang menyumbang 32% saja.

Artinya jika kita merujuk ke studi di atas, porsi direct tax pada penerimaan pajak di Indonesia sudah dominan terlepas dari kenyataan bahwa masing-masing jenis pajak baik itu PPh atau PPN memiliki keunggulan dan prioritas rulling yang berlainan sehingga tentu tidak ada satu kesepakatan mana yang lebih baik.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah faktor institutional. Krisis fiskal yang dialami beberapa negara Eropa terutama Yunani karena ketidakmampuanya untuk menghimpun penerimaan secara mandiri melalui pajak banyak dipengaruhi oleh faktor institutional terutama korupsi.

Pandekatan Mikro

Selain faktor makro yang telah dibahas diatas, pencapaian rasio pajak yang optimal juga dipengaruhi faktor lain yang sifatnya lebih mikro, yaitu dari sisi strategi dan kebijakan serta proses bisnis yang terjadi didalam suatu tax authority, bahkan posisi suatu tax authority didalam suatu pemerintahan juga memegang peranan penting pencapaian suatu rasio pajak yang optimal (baca: Reformasi Pajak: the missing puzzle: http://www.pajak.go.id/node/4111?lang=en).

Selain itu, rasio pajak sangat berhubungan dengan tax compliance. Plumley (1996) dalam IRS paper series mengungkapkan bahwa income tax compliance dipengaruhi oleh banyak hal dari mulai audit coverage sampai dengan status perkawinan Wajib Pajak yang berstatus belum menikah memiliki compliance rate yang lebih rendah dibanding dengan yang sudah menikah, dan masih banyak variabel lainnya.

Namun demikian, Plumley (1996) menekankan bahwa peran data pihak ketiga sangat krusial. Semakin banyak data pihak ketiga yang masuk kedalam sistem perpajakan, compliance level dan rasio pajak akan semakin tinggi karena Wajib Pajak sulit untuk menyembunyikan penghasilannya.

Untuk mencapai tingkat rasio pajak yang optimal, harus diakui bahwa peran data pihak ketiga menjadi semakin signifikan karena kemudahan dan ketepatannya menyasar data yang sebelumnya tersembunyi.

Bisa dianalogikan juga bahwa tax authority yang belum mengoptimalkan peran data pihak ketiga adalah seperti suatu industri yang bersifat labour intensive karena membutuhkan banyak sumberdaya manusia untuk melakukan pengawasan terhadap wajib pajak, sedangkan tax authority yang sudah memanfaatkan data pihak ketiga lebih bersifat capital and technology intensive karena proses pengawasan dilakukan by-system.

Masih terkait peran data pihak ketiga dalam meningkatkan rasio pajak, studi menarik dilakukan di Denmark untuk mempelajari pyscological and cultural impact dari tax audit & peran data pihak ketiga. Kleven et. al. (2010) melakukan sampling terhadap 40.000 lebih tax filler dan membagi 2 kelompok secara random.

Pada base year, kelompok pertama dilakukan audit dan kelompok kedua tidak. Tahun berikutnya, semacam pemberitahuan audit threat dikirim secara random ke kedua grup tersebut.

Diantara beberapa kesimpulan yang mereka dapat, yang terpenting adalah bahwa tax evasion untuk self reported income cukup substansial yaitu (37%) sedangkan third party reported income sangat rendah (0,3%) dan tidak responsif kepada kemungkinan akan dilakukan audit.

Studi ini menemukan bahwa aspek psikologis sangat mempengaruhi tax compliance dan pada studi empiris ini dapat disimpulkan bahwa orang lebih takut untuk dipergoki oleh klarifi kasi data pihak ketiga dibanding dengan audit.

Lebih lanjut, OECD Center of Tax Policy and Administration memaparkan bahwa data pihak ketiga tidak hanya berpengaruh kepada pencapian penerimaan dan rasio pajak, tetapi juga sangat berpengaruh dalam mengurangi beban wajib pajak orang pribadi dan menekan administration cost di internal tax authority, karena banyak data wajib pajak yang secara otomatis dapat di-generate dari data pihak ketiga.

OECD Center of Tax Policy and Administration Report menyebutnya dengan nama "pre-populated return" dan informasi ini dikirim ke Wajib Pajak dalam bentuk kertas atau elektronik untuk dikonfirmasi. Khusus di Perancis, mereka menggunakan istilah yang berbeda yaitu pre-filled returns.

Konsep dasarnya sama yaitu pihak ketiga diharuskan untuk mengirimkan data terkait perpajakan secara elektronik mulai dari bulan Januari sampai dengan pertengahan Maret. Kemudian proses matching dilakukan hingga akhir bulan April. Informasi yang didapat dari proses itu akan otomatis masuk ke 3 6 juta SPT untuk dilakukan approval oleh wajib pajak dengan fasilitas internet with three clicks Data pihak ketiga mencakup area yang cukup luas yaitu diantaranya data Saham & Pinjaman (FTA, 2011).

Upaya yang telah dilakukan dan Tantangan

Dari variabel-variabel yang mempengaruhi rasio pajak, variabel yang bersifat makro sangat sulit untuk dikontrol dan diatur secara langsung atau dengan kata lain variabel-variabel tersebut lebih bersifat given. Bagi suatu tax authority, pilihan yang tersisa untuk mendongkrak rasio pajak yaitu dengan mengoptimalkan variabel-variabel mikro.

Banyak upaya yang sudah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan rasio pajak. Diantaranya yang paling menggema adalah Program Sensus Pajak Nasional (SPN) yang mulai digaungkan pada tahun 2011 untuk menjaring WP baru dan mengoptimalkan penerimaan dari existing taxpayers. DJP butuh data pihak ketiga untuk meng-counter data yang ada didalam SPT.

Sensus Pajak Nasional sangat membantu DJP dalam membangun database pajak yang lebih kuat, namun demikian pendekatan survei seperti SPN hanya menghasilkan data statis - tidak bergerak dan ter-update mengikuti jejak wajib pajak. Selain itu data SPN berumber dari pihak yang sama yaitu wajib pajak itu sendiri sehingga validitas dan akurasinya sebagai data counter SPT menjadi kurang mumpuni.

Terobosan seperti e-filing patut diacungi jempol dan harus terus dikembangkan karena bisa memberikan kemudahan kepada Wajib pajak sekaligus menekan beban adminsitrasi DJP. Jika data pihak ketiga sudah dapat dimanipulasi dengan baik, tantangan berikutnya adalah mengadopsi model pre-populated atau pre-filled tax return.

Optimalisasi data pihak ketiga memang membutuhkan koordinasi yang sangat kuat antara seluruh elemen pemerintahan dan swasta. Tidak hanya itu, keinginan politik menjadi dasar dari semuanya.

Karena akhirnya proses politiklah yang menentukan arah pengelolaan pajak di Indonesia. Termasuk menentukan akses data pihak ketiga yang paling mumpuni yaitu akses data perbankan untuk kepentingan pajak suatu praktik yang sudah lumrah dimiliki tax authority di berbagai negara di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar