Senin, 14 Juli 2014

Gaza dan Berahi Israel Akan Perang

                         Gaza dan Berahi Israel Akan Perang

Tom Saptaatmaja  ;   Teolog
SINDONEWS,  13 Juli 2014
                                                


“PERDAMAIAN tak bisa terwujud dari ketidakadilan“ (Paus Fransiskus)

Perdamaian adalah sesuatu yang rapuh, khususnya di Palestina. Bila tercipta perdamaian beberapa saat saja, naluri agresi manusia yang doyan mengobral senjata segera mengoyaknya. Inilah yang terjadi di Jalur Gaza. Sejak Selasa (8 Juli) Israel kembali menginvasi Jalur Gaza.

Kemungkinan besar, motif serangan Israel ke Gaza kali ini lebih dipicu oleh kemarahan publik Israel atas tewasnya tiga remaja Israel baru-baru ini, yang menurut publik Israel dilakukan oleh Hamas. Pemerintah Israel mendapat tekanan dari publik yang geram atas tewasnya tiga remaja itu. Padahal, belum tentu Hamas menjadi pelakunya.

Terus Jadi Sasaran

Gaza yang dikuasai Hamas memang sering jadi bulan-bulanan Israel. Publik dunia tentu tidak melupakan serangan Israel di Jalur Gaza, 27 Desember 2008-18 Januari 2009 yang menewaskan 1.400 jiwa dan mencederai 5.000 warga Palestina. Banyak juga pentolan Hamas yang dibunuh Israel. Kita tentu tak pernah lupa bagaimana tiga rudal Israel menewaskan pendiri sekaligus pemimpin spiritual Hamas, Sheikh Ahmed Yassin saat ia hendak meninggalkan masjid seusai menunaikan salat Subuh (22 Maret 2004).

Belum genap sebulan setelah kematian Yassin, giliran Abdel Aziz Rantissi, pengganti Yassin, juga tewas ditembak rudal tentara Israel (17 April 2004). Israel kembali menewaskan tokoh Hamas, Adnan al-Ghoul, dalam serangan rudal di Jalur Gaza (21 Oktober 2004). Melihat dahsyatnya dampak dari serangan ke Gaza pada awal 2009, Pemerintah Israel pernah hendak diajukan ke Mahkamah Kriminal Internasional di Den Haag dengan tuduhan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Menariknya, tuduhan tersebut justru dilontarkan oleh jaksa bereputasi internasional asal Afrika Selatan, Richard Goldstone, yang berdarah Yahudi. Goldstone bersama timnya telah membuat laporan setebal 575 halaman yang berjudul “Misi PBB untuk Pencari Fakta dalam Perang di Jalur Gaza”, yang dipublikasikan pertengahan September lalu. Goldstone menyimpulkan, sesuai hukum internasional, Israel telah melakukan kejahatan perang di Jalur Gaza.

Goldstonepun merekomendasikan Israel diadili di Mahkamah Internasional. Laporan Goldstone menggegerkan dunia, termasuk Israel. Amerika Serikat keberatan atas laporan Goldstone dan menyebutnya tidak objektif karena memberatkan Israel, sekutu abadinya. Semula, laporan Golstone hendak dibahas dalam sidang Dewan HAM PBB pada 2 Oktober 2009. Namun anehnya, atas permintaan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, sidang ditunda hingga Maret 2010.

Langkah Abbas ini dikecam Hamas sehingga makin menjauhkan Hamas dan Fatah dari agenda rekonsiliasi di internal Palestina. Abbas memang tunduk kepada tekanan AS yang sudah sejak jauh hari berpesan agar Otoritas Palestina jangan bersikap terlalu keras pada Pemerintah Israel, termasuk dalam menyikapi laporan Goldstone. Sebab bila Israel dikerasi, hanya akan membuat Israel menarik diri dari proses perdamaian.

Boleh jadi pertimbangan Abbas seperti itu juga bertumpu pada fakta bahwa akses penghidupan dan kehidupan rakyat Palestina hampir semuanya dikuasai Israel. Sidang HAM PBB yang membahas laporan Goldstone pada Maret 2010 tapi Israel tidak diajukan ke Mahkamah Internasional karena veto Amerika Serikat.

Para analis masalah Timur Tengah memang sudah yakin bahwa Israel tidak akan pernah bisa diseret ke Mahkamah Internasional karena masih adanya hak veto AS. Kecuali itu, Israel selama ini “doyan” melanggar berbagai resolusi dan regulasi PBB. Misalnya, Israel tidak pernah mematuhi Resolusi No.242/1967 yang mewajibkan negeri Yahudi tersebut untuk mengembalikan wilayah-wilayah Palestina, Suriah, dan Libanon yang didudukinya secara tidak sah dalam perang Arab-Israel tahun 1967.

Kegemaran Israel membangun tembok juga pernah dilaporkan ke Mahkamah Internasional. Namun, Pemerintah Israel justru menganggap Mahkamah Internasional mencampuri urusan dalam negeri Israel. Pembangunan tembok pun terus berjalan. Melihat sikap keras kepala Israel, tampaknya prospek perdamaian di bumi Palestina kian tak cerah. Apalagi masyarakat Internasional yang diwakili PBB sering kali bersikap tidak adil kepada bangsa Palestina.

Ketidakadilan terbesar terjadi ketika Dewan Keamanan PBB mengesahkan negara Israel dengan Resolusi No.181/1947 yang berdiri di atas wilayah Palestina. Padahal kita tahu, berdirinya Israel ditumbali dengan terusirnya jutaan warga Palestina dari kampung halaman mereka.

Sebagian harus hidup dalam penderitaan di banyak kamp pengungsian, seperti di Libanon atau Yordania. Populasi warga Kristen Palestina, yang sudah ada sejak jaman Yesus, misalnya, juga kian menyusut. Mereka lebih suka pindah ke mancanegara.

Provokasi Israel

Sayangnya Pemerintah Israel masih terus memprovokasi dengan mendirikan pemukiman baru bagi warga Yahudi, khususnya di Yerusalem Timur. Proses “Yahudisasi Yerusalem” yang terus dilakukan Israel jelas provokatif dan kerap dikecam. Pada kunjungan tiga harinya ke Palestina pada bulan Mei lalu, Paus Fransiskus sempat mendatangi Masjid Al Aqsa di Jerusalem Senin (26 Mei) dan meminta agar Israel menghentikan kebijakan provokatifnya atas Palestina.

Paus juga sudah menempuh jalan lembut dengan mengajak Presiden Israel Shimon Peres dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas berdoa bersama bagi terciptanya perdamaian di Vatikan pada Minggu (8 Juni). Paus sadar, doa bersama itu bukan untuk mencari solusi. Tapi, doa mungkin lebih baik daripada bersikap diam, seperti diamnya banyak negara atas agresi terbaru ke Gaza kali ini. Memang perdamaian di bumi Palestina sulit terwujud jika masih ada ketidakadilan, sebagaimana ditulis di awal tulisan ini.

Kini, semua sangat bergantung pada kemauan politik Pemerintah Israel dan sekutunya, khususnya Amerika Serikat, apakah berani menaikkan status otoritas Palestina sebagai negara merdeka yang berdaulat penuh. Ini kunci bagi perdamaian itu.

Selama Palestina belum menjadi negara merdeka yang berdaulat penuh, perdamaian memang sulit diwujudkan di Palestina, apalagi Israel terus dilanda berahi untuk berperang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar