Kisruh
PPP dan Masa Depan Partai Islam
Biyanto ;
Dosen
UIN Sunan Ampel;
Ketua
Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
JAWA
POS, 15 September 2014
KONFLIK
terbuka antarelite PPP semakin memanas. Puncaknya, terjadi saling pecat
antarkader partai berlambang Kakbah tersebut. Seakan tidak terima dirinya
dilengserkan secara tidak terhormat dari posisi ketua umum, Suryadharma Ali
(SDA) balik memecat sejumlah elite PPP. Tindakan SDA itu merupakan balasan
terhadap kelompok M. Romahurmuzy, Emron Pangkapi, dan Suharso Monoarfa.
Menurut SDA, tiga elite itulah yang terus merongrong posisinya. Oleh SDA,
ketiganya tidak hanya diberhentikan dari jabatan mereka, melainkan juga
dipecat dari keanggotaan sebagai PPP (JP, 13/9).
Kisruh
PPP semakin menambah suram wajah partai-partai Islam. Sebelumnya, PKS yang
digadang-gadang menjadi partai besar juga tersandung kasus korupsi. Bahkan
tidak tanggung-tanggung, kasus korupsi itu melibatkan presiden PKS. Fakta
tersebut menunjukkan bahwa sulit sekali mengharapkan kejayaan partai-partai
Islam. Padahal, pada era Orde Lama, partai Islam yang direpresentasikan
Masyumi dan NU mengalami masa kejayaan. Saat itu Partai Masyumi dan NU mampu
bersaing ketat dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Dengan
meminjam kategori yang dibuat Saiful Mujani, partai Islam dapat dibagi
menjadi dua. Pertama, partai yang berbasis organisasi kemasyarakatan (ormas)
keislaman, seperti PKB dan PAN. Kedua, partai yang secara eksplisit
menyebutkan Islam sebagai asas ideologi, seperti PKS, PPP, dan PBB. Sejauh
ini partai-partai Islam tersebut belum menunjukkan kiprah yang
menggembirakan. Data Pemilu 2014 menunjukkan, hanya PKB yang mengalami
kenaikan suara signifikan dengan perolehan 9,04 persen. Sementara itu, partai
Islam lain menunjukkan perolehan suara yang kurang signifikan. Misalnya, PAN
(7,59 persen), PKS (6, 79 persen), PPP (6,53 persen), dan PBB (1,46 persen).
Pertanyaannya,
mengapa partai-partai Islam belum menunjukkan perkembangan yang signifikan,
padahal mayoritas bangsa ini beragama Islam? Setidaknya ada empat faktor yang
menyebabkan belum berhasilnya partai-partai Islam. Pertama, umat Islam yang
suaranya diperebutkan partai-partai Islam adalah mereka yang tergabung dalam
berbagai ormas keislaman. Polarisasi umat Islam dalam berbagai ormas
keagamaan itu secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya penyebaran suara
sehingga tidak dapat dimobilisasi untuk memilih partai Islam tertentu. Selalu
ada alasan yang bersifat emosional dan ideologis sehingga suara umat tersebar
ke beberapa partai.
Faktor
kedua, perjalanan sejarah umat Islam Indonesia selalu diwarnai munculnya
kecenderungan militerisasi. Akibatnya, umat Islam mengalami trauma politik
karena harus berhadapan dengan kolaborasi kekuasaan dan kekuatan militer.
Fenomena itu bisa diamati pada awal era Orde Baru hingga pertengahan 1980-an.
Pada masa itu, banyak elite muslim yang menjadi korban politik kekuasaan Orde
Baru melalui isu ’’komando jihad”. Dampaknya, umat Islam tidak lagi
menempatkan politik sebagai satu-satunya orientasi perjuangan.
Sebagian
elite muslim mulai menempuh perjuangan melalui jalur kultural dengan
mengembangkan institusi pendidikan, ekonomi-bisnis, dan berbagai jenis
pelayanan sosial. Hasil perjuangan melalui jalur kultural tersebut kini mulai
bisa dirasakan. Tengoklah berbagai lembaga pendidikan berkualitas yang siap
mencetak generasi masa depan bangsa; lembaga ekonomi-bisnis yang mampu menjadi
tumpuan pemberdayaan potensi ekonomi umat; serta lembaga sosial seperti rumah
sakit dan panti asuhan yang siap memberikan pelayanan. Berjuang melalui jalur
kultural ini seakan telah menghadirkan blessing in disguise (rahmat
tersembunyi) bagi umat.
Faktor
ketiga, dikarenakan tema yang wacanakan elite partai berplatform Islam dan
berbasis ormas keislaman banyak yang tidak berkaitan dengan persoalan riil
rakyat. Tema seperti pemberlakuan syariat Islam, khilafah, dan pembentukan
negara Islam, rasanya, sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Tema itu
hanya melahirkan romantisme sejarah kejayaan masa silam dan tidak mampu
menjawab persoalan yang kini dihadapi umat.
Faktor
keempat berkaitan dengan performansi elite partai Islam. Sudah bukan rahasia
lagi, betapa banyak elite partai berplatform Islam dan berbasis ormas
keislaman yang tidak menunjukkan karakter sebagai politisi muslim sejati.
Sebagian mereka bahkan menampilkan diri layaknya ”politisi busuk” karena
terlibat kasus suap, korupsi, dan perempuan. Bandingkan dengan perilaku
politisi berkarakter seperti M. Natsir yang juga ideolog Masyumi. Misalnya,
Natsir pernah menolak untuk bergabung dalam kabinet pemerintahan Mr Ali
Sastroamijoyo (PNI) pada masa demokrasi liberal karena merasa ada perbedaan prinsipil
dengan kebijakan pemerintah.
Marilah
kita bandingkan keteguhan Natsir dengan sikap politik yang ditunjukkan elite
partai Islam masa kini. Mereka yang pada saat kampanye berjanji
memperjuangkan sesuatu yang dipandang ideal menurut ajaran Islam ternyata
malah tunduk pada proses tawar-menawar politik. Itu dapat dilihat dari
tarik-menarik kekuatan elite PPP dalam menentukan sikap terhadap pemerintah
baru. Sebagian elite menghendaki tetap bersama Koalisi Merah Putih yang
dipelopori partai pendukung pasangan Prabowo-Hatta. Sebagian lagi
menginginkan untuk bergabung dengan kubu pemenang pilpres, Joko Widodo-Jusuf
Kalla.
Tampak
sekali sebagian elite partai Islam ingin memosisikan diri sebagai oposisi
kritis. Sementara itu, pada saat bersamaan sebagian elite tetap berkeinginan
untuk menjadi bagian dari kekuasaan. Sikap mendua tersebut jelas menunjukkan
buruknya performansi elite partai Islam. Dengan sikap itu, mereka sejatinya
telah kehilangan idealisme dalam berpolitik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar