Potensi
Konflik dan Konstruksi Berita
Ilham
Prisgunanto ; Dosen Program Studi Magister Ilmu Komunikasi
PPs Universitas Budi Luhur
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Februari 2014
“Konstruksi
yang terbangun dalam pemberitaan bencana banjir akhirnya menggambarkan bahwa
pengungsi banjir ialah pihak yang perlu disalahkan, karena memang mereka
membuang sampah sembarangan.”
MUNGKINKAH di Jakarta
terjadi konflik sosial? Pertanyaan itu pernah
digaungkan dan seorang guru besar dari Universitas Indonesia menyatakan tidak
mungkin terjadi. Alasannya, pemahaman makna kebersamaan bagi orang Jakarta
saat ini sangat `cair'. Jakarta adalah `kampung besar' yang dianggap sebagai
representasi pemindahan konsep kampung dalam perspektif kaum urban pada
konteks modern. Artinya, orang Jakarta adalah orang `udik' yang menerjemahkan
metropolitan dalam konteks makna mereka sendiri-sendiri berdasarkan asal
kedaerahan yang mereka miliki sebagai keturunan generasi kedua.
Pemaknaan yang sama itulah
yang menjadi klausul penting dasar pemikiran bahwa sulit terjadi konflik
sosial terjadi di Jakarta karena adanya semangat kebersamaan tinggal di Ibu
Kota dari kaum urban. Sesuai seleksi alam, akhirnya kaum-kaum urban inilah
yang bisa menetap dan tersaring dalam strata sosial ekonomi dalam gerak
kehidupan masyarakat. Penduduk asli yang `kolot' dan tidak mau berbaur dengan
kaum urban akan terhempas, tersingkir.
Banjir
dan jurang pemisah
Banjir adalah sebuah
fenomena rutin di Jakarta, bahkan diklaim sebagai bencana musiman yang pasti
terjadi. Sikap pesimistis Jakarta bebas banjir sudah `lekat' erat di kepala
warga Jakarta, seolah-olah klaim Jakarta tidak bisa bebas banjir sudah pasti.
Pers dengan sigap mengambil alih posisi sebagai `penyelisik' dan pencari tahu
akar permasalahan penyebab banjir yang ada. Sesuai dengan insting
jurnalistik, mereka bekerja secepat kilat dan mencari kemungkinan berita yang
bisa dijual dan dicuatkan ke publik dengan dasar publik berhak tahu. Maka
digelarlah peliputan pada satu titik yang dianggap sebagai sentral yang bisa
digali dan dikomodifi kasi dengan menempelkan nilai berita (news value). Pilihan jatuh pada
Kampung Pulo di Jakarta Timur, daerah bantaran kali yang bersebelahan
langsung dengan Ciliwung. Pilihan kedua ialah Bendungan Katulampa di Bogor.
Berita pers membuat semua
mata dan telinga diarahkan untuk memperhatikan titik-titik peliputan
tersebut, dan semakin membenarkan (reinforce)
bahwa bahaya banjir bukanlah ‘isapan jempol’ belaka. Media massa menunjukkan
fungsi pengawasan sosial sesungguhnya, sedemikianlah pendapat Lasswell yang
seolah-olah terbukti. Satu yang menjadi problem besar ialah ke mana arah
pemberitaan bencana banjir ini, apa hubungannya dengan konflik sosial di
Jakarta?
Penulis sudah melakukan
pengujian pemberitaan dari beberapa laman dengan berbantuan gawai sistem alat
pencari. Hasil temuan mendapatkan sekitar 842.000 berita, dan setelah melalui
proses pemilahan maka pemberitaan yang terpilih ada 40 berita. Hasilnya cukup
mengejutkan, bahwa semua berita serentak menggunakan pengungsi korban banjir
sebagai objek komodifikasi berita mereka. Artinya, bahwa korban banjir dalam
artian pengungsi banjir diliput ‘habis-habisan’ untuk diperah dalam upaya
menarik simpati dan pandangan publik (Universitas
Budi Luhur, 2014).
Kesedihan dan air mata
dijual dalam upaya membuat publik iba dan larut dalam kemalangan para
pengungsi korban banjir. Memang diakui alur pemberitaan awalnya mengarah pada
kondisi banjir, kemudian menggelontor pada minimnya sarana dan prasarana
sampai pada kesigapan akan menghadapi bencana dan keseriusan pemerintah dalam
mengatasi hal tersebut. Kesegeraan pers mengangkat faktor penyebab sedemikian
menarik, seperti drainase yang rusak, normalisasi bantaran kali, sampah yang
menumpuk, sampai pada koordinasi dengan daerah resapan dan satelit Jakarta
diangkat habis-habisan.
Pemberitaan bergelombang
dan mengarah pada satu titik terang penyelesaian, yakni isu sodetan Kali
Ciliwung dengan Cisadane yang berakhir tidak terwujud karena hanya akan
memindahkan banjir ke daerah lain dari Jakarta (Detik.com). Di sini terlihat pemberitaan seperti lesu (istilahnya
`mati angin') dan sudah seperti diketahui bahwa tidak ada `titik terang
penyelesaian' dalam penanganan banjir di Jakarta.
Jelas arah berita berubah,
pers sudah tidak menganggap menarik isu tersebut, dan sudah selesai masalah
dengan pemerintah yang dianggap sudah berusaha, tetapi tidak berhasil.
Kembali lagi pemberitaan mengarah kepada pengungsi yang semua dalam posisi
positif pro dan membela, tiba-tiba menjadi membenci, bahkan dianggap sebagai
pihak yang mau enaknya sendiri saja. Pemberitaan cenderung membuat pengungsi
seperti pengemis dan mengiba-iba dalam kasus bencana ini seperti dalam opini
Haryanto (Kompas 28/1).
Konstruksi yang terbangun
akhirnya menggambarkan bahwa pengungsi ialah pihak yang perlu disalahkan,
karena memang mereka membuang sampah sembarangan, merusak ekosistem, dan yang
membuat lebar kali menjadi menyempit. Sekarang silakan menikmati ulah yang
sudah dilakukan. Sedemikianlah konstruksi pemberitaan yang ada dari hasil
temuan pemantauan analisis isi media massa dengan menggunakan model Klaus
Krippendorff (2013:34).
Konflik sosial
Ketika pemberitaan semua mengonstruksi
sedemikian terhadap pengungsi, yang terjadi ialah klaim kebencian dan
menafikan keberadaan pengungsi banjir karena klaim penyebab bencana tersebut.
Klaim ini tidak akan berhenti di situ saja, tetapi lebih berkembang dan akan
menyoroti pada efek pascapemberitaan yang kerap orang tidak pahami.
Pemberitaan akan menghantam alam kognitif dan melekat pada daya ingat
(memori) yang ada pada publik. Dalam pemahaman ini jelas
bahwa akan terbangun kebencian kepada pengungsi yang lekat dan laten dalam
benak setiap orang. Pemberitaan dengan kemampuan agenda medianya akan memaksa
orang mengingat hal ini dan mengonstruksi dalam benak mereka sendiri akan
sesuatu yang ada digambarkan dalam benaknya (McComb, 1994).
Di sinilah letak bahayanya
dan penulis dapat meyakinkan kemungkinan potensi konflik yang bakal terjadi
di Jakarta adalah benak-benak orang yang dikultivasi (diterpa berulang-ulang)
tentang gambaran buruk pengungsi banjir yang secara implisit dibesarbesarkan
oleh pemberitaan. Apalagi kondisi ini makin dibenarkan oleh beberapa pihak
yang menyayangkan sikap dan `kekerdilan' diri dari pengungsi banjir.
Ketika
gambaran itu ditampilkan berulang-ulang, publik akan membenarkan dan mereka
akan mengambil sikap akan kondisi sedemikian. Ketika nanti terjadi konflik
besar menyoal pengungsi korban banjir, penulis katakan bahwa semua itu salah
pemberitaan yang tidak tegas memosisikan diri sebagai jurnalis muckrakers yang mau berjibaku demi
nama kebenaran dan keadilan dalam perut yang lapar dan pesakitan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar