Menelisik
Determinan Rasio Pajak
Lury Sofyan ;
Alumnus
GSAPS waseda, Tokyo
|
DETIKNEWS,
12 September 2014
Di
awal masa pemerintahan Jokowi, isu fiscal
space di APBN kembali menjadi perhatian. Berbagai alternatif solusi
muncul untuk menanggulangi hal ini. Diantaranya adalah melalui peningkatan
rasio pajak.
Banyak
pihak berpendapat bahwa rasio pajak di Indonesia masih rendah. Meningkatkan
rasio pajak memang sangat penting guna mendukung fiscal sustainability.
Dorongan tersebut sangat masuk akal karena kebutuhan pembiayaan pembangunan
dimasa datang akan semakin membengkak.
Hal
ini sejalan dengan apa yang kita kenal dengan Wagner Law yang menyatakan
bahwa fungsi pembiayaan pemerintah akan bertambah seiring pertumbuhan
ekonomi.
Seluruh
negara dimuka bumi ini berkepentingan dalam mencapai suatu rasio pajak yang
optimal. Bukan hanya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, tetapi
juga negara-negara maju yang banyak mengalami fiscal crisis, terlebih negara-negara yang tergolong low-income countries, mereka harus
meningkatan rasio pajak kurang lebih 4% untuk mencapai Millenium Development Goals untuk mengurangi kemiskinan dan
membangun infrastruktur (UN, 2005).
Namun
demikian, pada kenyataannya pencapaian rasio pajak sangat beragam jika kita
bandingkan suatu negara dengan negara yang lain.
Mengapa
negara low income countries &
middle income countries seperti Indonesia sulit untuk menaikan rasio
pajak? Sedangkan beberapa negara maju memiliki rasio pajak yang sangat tinggi
bahkan 2x lipat lebih.
Untuk
menjawab pertanyaan itu, akan sangat berguna jika kita mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian rasio pajak.
Pandekatan Makro
Banyak
studi yang mempelajari determinan dari rasio pajak. Dari sisi makro, Salah
satu studi yang cukup komprehensif adalah Gupta (2007) yang melakukan studi
empiris di 105 negara berkembang dalam kurun waktu 25 tahun yang dipublish
dalam IMF Working paper series.
Dia
menggarisbawahi bahwa proxy penting
yang berpengaruh kepada rasio pajak adalah Pendapatan Per Kapita, Komposisi
Output Sektoral, Tingkat Perdagangan Internasional (trade openess) , Bantuan & Hutang Luar Negeri, Tingkat
Ekonomi Informal, dan faktor institutional seperti korupsi dan stabilitas
politik.
Faktor
Pendapatan Per Kapita menunjukan kemajuan ekonomi secara keseluruhan dari
suatu bangsa sehingga menjadi faktor yang sangat penting. Komposisi Output
Sektoral juga sangat berpengaruh karena menunjukan struktur dari
perekonomian.
Negara
yang lebih bergantung kepada pertanian cenderung lebih sulit untuk menarik
pajak; negara agraris cenderung menghasilkan output yang lebih kecil
dibanding negara industri karena produk pertanian memiliki nilai tambah yang
kecil dan melibatkan pelaku yang banyak.
Faktor
trade openess yang menunjukan porsi
expor & impor suatu negara juga berpengaruh terhadap rasio pajak suatu
negara.
Apakah
berpengaruh positif atau negatif masih menjadi perdebatan. Liberalisasi
perdagangan baik dalam skala internasional melalui WTO, melalui Free Trade Agreement (FTA) seperti
Asean - China, atau FTA model bilateral agreement seperti Indonesia - Jepang,
banyak mempengaruhi pendapatan dari pajak impor.
Selain
itu, dengan meningkatnya trade openess,
kompleksitas perdagangan juga bertambah dan berimplikasi pada meningkatnya
peluang tax evasion.
Dilain
pihak, beberapa ahli berpendapat bahwa dalam jangka panjang, meningkatnya trade openess akan menstimulus ekonomi
sehingga meningkatkan GDP dan tentunya meningkatkan tax base.
Tidak
kalah penting, Gupta (2007) juga menemukan bahwa negara-negara yang
menggantungkan sumber penerimaan pajaknya pada jenis indirect tax seperti PPN memiliki kinerja yang lebih rendah
dibanding negara-negara yang fokus kepada direct tax (PPh).
Efek
distribusi dari kedua jenis pajak ini menjadi biang keladi utama; efek
regresif dari PPN dapat mengakselerasi kesenjangan ekonomi dan akhirnya dapat
mereduksi tax base.
Sedangkan
PPh yang bersifat progressif merupakan salah satu senjata ampuh untuk
mengurangi kesenjangan ekonomi sehingga dapat meningkatkan tax base. Catatan kecil untuk studi
ini adalah tidak dimasukkannya proxy
tax rate itu sendiri kedalam model.
Peran
PPh di Indonesia cukup signifikan. Di tahun 2011, direct tax (PPh) memberikan kontribusi hampir 50% dari total
penerimaan dibanding dengan kontribusi PPN yang menyumbang 32% saja.
Artinya
jika kita merujuk ke studi di atas, porsi direct
tax pada penerimaan pajak di Indonesia sudah dominan terlepas dari
kenyataan bahwa masing-masing jenis pajak baik itu PPh atau PPN memiliki
keunggulan dan prioritas rulling
yang berlainan sehingga tentu tidak ada satu kesepakatan mana yang lebih
baik.
Faktor
lain yang tidak kalah penting adalah faktor institutional. Krisis fiskal yang dialami beberapa
negara Eropa terutama Yunani karena ketidakmampuanya untuk menghimpun
penerimaan secara mandiri melalui pajak banyak dipengaruhi oleh faktor
institutional terutama korupsi.
Pandekatan
Mikro
Selain
faktor makro yang telah dibahas diatas, pencapaian rasio pajak yang optimal
juga dipengaruhi faktor lain yang sifatnya lebih mikro, yaitu dari sisi
strategi dan kebijakan serta proses bisnis yang terjadi didalam suatu tax
authority, bahkan posisi suatu tax
authority didalam suatu pemerintahan juga memegang peranan penting
pencapaian suatu rasio pajak yang optimal (baca: Reformasi Pajak: the missing
puzzle: http://www.pajak.go.id/node/4111?lang=en).
Selain
itu, rasio pajak sangat berhubungan dengan tax compliance. Plumley (1996) dalam IRS paper series
mengungkapkan bahwa income tax compliance dipengaruhi oleh banyak hal dari
mulai audit coverage sampai dengan
status perkawinan Wajib Pajak yang berstatus belum menikah memiliki compliance rate yang lebih rendah dibanding
dengan yang sudah menikah, dan masih banyak variabel lainnya.
Namun
demikian, Plumley (1996) menekankan bahwa peran data pihak ketiga sangat
krusial. Semakin banyak data pihak ketiga yang masuk kedalam sistem
perpajakan, compliance level dan rasio pajak akan semakin tinggi karena Wajib
Pajak sulit untuk menyembunyikan penghasilannya.
Untuk
mencapai tingkat rasio pajak yang optimal, harus diakui bahwa peran data
pihak ketiga menjadi semakin signifikan karena kemudahan dan ketepatannya
menyasar data yang sebelumnya tersembunyi.
Bisa
dianalogikan juga bahwa tax authority
yang belum mengoptimalkan peran data pihak ketiga adalah seperti suatu
industri yang bersifat labour intensive karena membutuhkan banyak sumberdaya
manusia untuk melakukan pengawasan terhadap wajib pajak, sedangkan tax authority yang sudah memanfaatkan
data pihak ketiga lebih bersifat capital and technology intensive karena proses pengawasan dilakukan
by-system.
Masih
terkait peran data pihak ketiga dalam meningkatkan rasio pajak, studi menarik
dilakukan di Denmark untuk mempelajari pyscological and cultural impact dari tax audit & peran data pihak ketiga.
Kleven et. al. (2010) melakukan sampling
terhadap 40.000 lebih tax filler dan membagi 2 kelompok secara random.
Pada
base year, kelompok pertama dilakukan audit dan kelompok kedua tidak. Tahun
berikutnya, semacam pemberitahuan audit
threat dikirim secara random ke kedua grup tersebut.
Diantara
beberapa kesimpulan yang mereka dapat, yang terpenting adalah bahwa tax
evasion untuk self reported income cukup substansial yaitu (37%) sedangkan
third party reported income sangat rendah (0,3%) dan tidak responsif kepada
kemungkinan akan dilakukan audit.
Studi
ini menemukan bahwa aspek psikologis sangat mempengaruhi tax compliance dan
pada studi empiris ini dapat disimpulkan bahwa orang lebih takut untuk
dipergoki oleh klarifi kasi data pihak ketiga dibanding dengan audit.
Lebih
lanjut, OECD Center of Tax Policy and
Administration memaparkan bahwa data pihak ketiga tidak hanya berpengaruh
kepada pencapian penerimaan dan rasio pajak, tetapi juga sangat berpengaruh
dalam mengurangi beban wajib pajak orang pribadi dan menekan administration cost di internal tax authority, karena banyak
data wajib pajak yang secara otomatis dapat di-generate dari data pihak
ketiga.
OECD
Center of Tax Policy and Administration
Report menyebutnya dengan nama "pre-populated return" dan
informasi ini dikirim ke Wajib Pajak dalam bentuk kertas atau elektronik
untuk dikonfirmasi. Khusus di Perancis, mereka menggunakan istilah yang
berbeda yaitu pre-filled returns.
Konsep
dasarnya sama yaitu pihak ketiga diharuskan untuk mengirimkan data terkait
perpajakan secara elektronik mulai dari bulan Januari sampai dengan
pertengahan Maret. Kemudian proses matching
dilakukan hingga akhir bulan April. Informasi yang didapat dari proses itu
akan otomatis masuk ke 3 6 juta SPT untuk dilakukan approval oleh wajib pajak
dengan fasilitas internet with three clicks Data pihak ketiga mencakup area
yang cukup luas yaitu diantaranya data Saham & Pinjaman (FTA, 2011).
Upaya yang telah
dilakukan dan Tantangan
Dari
variabel-variabel yang mempengaruhi rasio pajak, variabel yang bersifat makro
sangat sulit untuk dikontrol dan diatur secara langsung atau dengan kata lain
variabel-variabel tersebut lebih bersifat given. Bagi suatu tax
authority, pilihan yang tersisa untuk mendongkrak rasio pajak yaitu
dengan mengoptimalkan variabel-variabel mikro.
Banyak
upaya yang sudah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan rasio
pajak. Diantaranya yang paling menggema adalah Program Sensus Pajak Nasional
(SPN) yang mulai digaungkan pada tahun 2011 untuk menjaring WP baru dan
mengoptimalkan penerimaan dari existing taxpayers. DJP butuh data pihak
ketiga untuk meng-counter data yang ada didalam SPT.
Sensus
Pajak Nasional sangat membantu DJP dalam membangun database pajak yang lebih
kuat, namun demikian pendekatan survei seperti SPN hanya menghasilkan data
statis - tidak bergerak dan ter-update mengikuti jejak wajib pajak. Selain
itu data SPN berumber dari pihak yang sama yaitu wajib pajak itu sendiri
sehingga validitas dan akurasinya sebagai data counter SPT menjadi kurang
mumpuni.
Terobosan
seperti e-filing patut diacungi jempol dan harus terus dikembangkan karena
bisa memberikan kemudahan kepada Wajib pajak sekaligus menekan beban
adminsitrasi DJP. Jika data pihak ketiga sudah dapat dimanipulasi dengan
baik, tantangan berikutnya adalah mengadopsi model pre-populated atau pre-filled tax return.
Optimalisasi
data pihak ketiga memang membutuhkan koordinasi yang sangat kuat antara
seluruh elemen pemerintahan dan swasta. Tidak hanya itu, keinginan politik
menjadi dasar dari semuanya.
Karena
akhirnya proses politiklah yang menentukan arah pengelolaan pajak di Indonesia.
Termasuk menentukan akses data pihak ketiga yang paling mumpuni yaitu akses
data perbankan untuk kepentingan pajak suatu praktik yang sudah lumrah
dimiliki tax authority di berbagai
negara di dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar