Senin, 14 Juli 2014

Kekalahan Koalisi Partai Besar

                                Kekalahan Koalisi Partai Besar

Saut Maruli Siregar  ;   Pengamat Politik, Mantan Dosen Akabri di Magelang,
Mantan Diplomat Senior di KBRI Moskwa
SINAR HARAPAN, 12 Juli 2014
                                                


Kemenangan pasangan Jokowi-JK dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 telah menjadi catatan koalisi partai besar yang dibangun Prabowo-Hatta. Tim pemenangan Prabowo-Hatta tak dapat membangun kekuatan rakyat untuk mengusung pasangan Prabowo-Hatta sebagai presiden-wakil presiden yang baru.

Hal ini merupakan peringatan bagi seluruh parpol di Tanah Air, koalisi sebesar apa pun, tidak begitu penting lagi bagi rakyat pemilih di masa mendatang.

Pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menjadi pemenang pilpres dalam hitungan cepat yang digelar sejumlah lembaga survei. Kemenangan pasangan tersebut dengan skor sementara 52 persen untuk pasangan Jokowi-Kalla dan 48 persen untuk Pasangan Prabowo-Hatta. Hal ini pukulan berat bagi koalisi partai besar yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta.

Hasil survei dari sejumlah lembaga survei jelas menunjukkan pasangan Jokowi-JK mengungguli pasangan Prabowo-Hatta, dengan angka melampaui lebih dari 50 persen. Menurut hasil perhitungan cepat (quick count) ini, pasangan Jokowi-JK hampir dipastikan akan menjadi presiden-wakil presiden periode 2014-2019.

Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan syarat capres-cawapres dalam Pilpres 2014 cukup ditentukan dengan perolehan suara mayoritas atau lebih dari 50 persen, tanpa menggunakan ketentuan sebaran suara 20 persen di lebih dari separuh jumlah provinsi di Indonesia, atau 18 provinsi. Sebab, ketentuan sebaran suara tersebut untuk capres-cawapres lebih dari dua pasang.

Apakah dengan hasil ini pasangan Jokowi-JK menang dalam satu putaran? Berdasarkan hasil quick count yang dihadiri saksi-saksi dari pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta, jelas pasangan Jokowi-JK menang dalam satu putaran. Dari hasil tersebut, terlihat jelas Jokowi-JK meraih suara lebih dari 50 persen, jauh mengungguli Prabowo-Hatta, sehingga pilpres berlangsung satu putaran.

Kemenangan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden-wakil presiden yang baru berkat kekuatan rakyat (people power) yang tidak menghendaki dominasi partai politik. Jadi, mampu mengalahkan koalisi partai besar yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta pada Pilpres 9 Juli 2014.

Kecenderungan publik untuk mengarahkan simpati kepada Jokowi-JK tercermin dalam jumlah dukungan rakyat. Sosok pasangan Jokowi-JK yang merakyat, jujur, dan sederhana mampu mengalahkan koalisi partai besar.

Para pemilih Pilpres 9 Juli 2014 jelas-jelas berpikiran kritis terhadap koalisi partai besar. Dukungan Partai Demokrat dan partai besar lainnya ternyata tak mampu mendongkrak perolehan suara untuk pasangan Prabowo-Hatta. Banyak kader partai pengusung Prabowo-Hatta beralih mendukung Jokowi-JK. Terbukti, dukungan Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar, dan Partai Demokrat, termasuk PBB, tak mampu memenangkan pasangan Prabowo-Hatta.

Citra dan figur pasangan Jokowi-JK yang merakyat, membuat koalisi partai besar tak dapat meyakinkan rakyat pemilih. Rakyat cenderung memilih figur Jokowi-JK karena terpikat dengan gaya Jokowi yang merakyat, jujur, tegas, dan sederhana. Ketokohan Jokowi-JK yang merakyat, merupakan pemimpin bangsa yang tepat saat ini untuk mengusung perubahan.

Pasangan Jokowi-JK yang dinilai dekat dengan rakyat kecil akan membawa gerakan perubahan. Bagaimana tidak? Demokrasi memerlukan transfer kekuasaan dari elite kepada publik (Richard W Westerling dalam buku Macropolitics).

Tak peduli poros koalisi Jokowi-JK cuma mengumpulkan 207 kursi DPR (37 persen), itu efektif dan kuat dalam implementasi. Hal terpenting adalah konsistensi, kesamaan, platform, ideologi, program, serta visi-misi.

Poros koalisi yang dibangun Jokowi seharusnya memang memperoleh 51 persen jumlah kursi di legislatif. Jika tidak, sejarah ketidakstabilan sistem politik itu berulang lagi. Namun, sekiranya Prabowo terpilih jadi presiden lalu membangun koalisi berkaki banyak di parlemen dan menguasai 560 kursi di DPR, ia belum tentu mampu mengusung stabilitas dan perubahan.

Suara menteri dari sebuah partai di eksekutif sering bertolak belakang dengan rekan-rekan separtainya di legislatif. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakstabilan sistem politik dan mengecewakan investor serta pasar saham.

Artinya, seandainya pasangan Prabowo-Hatta terpilih sebagai presiden-wakil presiden dan memperoleh suara 50 persen plus satu, atau mayoritas mutlak untuk mengendalikan oposisi, belum tentu menjamin stabilitas. Koalisi tersebut akan hancur juga. Para politikus dan parpol berbudaya “inkonsistensi”. Padahal, konsistensi diperlukan demi keberhasilan implementasi.

Andaikan pasangan Prabowo-Hatta (jika terpilih presiden) dengan poros koalisinya memperoleh 292 kursi atau 52 persen dari 560 kursi DPR, itu berpotensi merusak stabilitas dan mengganggu perubahan. Koalisi gemuk membuat Prabowo (jika terpilih presiden) akan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan koalisi partai ketimbang kepentingan rakyat.

Jadi, sekalipun koalisi partai besar yang dibangun pasangan Prabowo-Hatta (jika terpilih jadi presiden-wakil presiden) ingin membangun bangsa kita, itu hanyalah ironi (kondisi yang bertentangan dengan apa yang diharapkan). Koalisi sebesar apa pun yang dibentuk, tak kondusif terhadap stabilitas nasional dan sistem pemerintahan presidensial yang kita anut.

Kemunculan sosok pasangan Jokowi-JK yang merakyat menjadi angin segar bagi perubahan Indonesia ke arah lebih baik. Sebagian besar rakyat memercayai kualitas JK yang telah berprestasi menyelesaikan konflik perdamaian di Tanah Air.

Lagipula, kubu Prabowo tidak dibangun berdasarkan kesamaan platform, ideologi, program, misi-visi. Padahal, kegagalan pemerintahan SBY antara lain perbedaan ideologi dalam kabinetnya. Apa yang dialami SBY dalam pemerintahannya, akan juga dihadapi Prabowo (jika terpilih). Jalannya penyelenggaraan negara terantuk-antuk.

Sayang sekali, segala kemungkinan terburuk bisa saja terjadi pada pascapenghitungan cepat ini (quick count). Bukan tidak mungkin, banyak hantu pergolakan politik akan bergentayangan. Kala hasil Pilpres 9 Juli ini tidak memuskan pihak lawan, datangnya konflik fisik tidak pernah datang sekonyong-konyong dan tidak tanpa peringatan.

Untuk itulah, dalam Pemilu 2019, sudah saatnya demokrasi kita terbebas dari “virus” koalisi dan diikuti perubahan sistem pemilu. Sistem multipartai yang kita terapkan seolah memasang dinamit di pondasinya sendiri. Sejarah demokrasi Indonesia berbasis koalisi dan banyak partai, selalu menimbulkan ketidakstabilan politik dan kemandekan perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar