Tahun
Mewujudkan Janji Demokrasi
FS
Swantoro ; Peneliti dari
Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 20 Februari 2014
"Sesungguhnya kita bisa merasakan rakyat sudah tak peduli
siapa pemimpinnya dan dari partai apa"
INDONESIA sekarang adalah
Indonesia yang sulit mencari pemimpin yang punya hati pada rakyat dan ingat
bagaimana menangis. Banyak pemimpin kita lupa untuk menangis karena hatinya
beku, telinganya tuli, dan matanya buta melihat penderitaan rakyat. Banyak
pemimpin kita tak peduli Indonesia dijadikan sapi perah bangsa lain dari
kekayaan alam kita.
Tiap tahun triliunan rupiah
mengalir ke kantong perusahaan asing dan kompradornya di Tanah Air, sementara
pemimpin kita diam seribu bahasa. Fenomena lain, demokrasi yang dijalankan
sekarang sekilas terlihat meriah dengan pemberian hak pada rakyat untuk
memilih langsung pemimpin, tetapi sebenarnya hanya prosedural. Problem lain,
kemelemahan penegakan hukum terkait pemberantasan korupsi yang melibatkan
penyelenggara negara.
Lantas, bagaimana menyikapi
potret buram itu? Untuk bisa menjawab persoalan tersebut, perlu gerakan
menghukum elite politik dengan tidak kembali memilih jika mereka maju pada
Pemilu 9 April nanti. Andai kembali memilihnya, kita akan mendapatkan elite
politik seperti sekarang, yaitu minim prestasi, tapi rakus dan tamak.
Untuk
itu, perlu memikirkan langkah berikut.
Pertama; pemilu sebagai pesta
demokrasi merupakan sarana pembaharu legitimasi politik bagi pemimpin
berkuasa. Hanya melalui pemilu yang jujur, adil, dan demokratis akan
terbentuk pemerintahan yang memiliki legitimasi. Pemerintah yang
berlegitimasi tidak akan diganggu oleh siapa pun, termasuk oleh oposisi.
Kedua; pemilu harus merupakan
transformasi politik secara damai dan berkesinambungan. Artinya, perubahan
politik harus mengutamakan nilai-nilai demokrasi, bukan represi dan
mobilisasi. Karena itu, segala bentuk perseteruan politik harus berakhir
melalui kontestasi politik dan menjunjung tinggi nilai keutamaan dan
kemanusiaan.
Ketiga; pemilu harus merupakan
kontestasi murni dan transparan, dan tiap warga negara yang telah memenuhi
syarat punya hak dan kesempatan sama memilih dan dipilih, sekaligus punya hak
mengontrol pemimpin yang dipilihnya. Karena itu, tiap pemilu terbuka peluang
untuk pergantian kekuasaan dalam koridor konstitusi, dan dapat dijadikan
tonggak bagi berkembangnya demokrasi.
Meski sesungguhnya kita bisa
merasakan rakyat tak peduli siapa pemimpinnya dan dari partai apa. Rakyat
juga tidak meributkan kekuasaan yang hendak diperebutkan. Padahal rakyat
adalah jantung negara. Di tengah rakyat terletak jantung ekonomi, budaya, dan
kekuasaan negara. Tapi masih adakah partai yng memikirkan rakyat, terutama
rakyat miskin dan tertindas?
Karena itu, tepat ungkapan
Syafii Maarif, "Kita sungguh
sedang berlomba dengan waktu dan waktu bisa sangat kejam. Waktu itu ibarat
pedang, jika tidak pandai menggunakannya, leher kita akan ditebasnya.
Terlambat, berarti merelakan proses pembusukan politik yang sedang berjalan
akan makin membusuk dan menggiring bangsa ini menggali kuburnya
sendiri."
Demikian pula praktik demokrasi
yang menjadi konsensus nasional sejak reformasi. Proses demokrasi yang sudah
15 tahun itu, kini diikuti sisi gelapnya secara diametral, yakni kemerebakan
politik uang dalam kontestasi politik, mulai pilkada, pileg, hingga pilpres.
Praktik busuk itu menyuburkan korupsi politik, pencucian uang, dan jual beli
perkara saat pilkada, sebagaimana dilakukan Akil Mochtar.
Dalam konteks itu seharusnya
partai memainkan peranan strategis. Partai dapat melakukan pendidikan politik
dan komunikasi politik terhadap rakyat, melakukan seleksi pemimpin,
kaderisasi elite partai atas dasar nilai kemanusiaan, hingga menyelesaikan
konflik dalam masyarakat.
Pemimpin Pejuang
Untuk mewujudkan semua itu,
rakyat butuh informasi benar yang bersumber dari media, elite partai, dan
dunia pendidikan. Rakyat juga perlu membuat kalkulasi rasional terhadap
pemimpin yang akan dipilih. Dengan demikian, rakyat akan memilih pemimpin
yang punya rekam jejak baik, kerja keras, gigih memperjuangkan aspirasi
mereka. Lewat informasi itu, rakyat tahu persis siapa pemimpin yang
sungguh-sungguh berjuang untuk rakyat atau yang hanya berwacana.
Untuk mengembalikan pemimpin ke
haluan rakyat, media massa harus membuka mata elite politik yang buta dan
tuli agar mengerti derita rakyat, menyelami napas rakyat, dan mendengarkan
suara rakyat. Bila mereka kelak terpilih, akan menjadi penyambung lidah
rakyat. Media juga perlu menyemangati rakyat agar tetap tegar dan bangkit
dalam optimisme. Dengan menyemangati, rakyat terbangun jiwa raganya untuk
tidak menyerah pada kesulitan hidup. Rakyat harus mampu menghidupi optimisme
dalam kesederhanaan dan keterhimpitan. Di sana kita akan menemukan sosok rakyat
seperti ibu yang bersahaja tapi setia membesarkan anaknya karena ia memanggul
harapan bahwa kelak anaknya jadi ’’orang’’.
Persoalannya, bagaimana partai
dapat membimbing rakyat yang tanpa pengorganisasian sistemik menjadi kekuatan
yang tertata dan punya tujuan jelas hingga menjadi kekuatan dasyat dalam
membangun negara bangsa ke depan. Karena itu, para calon pemimpin yang akan
berlaga pada Pemilu 9 April nanti harus mampu membesarkan hati rakyat,
sebagai pemilik sah republik ini. Rakyat tetap setia sebagai good followers yang punya kesadaran
tinggi untuk dipimpin. Harus ada pemimpin yang bisa mendobrak penghalang
kemajuan pembangunan, yang oleh Bung Karno diistilahkan menjebol dan
membangun demi keterwujudan janji demokrasi. Sejatinya, janji demokrasi itu
membuat rakyat hidup bahagia dan sejahtera. Tapi di titik itulah sulitnya
mencari pemimpin rakyat tahun 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar