Senin, 14 Juli 2014

Waspadai Dramatisasi Ramadan

                              Waspadai Dramatisasi Ramadan

Muhammadun  ;   Analis pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
KORAN JAKARTA,  12 Juli 2014
                                                


Televisi  Indonesia menyajikan drama religius dalam banyak  tayangan sepanjang ramadhan dalam bentuk  sinetron, iklan, film dan sebagainya. Penayangannya mulai sahur sampai menjelang sahur kembali. Banyak tayangan mendadak menjadi religius. Demikian para pemainnya, semula  tak berjilbab dan tak bersongkok, lalu mengenakannya pakaian tersebut.

Drama religius ini selalu hadir setiap ramadhan, sampai-sampai sebagian umat Islam menghabiskan waktunya di depan televisi. Mereka meninggalkan majelis taklim untuk belajar agama. Ulama dan kiai ditinggalkan. Mereka lebih memilih menonton selebritis yang mendadak menjadi ‘ustadz.’

Tayangan ini oleh  Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1982) dinamakan sebagai dramaturgi. Para artis memainkan drama sinetron religius sesuai dengan pesan dan arahan sutradara, bukan atas dasar ajaran agama. Seluruh  babak  telah didesain secara dramatik, sehingga terjadi berbagai akting yang memukau dan penuh sensasi.

Dalam dramatugi Goffman, identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung pada  interaksi dalam sebuah peran yang dijalankan. Di sinilah dramaturgi masuk. Para  artis menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgi, interaksi dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Artis adalah pemain yang berusaha  menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri.”

Goffman memperkenalkan istilah  “impression management” di mana  manusia merupakan pemain drama yang sangat lihai. Dia  membangun konsep dan manajemen drama untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Agar pertunjukan drama religius semakin cerdas, sang aktor akan memperhitungkan seting, kostum, penggunaan kata (dialog) dan tindakan nonverbal lain. Hal ini tentunya  untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan.   

Karena drama religius ingin mencari sebuah tujuan tertentu, maka perilau  sang aktor  di atas panggung berbeda  saat di belakang panggung. Di panggung, dia benar-benar memainkan  drama  sesuai dengan peran. Perilaku  dibatasi  konsep-konsep  yang bertujuan untuk membuat drama  berhasil. Tetapi ketika berada di belakang panggung, pemeran  akan bermain sesuka hatinya, tanpa mempedulikan plot yang telah direncakan.  

Senada dengan pemikiran Goffman, Aristoteles dalam Poetics, juga melihat dramaturgi sebagai sebuah drama kehidupan yang dimainkan manusia untuk menggapai tujuan-tujuan. Aristoteles bahkan menganalisis karakter sang aktor sangat berperan besar bagi kesuksesan sebuah drama. Aktor yang cerdas akan membuat drama semakin menarik, lincah, dan menghibur.

Komoditas

Filosof  Kenneth Duva Burke mengatakan  bahwa hidup bukan sekadar seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. Setiap manusia merupakan aktor dalam kehidupan masing-masing. Umat Islam sedang memainkan drama hidup dalam berpuasa di bulan ramadhan. Sementara televisi dan industri perfilman juga memainkan dramanya sendiri. “Semua elemen memainkan drama sendiri-sendiri, asal jangan merusak keindahan kehidupan yang telah dititahkan,” lanjut Burke.

Sayang, drama religius yang dipertontonkan televisi menimbulkan dramaturgi beragama. Agama dijadikan sebagai drama dalam komoditas industri, sehingga menghadirkan banyak keuntungan. Yang mereka perankan dalam  drama, film atau  lainnya sama sekali tak berkaitan dengan kehidupan di luar. Makanya, ajaran agama yang dipetuahkan di panggung televisi sama sekali tak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang dijalani.

Ungkapan  di atas panggung  tak berrelasi saat di belakang panggung. Jangan salahkan mereka ketika berada di belakang panggung tak mau dilekatkan dengan persoalan ajaran agama yang telah diujarkan dan diajarkan. Ini jelas “merusak keindahan kehidupan yang telah dititahkan,” kata Burke.

Dalam dramaturgi beragama, puasa hanya menjadi komoditas industri, bukan sebuah momentum meningkatkan keimanan. Jangan kecewa kalau petuah yang diajarkan tak sesuai dengan senyatanya karena mereka bukan ulama atau kiai yang teguh menjalankan ajaran, walaupun tanpa panggung.

Di sinilah, umat Islam mestinya sadar dengan drama yang sedang terjadi. Mereka jangan sampai terjebak dan larut dalam dramatisasi agama yang diperankan dalam media. Ramadhan adalah momentum mengasah hati nurani dalam meningkatkan keimanan, bukan momentum menonton drama religi yang hanya meningkatkan rating siaran.

Untuk itu,  sudah saatnya umat Islam melakukan respiritualisasi terhadap puasa yang dijalankan di tengah gemuruh teknologi informasi yang berkembang cepat. Repsiritualisasi dalam  ramadhan dilakukan  dengan memantapkan hati dalam merengkuh surga kebajikan dan kebaikan yang ditebarkan Allah sepanjang siang dan malam.

Jangan sampai  hanya lapar dan dahaga karena itu merugikan diri sendiri. Dalam ramadhan, amal umat Islam  diterima dan doa dikabulkan. Inilah drama sebenarnya yang mestinya dijalankan orang  Islam. Akan semakin lengkap, bila   puasa  dibarengi bersedekah kepada sesama. Ingat pesan nabi “Barang siapa di antara kamu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan ia diberi ampun atas dosa-dosanya di masa lalu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar