Plagiarisme
Dosa Intelektual
Mahmudi
Asyari ; Peneliti dari ICIS
Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 20 Februari 2014
SANGKAAN bahwa Dirjen
Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag, yang juga dosen Universitas
Gadjah Mada (UGM) melakukan plagiarisme (SM, 18/2/14), sangat mengejutkan.
Keterkejutan saya bukan lantaran ia kini bekerja di Kemenag --karena soal
pelanggaran hukum tidak pernah kenal tempat-- melainkan kenapa orang yang terlihat
begitu intelek, dan lagi lulusan Barat bergelar PhD, bisa terjebak praktik
tidak etis.
Tetapi setelah mencermati bahwa
aneka tindakan tak terpuji di negara kita saat ini sudah tidak mengenal
kasta, agama, dan golongan, saya akhirnya menganggap plagiarisme juga seperti
itu. Akibatnya, tak hanya para penulis skripsi, tesis, dan disertasi bagi
calon anggota legislatif yang melakukan praktik plagiarisme dan jual beli
karya tulis, kaum intelektual pun sepertinya tidak semuanya bisa terbebas
dari kelindan tersebut.
Di dunia intelektual,
plagiarisme atau tindakan jiplak-menjiplak alias meng-copy paste dianggap tidak berbeda dari perbuatan mencuri, bahkan
tidak jarang dianggap lebih buruk. Lantaran penilaian itu, tidak sedikit
tokoh dunia, dari menteri hingga presiden, menjadi sangat terhina oleh
perbuatan yang dituduhkan itu, dan ia harus merelakan jabatan.
Kendati umumnya tidak ada kasus
yang berujung ke pengadilan, tuduhan plagiat bagi penyandang gelar akademik,
terutama gelar tertinggi (PhD atau doktor) dianggap persoalan sangat serius.
Karena itu, masyarakat intelektual bisa memaklumi bila Menteri Pendidikan
Jerman Annette Schavan memilih mengundurkan diri. Sikap itu dipilihnya
setelah bekas universitasnya mencopot gelar doktor (PhD), dan menyatakan dia
mencontek tanpa mencantumkan sumber pada bagian disertasinya, ”Person and Conscience”, 33 tahun
lalu. (republika online, 9/2/13)
Sebelumnya, Presiden Hongaria
Pal Schmitt juga dilucuti gelar doktornya oleh Semmelweis University Budapest setelah mengemuka perdebatan
berbulan-bulan tentang plagiarisme yang dilakukan. Dia diduga menyalin banyak
bagian tesisnya pada 1992 dari materi penulis lain tanpa mencantumkan sumber
atau kutipan secara memadai. (republika
online, 30/3/12)
Di kalangan masyarakat yang
paham betul bagaimana pentingnya sebuah ide dan karya intelektual,
semisal di Jerman, plagiat bisa dianggap dosa besar sehingga untuk menebus
rasa bersalahnya pun seseorang tidak perlu menunggu lama. Termasuk seandainya
harus meletakkan jabatan.
Pilihan itu tidak bisa dimaknai
lain, kecuali bahwa plagiarisme merupakan tindakan sangat tercela, karenanya
pelakunya bila terbukti melakukan, tidak perlu lagi berapologia. Bagi
sebagian orang Indonesia, masalah plagiarisme --meskipun baru sebatas
jargon-- juga dianggap tercela sebagaimana di negara Barat. Bahkan andai kita
mau membuka aturannya dari pihak yang berwenang, substansi regulasi itu bisa
membuat buku kuduk berdiri.
Hanya perbedaannya di Indonesia
belum ada kesadaran menganggap plagiarisme itu sebagai tindakan sangat
tercela, apalagi harus melepaskan jabatan. Karena itu kita acap melihat tak
sedikit ’’tersangka’’ bersilat lidah membantah tudingan itu, dan merasa tidak
melakukan ’’dosa besar’’ tersebut.
Tidak Konsisten
Ketiadaan kesadaran menganggap
plagiarisme sebagai sesuatu yang sangat tercela bisa jadi karena sudah
seperti wabah di dunia intelektual. Di samping itu, tidak ada sanksi berat
bagi pelaku, ditambah ketidakkonsistenan pemerintah, terutama dalam hal
penegakan sanksi.
Konon ada calon rektor yang
jelas-jelas terlibat plagiat malah mendapatkan suara mendikbud 35 persen, dan
akhirnya disahkan menjadi rektor. Ini memperlihatkan bahwa soal sanksi
terhadap plagiator masih melihat siapa orangnya, dan bukan apa yang telah
dilakukan. Jadi bila saat ini banyak pihak mengeluhkan penyebaran virus
plagiarisme, hal itu tidak bisa dilepaskan dari tidak adanya ketegasan dari
pemerintah untuk mengenakan sanksi, selain tidak ada kekonsistenan menegakkan
aturan yang dibuatnya. Mencermati hal itu, logis bila plagiarisme kian
berkembang. Hal itu dipicu oleh kegilaan sebagian orang Indonesia terhadap
gelar, tapi menganggap tidak penting bagaimana cara mendapatkannya, dan juga
lantaran ketiadaan kejelasan sanksi.
Seorang kawan dari Sumatera
menuturkan, di sana pernah ada plagiat tapi bisa dianggap bukan plagiat.
Ceritanya menyangkut dua mahasiswa calon master ekonomi Islam, yang setelah
diverifikasi terbukti melakukan ’’dosa besar’’ itu. Kawan tersebut
menambahkan, ada guru besar yang merasa menghitamputihkan, lalu menolak hasil
verifikasi dua calon magister itu.
Apabila masih ada faktor X
dalam penilaian secara objektif dan pemberian sanksi maka hal itu bisa
membuat plagiator tidak takut. Andai benar-benar ingin membasmi praktik
plagiarisme, pemerintah, lewat Kemdikbud, harus tegas menegakkan peraturan,
berani menerapkan sanksi, dan konsisten untuk tidak memberi ruang kepada
siapa pun untuk mengembangbiakkan plagiarisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar