Senin, 14 Juli 2014

“Quick Count”

                                                         “Quick Count”

Tatak Ujiyati  ;   Direktur Riset Institut Survei Perilaku Politik;
Konsultan Ahli Quick Count Pilpres 2014 Poltracking Institute
KOMPAS, 14 Juli 2014

                                                              

HASIL penghitungan cepat (quick count) suara pada Pemilu Presiden 9 Juli terbelah menjadi dua. Di satu sisi hasil hitung cepat lembaga survei seperti Puskaptis, JSI, LSN, dan IRC memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Di sisi lain hitung cepat dari lembaga survei seperti Populi Center, Poltracking, Indikator, LSI, SMRC, bahkan Litbang Kompas menyatakan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang (Kompas, 10 Juli). Versi mana yang bisa dipercaya?

Sesungguhnya hitung cepat adalah metode ilmiah yang didukung teknologi komunikasi untuk memprediksi hasil akhir sebuah pemilu. Hitung cepat menerapkan metode sampling yang lazim diterapkan dalam penelitian kuantitatif.

Hasil hitung cepat diperoleh dengan cara menghitung perolehan suara di sejumlah TPS yang menjadi sampel. Sampel TPS dipilih secara acak dari populasi TPS yang ada. Secara teori, akurasi hasil hitung cepat bisa dihitung dari margin of error atau jumlah sampel TPS yang digunakan. Beberapa lembaga survei menggunakan sampel 2.000 TPS yang tersebar proporsional di semua provinsi dengan tingkat kesalahan 1 persen.

Sepanjang metodenya benar, hasil hitung cepat sangat akurat. Sebab, hitung cepat hanya menarik kesimpulan dari angka perolehan suara di TPS sampel. Relawan hitung cepat hanya mencatat dan melaporkan perolehan suara resmi di TPS sehingga hasilnya mendekati kebenaran.

Hitung cepat berbeda dengan survei opini publik ataupun exit poll. Hitung cepat menghitung jumlah perolehan suara di TPS, sedangkan exit poll bertanya kepada pemilih yang baru saja keluar dari bilik suara tentang siapa yang mereka coblos. Metode exit poll mengandalkan pengakuan pemilih yang bisa saja berbeda dengan yang dicoblosnya.

Sejarah quick count di Indonesia berawal sejak masa reformasi saat presiden dipilih langsung oleh rakyat. Pada Pilpres 2004, LP3ES memotori hitung cepat sebagai dukungan masyarakat sipil terhadap proses demokratisasi di Indonesia.

Hitung cepat mengawal proses pemilu agar berjalan jujur dan adil. Selain mencatat hasil perolehan suara di TPS, hitung cepat juga memantau proses pemilu mulai dari pembukaan kotak suara, proses pencoblosan, sampai penghitungan suara selesai.

Saat itu LP3ES merupakan satu-satunya lembaga penyelenggara hitung cepat. Hasil hitung cepat lembaga ini sangat ditunggu publik walaupun baru diketahui menjelang tengah malam. Hasil hitung cepat bisa memenuhi keingintahuan publik yang penasaran siapa pemenangnya karena pengumuman resmi KPU baru diketahui lebih kurang dua minggu setelah pencoblosan.

Dengan adanya prediksi hasil suara, masyarakat dan para kandidat bisa lebih siap menerima kemenangan ataupun kekalahan. Bersyukur ternyata hasil hitung cepat akurat karena hanya selisih 1 persen dibandingkan dengan hasil akhir perhitungan KPU.

Berbeda dengan hitung cepat 2004 yang menjadi acuan publik, tahun 2014 ini justru membingungkan publik. Bukan saja karena banyak lembaga survei yang terlibat, melainkan juga karena prediksi yang dihasilkan jauh berbeda. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hasil hitung cepat yang berbeda antar-penyelenggara asalkan tingkat kesalahan yang terjadi masih dalam batas toleransi. Ambang kesalahan (margin error) ini bisa dihitung dengan rumus statistik.

Persoalannya adalah bagaimana bila hasil hitung cepat yang dikeluarkan sudah di luar ambang kesalahan, seperti yang terjadi sekarang. Paling tidak ada tiga hal yang harus kita cermati untuk mengetahui lembaga mana yang bisa kita percaya.

Pertama, kita harus mengetahui sumber dana penyelenggaraan untuk mengungkap kepentingan di baliknya. Apalagi sekarang beberapa lembaga survei juga terlibat sebagai konsultan politik salah satu kandidat. Rasanya tak masuk akal bila ada pihak yang mau mengeluarkan dana relatif besar tanpa kepentingan apa pun. Kepentingan ini sedikit banyak akan memengaruhi obyektivitas hitung cepat.

Saat ini kira-kira dibutuhkan dana Rp 1,5 miliar-Rp 2 miliar untuk menyelenggarakan satu kali hitung cepat pilpres dengan 2.000 sampel TPS. Hitung cepat yang dibiayai secara mandiri oleh lembaga survei tentu hasilnya sangat ideal. Sebab, mereka akan sekuat tenaga memegang prinsip obyektivitas. Semakin akurat prediksi hitung cepat, semakin tinggi pengakuan publik terhadap eksistensi mereka.

Oleh karena itu, sering antara lembaga survei dan stasiun televisi nasional bekerja sama saling menguntungkan dengan menyelenggarakan hitung cepat bersama. Lembaga survei mendapatkan publisitas, stasiun televisi meraih rating tinggi.

Persoalan menjadi berbeda manakala stasiun televisi sudah menjadi penjelmaan lain dari pihak kandidat. Bisa jadi akan ada bias kepentingan karena pihak stasiun televisi akan berusaha menyenangkan kandidat dan mengorbankan kaidah ilmiah.

Independensi

Gara-gara menggunakan dana donor, dulu hitung cepat LP3ES pernah dipertanyakan independensinya oleh beberapa pihak. Pada Pemilu 1999 dan 2004 beberapa lembaga internasional memang memiliki program bantuan transisi demokrasi di Indonesia. Salah satu programnya adalah peningkatan partisipasi publik dalam politik. Kepentingan mereka adalah memperkuat demokratisasi di Indonesia. Karena itu, lembaga survei tetap bisa mempertahankan independensi dan menjalankan hitung cepat secara ilmiah.

Kini hitung cepat sering dibiayai, baik langsung maupun tidak langsung, oleh para kontestan pemilu sehingga rawan terpengaruh kepentingan politik. Penyelenggara hitung cepat akan selalu digoda untuk menyajikan data yang menyenangkan kontestan yang membiayainya sehingga mudah terpeleset menjadi partisan. Hitung cepat akhirnya menjadi corong kepentingan kandidat dan alat memengaruhi opini publik. Kaidah ilmiah diterjang habis demi uang sehingga hasilnya bisa menyimpang jauh dari kenyataan.

Namun, tidak selamanya hitung cepat yang dibiayai kandidat hasilnya tidak akurat. Sejauh lembaga survei tetap bisa menjaga kredibilitas dan kaidah ilmiah, hasilnya tetap akurat. Lembaga survei yang kredibel tetap bisa menjalankan hitung cepat secara obyektif tanpa dipengaruhi oleh kepentingan penyandang dana. Ini adalah hal kedua yang harus kita perhatikan untuk menilai kredibilitas lembaga dan hasil hitung cepat.

Lembaga survei yang kredibel tidak akan bunuh diri merilis hitung cepat pesanan yang mengorbankan kredibilitasnya. Sebab, kredibilitas lembaga survei dibangun melalui rangkaian waktu yang panjang dan dedikasi kuat menjalankan survei secara profesional. Kredibiltas lembaga survei bisa kita telusuri dari rekam jejaknya dalam menjalankan profesinya.

Maka, kita patut merasa waswas dengan hitung cepat yang dirilis oleh lembaga survei yang belum punya rekam jejak sebagai penyelenggara hitung cepat. Apalagi bila lembaga survei yang tercatat pernah melanggar kode etik. Wajar bila kita mencurigainya sebagai hitung cepat pesanan. Kita juga patut mempertanyakan hasil hitung cepat dari lembaga-lembaga survei musiman. Apalagi bila hasilnya tidak masuk akal atau berbeda dengan arus utama hasil hitung cepat.

Hal ketiga untuk menilai kredibilitas hitung cepat adalah melihat metodologinya. Lembaga survei yang selama ini kredibel juga tetap perlu dicurigai dari sisi metodologi. Bahkan, lembaga survei kredibel yang menjalankan hitung cepat dengan dana internal dan dana publik pun tetap harus kita kritisi.

Lembaga survei kredibel mungkin bisa melepaskan diri dari kesalahan metode pengambilan sampel (sampling error). Namun, dalam situasi tertentu, mereka tidak bisa mengendalikan pelaksanaan di lapangan. Kesalahan pada proses implementasi di lapangan (non-sampling error) ini juga bisa memengaruhi akurasi hasil.

Acap kali apa yang kita desain tidak dapat diterapkan secara ketat di lapangan. Misalnya saja, pada pilpres kali ini, beberapa TPS sampel di Kabupaten Deiyai dan Paniai, Papua, tidak bisa terpantau karena mereka menggunakan sistem noken. Beberapa TPS sampel ternyata sangat sulit dijangkau sehingga harus diganti dengan TPS lain.

Faktor lainnya soal kecermatan dan kejujuran relawan pemantau hitung cepat di lapangan. Ada kemungkinan relawan pemantau melakukan human error pada saat proses pencatatan dan pengiriman data perolehan suara di TPS. Apabila human error ini terjadi secara masif, tidak mustahil hasil hitung cepat akan sangat berbeda dengan hasil KPU.

Dari sini kita bisa memahami bahwa semua lembaga survei bisa mengalami kesalahan akurasi, baik disengaja maupun tidak. Yang paling tidak bisa diterima adalah kesalahan akurasi yang disengaja. Lembaga survei yang secara sengaja merilis hasil hitung cepat fiktif atau pesanan yang sudah ”disesuaikan” dengan kepentingan politik tertentu, tidak hanya merusak citra dan kredibilitas lembaga survei secara keseluruhan, tetapi juga membahayakan karena bisa memicu ketidakstabilan politik.

Ini adalah pelanggaran berat terhadap kode etik lembaga survei dan layak untuk dikeluarkan dari keanggotaan serta direkomendasikan untuk dibubarkan.

Asosiasi harus berani mengkaji apakah kesalahan akurasi tersebut masuk dalam kategori disengaja atau tidak. Namun, semua itu baru bisa dilakukan setelah penghitungan suara oleh KPU selesai. Setelah KPU mengeluarkan hasil resmi, asosiasi bisa memanggil lembaga-lembaga survei yang sengaja merilis hitung cepat pesanan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar