Sabtu, 08 Februari 2014

Menyelamatkan Jembatan Udara

Menyelamatkan Jembatan Udara

Arif Munardi   ;   Anggota Komisi VI DPR
HALUAN,  07 Februari 2014
Artikel ini telah dimuat di KORAN JAKARTA 06 Februari 2012
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Kinerja mas­ka­pai pelat merah PT Merpati Nu­santara Airlines (MNA) semakin memburuk sehingga menyebabkan terhentinya operasi layanan penerbangan. Hal itu me­nimbulkan kerugian berarti bagi konsumen dan pihak lainnya. Kementerian Per­hubungan perlu meme­rintah­kan kepada direksi MNA agar segera membuka Handling Costumer Comp­lain sebagai Crisis Centre di setiap bandara yang ada rute MNA.

Di balik keterpurukan MNA, sebetulnya ter­kan­dung impian Ibu Pertiwi untuk mewujudkan jem­batan udara yang meng­hubungkan kepulauan Nu­san­tara. Mestinya MNA bisa menjadi salah satu elemen penting jembatan udara tersebut. Ironisnya, dari tahun ke tahun kondisi BUMN itu selalu diwarnai wanprestasi. Tak bisa dipungkiri, wanprestasi dan kebangkrutan MNA akibat salah urus dan korupsi puluhan tahun.

Namun sebagai negara besar, Indonesia harus menyelamatkan  MNA. Dengan catatan, penye­lamatan  harus disertai  perombakan mendasar  ma­na­jemen disertai dengan forensic fraud. Lalu mem­proses segala macam modus korupsi  di MNA. Penye­lamatan hendaknya juga tidak mengganggu APBN dan tidak membebani atau merugikan BUMN lain.

Selama ini rakyat pantas mengelus dada karena  sekarang tidak memiliki lagi strategi yang baik terkait penerbangan komuter  me­layani  daerah terpencil. Kebangkrutan MNA juga mencuatkan persoalan lain yang tidak kalah krusial  terkait  pengadaan pesawat komuter. Sebagai negara kepulauan, negeri ini mes­tinya memiliki strategi  pengadaan pesawat komuter sebagai jembatan udara.

Sebenarnya  strategi sudah ada waktu diproduksi  pesawat jenis NC-212, CN-235 dan N-250 hasil ran­cang bangun PT Dirgantara Indonesia (DI). Namun, karena dihadang masalah pembiayaan,  program pesawat N-250 yang dipro­yeksikan menjadi andalan sebagai pesawat komuter  berhenti di tengah jalan. Program nasional tersebut hanya menghasilkan  pro­totipe  PA-1 dan PA-2.

Program nasional pe­rakitan pesawat N-250 yang telah menghabiskan uang negara sekitar 2,5 triliun rupiah itu akhirnya hanya menjadi tempat  riset. Portofolio investasi N-250  berupa alat produksi,  labo­ratorium, serta persediaan material dalam jumlah  besar, mestinya dilanjutkan lagi dan harus didayagunakan lebih lanjut agar tidak menjadi besi tua.

Pengembangan infras­truktur transportasi udara   masih sarat masalah,  tanpa orientasi  jelas. Hal tersebut tercermin dengan kondisi MNA yang terus  dirundung masalah. MNA se­panjang umurnya menjadi perusahaan sakit yang selalu minta suntikan modal pemerintah.

Ironisnya, dalam kondisi sakit, ternyata MNA tetap saja menjadi ajang mark-up dan terjadi berbagai modus korupsi. Kasus masa lalu MNA yang sangat menyedihkan dan harusnya menjadi pelajaran  sangat pahit terkait  operasional pesawat CN-235 buatan DI. Waktu itu MNA mengo­perasikan pesawat jenis CN-235 sebanyak 15 pesawat dengan ongkos sewa yang sangat tinggi.

Dalam hal tersebut MNA diperalat  perusahaan leasing dengan ongkos sewa yang kelewat tinggi,  sebesar 110 ribu dollar AS  per pesawat setiap bulan. Padahal kemampuan riil MNA hanya sekitar 60 ribu dollar AS per pesawat setiap bulan. Akibatnya, pesawat jenis CN-235 yang dioperasikan  MNA  sering grounded  karena sulit mencari  dana untuk suku cadang pesawat.

Mestinya,  DI menjadi  wahana untuk memproduksi pesawat komuter  sebagai infrastruktur jembatan udara. Di sisi lain, peru­sahaan penerbangan do­mestik seperti  MNA untuk mempertahankan kelang­sungan usahanya mem­butuhkan pesawat komuter. Dalam konteks pengadaan pesawat komuter tersebut mestinya ada sinergi dan koordinasi nasional baik  menyangkut masalah teknis maupun pembiayaan.

Sayangnya, langkah MNA untuk pengadaan pesawat ditempuh secara tidak  transparan. Pemili­han tanpa sinergi antar-BUMN dan secara tergesa-gesa memilih jenis pesawat MA-60 buatan Xi an Aircraft Industry (XAC) dari  Cina. Ironisnya, pengadaan pe­sawat dari Cina tersebut didukung skema pem­biaya­an lewat Penyertaan Modal Peme­rintah (PMP) senilai  450 miliar rupiah ke MNA tanpa  kajian mendalam dan  lepas dari akuntabilitas publik.

Mengenai harga pesawat MA-60 yang diklaim lebih murah dari CN235-220 karena  Cina sangat men­dukung BUMN-nya  dengan bantuan soft-loan yang menarik sehingga bisa mendapat pesanan dalam jumlah banyak.

Sedangkan  DI selama lima tahun terakhir ini tidak pernah mendapat pesanan lebih dari 4 pesawat per kontrak, sehingga pembelian ke supplier tidak bisa dalam jumlah banyak dan tidak  mendapat  po­tongan harga. Jika  DI bisa mendapat order sebanyak pesanan MNA Xian tentunya harga bisa di­turunkan dan bersaing dengan harga MA-60. Harga pesawat MA-60 memang lebih murah  di­banding  sejenis seperti ATR  42 buatan Prancis dan De Havilland Dash 8 Kanada. Tetapi masalah performansi terbang, suku cadang, dan prosedur perawatan   MA-60 masih patut di­pertanyakan.

Jika nanti MNA berhasil diselamatkan dan tidak dilikuidasi, maka harus ada komitmen  tinggi terhadap keselamatan penerbangan.  MNA harus semakin memenuhi regulasi yang di­keluar­kan  International Civil Aviation Organization. Organisasi dunia itu telah menetapkan berbagai re­komendasi dan kebijakan dalam rangka meningkatkan jaminan keselamatan pener­bangan, terutama tuntutan  melaksanakan audit kese­lamatan penerbangan secara kontinu dan sistematik.

Kegiatan audit ini di­awali  pada pelaksanaan Annex 1 tentang Personnel Licensing, Annex 6 tentang Operation of Aircraft, dan Annex 8 tentang Air­wort­hiness of Aircraft. Selain itu juga meliputi Annex 11 tentang Air Traffic Services, Annex 13 tentang Aircraft Accident Investigation, dan Annex 14 tentang Aerod­romes. Audit  merupakan effort yang sangat besar karena setiap item pertanyaan auditor harus terbukti imple­mentasi­nya di lapangan.

Selain itu, MNA harus lebih efisien dan prudential dalam operasional. Berbagai pemborosan  masa lalu tidak boleh terjadi lagi. Sekadar catatan, pemborosan  antara lain berupa pengadaan pusat perawatan pesawat MMF di Surabaya serta pem­bangu­nan Pusdiklat Pramugari. Hal itu merupakan pem­borosan dan duplikasi fasili­tas yang mestinya tidak boleh terjadi. Karena PT Garuda Indonesia telah memiliki GMF dan pusdiklat awak kabin yang sebenarnya bisa digunakan  MNA juga. Masih banyak pemborosan dan salah pro­gram di kan­dang MNA yang men­yebab­kan kegagalan penetrasi pasar, kesalahan memilih jalur penerbangan, tertipu  vendor, serta bu­ruknya kompetensi dan daya saing.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar