Nadine,
Sastra, dan Politik
Anton Kurnia ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 19 Juli 2014
Nadine
Gordimer mungkin tak terlalu populer bagi khalayak awam kita. Dia sastrawan
Afrika Selatan pemenang hadiah Nobel Sastra 1991 yang baru saja wafat pada 13
Juli 2014 di Johannesburg dalam usia 90 tahun.
Dia
menulis cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya itu diterbitkan sebagai lebih
dari 30 buku yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa
Indonesia. Karya utamanya antara lain novel The Conservationist yang memenangi Booker Prize 1974.
Perempuan
kulit putih ini terutama dikenal karena menulis tentang anti-rasisme dan
ketidakadilan sosial di Afrika Selatan akibat politik apartheid. Banyak
karyanya mengambil tema politis tentang penindasan orang kulit putih atas
mayoritas kulit hitam di negaranya sebelum naiknya Nelson Mandela sebagai presiden
Afrika Selatan kulit hitam pertama pada 1994. Karena kecenderungan politik
dan kritik keras dalam karyanya, sejumlah buku Nadine pernah dilarang beredar
oleh rezim apartheid Afrika Selatan, termasuk novel The Late Bourgeois World (1966) dan Burger's Daughter (1979).
Dalam
pidato penyerahan hadiah Nobel Sastra 1991 di Stockholm, "Writing and Being", Nadine menegaskan pendiriannya
bahwa tugas seorang penulis adalah menyuarakan pembelaan terhadap mereka yang
tertindas di bagian dunia mana pun. Hal itu tecermin dalam karya-karyanya.
Dunia
begitu menghargai karya Nadine. Selain mendapat Nobel dan Booker Prize, dia
meraih W. H. Smith Literary Award (1961), James Tait Black Memorial Prize
(1971), hadiah sastra Grand Aigle d'Or dari Prancis (1985), Premio Malaparte
dari Italia (1985), hadiah Nelly Sachs dari Jerman (1986), Primo Levy
Literary Award dari Italia (2002), dan Mary McCarthy Award dari Amerika
Serikat (2003).
Sebagai
penulis yang punya kepedulian sosial, Nadine tak hanya angkat pena, tapi juga
berpolitik aktif melalui African
National Congress (ANC) bersama Nelson Mandela. Mereka berkawan akrab.
Nadine menyunting pidato pembelaan terkenal Mandela yang menggetarkan saat
diadili oleh penguasa apartheid kulit putih pada 1962, "I Am Prepared To Die". Sebagai penghargaan kepada
Nadine atas aktivitas politik dan komitmen sastranya, dia termasuk salah
seorang yang pertama kali ditemui Mandela selepas pejuang hak asasi manusia
itu bebas dari penjara 27 tahun.
Terkait
dengan wafatnya Nadine, Nelson Mandela Foundation dalam pernyataan resminya
menandaskan, "Kita kehilangan
seorang penulis hebat, seorang patriot, dan pembela persamaan hak serta
demokrasi kelas dunia."
Tak
hanya rekan sebangsanya, kalangan sastra internasional pun menyatakan
berbelasungkawa atas kepergiannya. Pengarang Kanada yang juga sesama peraih
Booker Prize, Margaret Atwood, menyatakan, "Sangat bersedih mendengar wafatnya Nadine Gordimer. Dia salah
satu juru bicara terbesar hak-hak asasi manusia yang tak kenal rasa
takut."
Bagi
yang pernah hidup dalam tindasan rezim otoriter, rasa takut dalam perjuangan
yang berisiko nyawa serta pembungkaman paksa oleh negara bukan paranoia
semata. Namun, bagi Nadine, bukan itu benar yang membuatnya ngeri. Dalam
sebuah wawancara, dia pernah berkata, "Yang
amat mengerikan adalah kesunyian dalam menulis. Jalan sunyi seorang penulis
amat dekat dengan kegilaan." Nadine telah pergi menyusul sahabatnya,
Mandela, yang wafat akhir tahun lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar