Belanda,
Brasil, dan Leuser
Hadi S Alikodra ;
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB
|
KORAN
SINDO, 17 Juli 2014
Ketika
tim Oranje, Belanda, mengalahkan tim Samba , Brasil, di Estadio Nacional,
Kota Brasilia, Sabtu (12/7/014) dengan skor 3-1, ingatan saya tiba-tiba
tertuju pada kepedulian kedua negara tersebut dalam mengelola lingkungan
hidupnya.
Brasil
adalah negara besar, dengan luas lima kali Indonesia—mempunyai hutan tropis
yang amat terkenal di Lembah Amazon. Berbagai cerita menakjubkan tentang
hutan belantara Amazon ini sering kita lihat melalui film-film Hollywood.
Bagi masyarakat dunia, Amazon adalah sebuah ”tempat konservasi flora fauna
terbesar di dunia” dengan megadiversiti yang luar biasa banyaknya. Sampai
hari ini tiap tahun selalu ditemukan spesies baru di hutan Amazon yang luas
tersebut.
Di
samping sebagai hutan konservasi yang menyimpan banyak kekayaan alam, Amazon
juga berfungsi sebagai ”paru-paru planet bumi” terbesar di jagat ini. Dengan
segala kebesarannya, Brasil dengan tim Samba adalah manifestasi dari sebuah
negara yang punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan dunia dari deraan global warming dan peningkatan kadar
gas karbon dioksida di atmosfer. Apakah ”manifesto” itu yang menyebabkan tim
Samba menjadi kesebelasan elite dunia dan Brasil menjadi ”gudang”
pemain-pemain bola terbaik di dunia?
Wallahualam!
Tapi, apa yang terjadi pada Piala Dunia 2014 di Brasilia? Tim Samba dari
negeri besar ini ternyata dikalahkan oleh tim Oranje dari negeri liliput,
Belanda. Luas negeri Belanda lebih kecil dari Jawa Barat. Sedangkan luas
Brasil lima kali Indonesia. Apakah kekalahan itu terjadi karena Belanda lebih
peduli pada alam, sedangkan Brasil tak memedulikannya? Entahlah! Inilah
gambarannya: Kawasan hutan Amazon—hutan tropis terluas di dunia—kini
mengalami kerusakan yang parah. Tiap tahun kerusakan hutan di Amazon mencapai
26.130 km persegi atau sekitar enam lapangan bola setiap menit. Hampir
separuh kerusakan hutan itu terjadi di Negara Bagian Mato Grosso.
Di
Mato Grosso inilah terdapat ladang-ladang kedelai yang amat luas untuk pabrik
susu (kedelai) dan produk lainnya. Di Mato Grosso industri kedelai telah
merusak hutan secara ilegal. Kondisi itu masih terus berlangsung hingga
sekarang. Lebih dari 70% hutan Amazon hilang pada 2004. Seterusnya luas hutan
itu tiap tahun makin mengkeret. Banyak pihak menyalahkan kebijakan Presiden
Lula da Silva yang terlalu ambisius untuk melaksanakan program perbaikan
ekonomi. Atas nama mengurangi kemiskinan rakyat Brasil, Presiden Lula membuka
sawah besar-besaran dan imbasnya menghancurkan hutan tropis Amazon.
Data-data
terbaru menunjukkan kerusakan hutan hujan tropis Amazon meningkat hingga enam
kali lipat. Citra satelit terbaru yang dirilis Institut Riset Angkasa Luar
Brasil menunjukkan penggundulan hutan meningkat dari 103 km persegi di Maret
dan April 2010 menjadi 593 km persegi dalam periode sama, 2011. Sebagian
besar kerusakan hutan itu terjadi di negara bagian Mato Grosso, pusat
pertanian kedelai di Brasil. Kini Brasil mengembangkan peternakan sapi
besar-besaran, membuka lahan pertanian secara masif dan hasilnya, hutan basah
Amazon pun terdegradasi secara sangat memilukan. Akibat itu, dunia menjerit.
Paru-paru bumi Amazon yang kini porak-poranda jelas mengakibatkan temperatur
bumi naik.
Padahal,
kenaikan suhu bumi 2 derajat Celsius saja bisa menyebabkan negara-negara
pulau di Samudra Hindia dan Pasifik bisa tenggelam. Vanuatu, Karibati, dan
Seychelles misalnya kini terus meradang karena wilayahnya makin hari makin
terendam air laut. Lain Brasil lain pula Belanda. Negeri ”seribu” polder untuk mengamankan diri dari
luapan air laut ini sekarang menyadari ”kesalahannya” dalam mengelola alam.
Bendungan-bendungan raksasa di sepanjang pantai Belanda kini menjadi saksi
bisu betapa negeri yang sepertiga wilayahnya berada di bawah permukaan air
laut itu tak berdaya menghadapi alam.
Permukiman
dan pertanian di lahan hasil reklamasi itu ternyata biayanya amat mahal dan
makin lama biayanya makin membumbung. Jika demikian, untuk apa bermukim dan
bertani bila biaya untuk mengolah lahan itu terus membumbung? Di bawah master plan for nature yang berwawasan
ke depan, pemerintah Negeri Kincir Angin itu membeli lahan hasil reklamasi
ratusan ribu hektare dari penduduk untuk menghentikan perusakan lanskap
Belanda. Saat ini sudah 240.000 hektare tanah pertanian hasil reklamasi
disulap menjadi hutan, rawa, dan danau. Kebi-jakan tersebut mendapat dukungan
Masyarakat Eropa (ME).
ME
menyaratkan setiap petani harus menyediakan 15% lahannya untuk mendukung
kelestarian lingkungan jika ingin produk pertaniannya berkualitas dan
diterima pasar Eropa. Belanda misalnya telah berhasil menghijaukan dan
menghutankan wilayah Mijdrecht, 16 km selatan Amsterdam—sebuah wilayah
reklamasi yang berada 6 meter di bawah permukaan laut. Wilayah Mijdrecht kini
telah dikosongkan dan menjadi padang rumput, rawa, danau, hutan, dan
lain-lain yang mendukung keasrian lingkungan. Negeri Belanda yang petani dan
peternaknya menghasilkan produk pangan ”terbaik” di dunia kini mulai
menyadari betapa pentingnya mengembalikan sebagian lahan pertaniannya untuk
mendukung pembangunan ekosistem agar tidak merusak alam.
Belanda—negeri
kecil yang menyimpan pemain-pemain bola terbaik di dunia—juga giat
”mengalamkan” lahan-lahan pertanian rekayasa hasil reklamasinya. Tujuannya
satu: sustainabilitas kehidupan rakyatnya terus berlangsung tanpa gangguan.
Memang mahal, tapi bila dilakukan secara terprogram dan serius, hasilnya
sangat bagus. Rakyat sehat, negara aman, dan bibit-bibit pemain bola mumpuni
makin tumbuh karena makin banyak tanah lapang untuk latihan sepak bola. Lalu,
bagaimana Indonesia? Indonesia disebut sebagai negeri perusak alam. Mau lihat
contohnya?
Datanglah
ke hutan lindung, kawasan konservasi, dan taman nasional. Di sana kita akan
menemukan ”kerusakan alam” yang mengerikan. Hutan lindung sebagai penyelamat
wilayah di sekitarnya, sebagian besar hancur. Perkebunan sawit dan alih
fungsi hutan telah merusak hutan lindung yang amat berharga itu. Salah satu
kawasan ”mahal” yang kini dirusak secara sistematis adalah Taman Nasional
Gunung Leuser yang membentang di punggung Pulau Sumatera. Perusakan di
kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh misalnya diduga dilakukan secara
sistematis, bahkan dilegalkan pemerintah.
Status
Leuser sebagai kawasan strategis nasional yang memiliki fungsi lindung
diabaikan demi mewadahi kepentingan perkebunan, pertambangan, dan
infrastruktur lain (Kompas, 13/6/014).
Kawasan lindung ekosistem Leuser menjadi tempat berbagai satwa endemis
seperti badak sumatera, harimau sumatera, dan orangutan sumatera, dan
lainlain. Sementara gajah yang selama ini hidup aman di kawasan Leuser kini
mulai ”keluar” dari habitatnya.
Gajah-gajah
itu kini sering ”perang” melawan manusia yang murka. Tentu saja, gajah kalah.
Puluhan gajah dibantai dan diracun manusia. Hutan di Leuser, tempat tinggal
gajah itu, kini rusak, bahkan hancur. Yang menghancurkannya adalah manusia
yang mengatakan ingin membangun perekonomian negara. Padahal apa yang
disebutnya ”ekonomi” bila menghancurkan alam sesungguhnya adalah ”degronomi”.
Sebuah konsep ekonomi yang mendegradasikan dan merusak masa depan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar