Jumat, 04 Juli 2014

Terpaksa Harus Menang

                                          Terpaksa Harus Menang

Reza Indragiri Amriel  ;   Psikolog Forensik, Pemilik KTP Jakarta;
Mantan Ketua Delegasi Indonesia pada Program Pertukaran Pemuda Indonesia Australia
KORAN SINDO,  02 Juli 2014
                                                


Masuk akal, namun & sejujurnya & mengesalkan sekali apabila setiap perbincangan tentang Prabowo, Hatta, Jokowi, dan Jusuf Kalla selalu dihubung-hubungkan dengan keberpihakan politik.

Tidak sedikit warga yang sekarang seperti memakai kacamata kuda. Semuanya ditafsirkan ala bilangan biner: kalau bukan 0, pasti 1. Jika tidak berpihak ke 1, musti condong ke 0. Penyimpulan masalah sedemikian dangkal bisa membuat diskusi akal sehat berubah sekejap menjadi debat panas dahsyat.

Dan itu gara-gara proses berpikir yang serba apriori. Dengan menulis ini, hampir bisa dipastikan saya akan dicap sebagai pro salah satu kubu dan kontra kubu lain. Tapi persetan dengan itu. Dengan KTP DKI Jakarta di dalam dompet, tidak sebatas memiliki hak, saya pun berkewajiban mengingatkan Joko Widodo selaku individu yang (pernah) menjabat gubernur DKI Jakarta.

Memang tidak ada yang sungguh-sungguh baru dalam tulisan ini. Namun karena Jokowi adalah sosok yang kadung menghidangkan janji tentang Jakarta yang baru di bawah kepemimpinannya, ketika Jakarta tidak memperlihatkan kebaruan itu, protes keras sudah sepatutnya diteriakkan kepada Jokowi. Dan kembali centang perenangnya Tanabang adalah representasi kegagalan Jokowi menciptakan Jakarta baru itu. Jokowi boleh saja dielu-elukan berkat aksi blusukannya .

Saya tidak anti itu. Jokowi ditahbiskan sebagai pemimpin pembawa paradigma baru. Blusukan dan bersimpuh sesaat setelah dilantik, merupakan gestur yang meyakinkan banyak orang bahwa Jokowi adalah pemimpin yang bermula dari benih kandung yang hidup di dalam rahim ibu pertiwi. Saya pun menyambut Jokowi (dan Ahok) sebagai kepala daerah kota kelahiran saya. Meski demikian, bukan baru sehari dua hari ini saya meragukan efektivitas blusukan ala Jokowi.

Anggaplah dengan blusukan Jokowi berhasil menata pasar di Solo, lalu disebutlah Jokowi sebagai walikota yang sukses memimpin seantero Surakarta. Mendatangi setiap jengkal sebuah wilayah seluas 44,04 kilometer persegi, itulah yang langsung dianggap sebagai kunci keberhasilan Jokowi. Lain ceritanya ketika dari Solo Jokowi naik ke anak tangga politik berikutnya dengan menjadi orang satu di area seluas 664,01 kilometer persegi bernama DKI Jakarta. Sebesar apa pun cadangan stamina yang ia miliki, hampir bisa dipastikan blusukan ala Jokowi tidak akan menembus seluruh titik tersebut.

Itu berarti, memimpin Jakarta mengharuskan adanya kekuatan kepemimpinan yang berbeda. Dengan kata lain, silakan terus blusukan. Namun, kekuatan visi dan ketangguhan manajerial menjadi lebih penting. Orang bilang kekuatan- kekuatan macam itu sebagai sesuatu yang klise. Dan untuk mengokohkan asumsi itu, akal sehat publik pun dijungkir balik; masyarakat dikatakan kini tidak lagi membutuhkan hal klise tersebutsaat memilihpemimpin. Persoalannya, bahkan untuk halhal tadi yang disebut klise sekali pun, Jokowi faktanya kalah kuat dibandingkan dengan wakilnya di Gedung Balai Kota.

Dari situ, maaf kata, dahi kian berkerut jika dalam petualangan politik berikutnya Jokowi masih juga menempatkan blusukan sebagai gaya kepemimpinan unggulan. Indonesia bukan kota, bukan provinsi, tapi sebuah negara. Jika perairannya seluas 3.257.483 tidak mungkin dikunjungi, maka ada daratan berukuran 1.922.570 kilometer persegi yang bisa didatangi. Namun, siapa yang mampu menyambangi area seluas itu dengan memblusukinya satu per satu? Kembali ke masalah Jakarta, tepatnya ke Tanabang, kawasan itu dari masa ke masa semakin identik dengan zone rawan.

Rawan kemacetan, rawan kejahatan, dan segala kerawanan sekaligus keruwetan lainnya. Dulu Jokowi datang ke Tanabang. Melakukan pembenahan sana-sini. Walau tetap skeptis akan keberlangsungannya, langkah Jokowi tetap patut diapresiasi. Setidaknya Jokowi, gubernur DKI, menunjukkan bahwa pusat grosir terbesar se-Asia Tenggara itu dia jamah juga. Namun seperti sudah diduga, perubahan Tanabang ke kondisi sehat hanya berlangsung sesaat. Dengan serbaneka penyebab, wajah penyakitan (wajah asli!) Tanabang tampak kembali dalam kurun singkat.

Masyarakat, baik pedagang maupun pembeli maupun commuter, kembali membuat kekacauan di sana. Situasi ruwet bangkit secara gradual, dan itu sudah berlangsung bahkan sejak Jokowi masih berada di kursi gubernur. Betapapun demikian, sampai di situ, Jokowi tetap tidak pantas menjadi sasaran kecaman. Tanabang bisa diperbaiki dengan kejelasan arah dan keuletan.

Senyata-nyatanya persoalan meledak tatkala Jokowi ingkar janji untuk bertahan di Balai Kota hingga habis lima tahun masa jabatannya. Entah didorong oleh ambisi politiknya pribadi, atau dipanas-panasi oleh nafsu politik pihak lain, Jokowi kenyataannya kini sedang berlari menuju Istana Negara. Terukur sudah, bulat sudah, bagaimana pengaruh Jokowi bagi Jakarta. Jokowi adalah figur yang amat populer, tiada keraguan di situ.

Tapi Jokowi ternyata bukan sosok pengilham. Ia gagal menginspirasi ribuan warga Jakarta, atau & setidaknya & ribuan orang di Tanabang, untuk juga bersungguh-sungguh menghadirkan wajah baru bagi Jakarta. Jelas, aktivitas mengubah sarana dan prasarana di Tanabang bisa dilakukan ala Bandung Bondowoso. Tapi Jakarta tidak membutuhkan tokoh khayali. Mencantikkan seantero Jakarta hanya dalam tempo semalam adalah menegakkan benang basah. Jika sebatas untuk memperbaiki sarana dan prasarana, Jakarta hanya perlu merekrut perusahaan konstruksi untuk mengemas ulang area di Jakarta Pusat itu.

Yang Ibu Kota butuhkan, jauh lebih mendasar lagi, adalah individu yang bisa mengubah psikologi orang-orang Jakarta. Sosok itu dicari untuk mengurai kesemrawutan pola pikir warga Jakarta. Dia diharapkan bisa menumbuhkan handarbeni alias perasaan memiliki di jutaan hati warga Jakarta. Dengan psikologi yang tertata, pola pikir yang jernih, dan handarbeni yang kuat, Jakarta akan dirawat kembali oleh para pemukimnya. Nah, untuk itu semua, tentu dibutuhkan waktu yang panjang dan interaksi yang intens.

Dan Jokowi & sebagaimana janjinya & punya waktu lima tahun, bahkan mungkin sepuluh tahun, untuk membuktikan bahwa dia gubernur yang bisa membuat perbedaan. Jokowi, berbekal pengalamannya di Solo, semestinya tahu akan kerja berat itu. Tapi faktanya, dia ”entah di mana” sejak beberapa pekan silam. Ketika interaksi antara warga Jakarta dan Jokowi baru mencapai fase keterpesonaan, dia malah seolah mengalami delusi bahwa pesona sama dengan pencapaian. Dan delusi itu yang kemudian dibawanya sebagai modal untuk memenangkan Indonesia.

Jokowi ingin menjadi presiden, sah-sah saja. Setiap politisi boleh membangun cita-cita setinggi itu. Hak konstitusi warga negara, terma kuncinya. Karena itulah, saya pribadi tidak melihat opsi lain: Jokowi memang terdesak harus keluar sebagai RI-1. Karena jika ia kalah, dan jika kelak kembali ke kursi gubernur DKI Jakarta, di mata saya ia sudah turun kelas menjadi petualang kuasa. Jangan pernah berharap kepala daerah macam itu masih akan punya wibawa! Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar