Jumat, 07 Februari 2014

Menyelamatkan Jembatan Udara

Menyelamatkan Jembatan Udara

Arif Minardi   ;   Anggota Komisi VI DPR
KORAN JAKARTA,  06 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Kinerja maskapai pelat merah PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) semakin memburuk sehingga menyebabkan terhentinya operasi layanan penerbangan. Hal itu menimbulkan kerugian berarti bagi konsumen dan pihak lainnya. Kementerian Perhubungan perlu memerintahkan kepada direksi MNA agar segera membuka Handling Costumer Complain sebagai Crisis Centre di setiap bandara yang ada rute MNA.
        
Di balik keterpurukan MNA, sebetulnya terkandung impian Ibu Pertiwi untuk mewujudkan jembatan udara yang menghubungkan kepulauan Nusantara. Mestinya MNA bisa menjadi salah satu elemen penting jembatan udara tersebut. Ironisnya, dari tahun ke tahun kondisi BUMN itu selalu diwanai wanprestasi. Tak bisa dipungkiri, wanprestasi dan kebangkrutan MNA akibat salah urus dan korupsi puluhan tahun. 

Namun sebagai negara besar, Indonesia harus menyelamatkan  MNA. Dengan catatan, penyelamatan  harus disertai  perombakan mendasar  manajemen disertai dengan forensic fraud. Lalu memproses segala macam modus korupsi  di MNA. Penyelamatan hendaknya juga tidak mengganggu APBN dan tidak membebani atau merugikan BUMN lain.
          
Selama ini rakyat pantas mengelus dada karena  sekarang tidak memiliki lagi strategi yang baik terkait penerbangan komuter  melayani  daerah terpencil. Kebangkrutan MNA juga mencuatkan persoalan lain yang tidak kalah krusial  terkait  pengadaan pesawat komuter. Sebagai negara kepulauan, negeri ini mestinya memiliki strategi  pengadaan pesawat komuter sebagai jembatan udara.

Sebenarnya  strategi sudah ada waktu diproduksi  pesawat jenis NC-212, CN-235 dan N-250 hasil rancang bangun PT Dirgantara Indonesia (DI). Namun, karena diadang masalah pembiayaan,  program pesawat N-250 yang diproyeksikan menjadi andalan sebagai pesawat komuter  berhenti di tengah jalan. Program nasional tersebut hanya menghasilkan  prototipe  PA-1 dan PA-2. 

Program nasional perakitan pesawat N-250 yang telah menghabiskan uang negara sekitar 2,5 triliun rupiah itu akhirnya hanya menjadi tempat  riset. Portofolio investasi N-250  berupa alat produksi,  laboratorium, serta persediaan material dalam jumlah  besar, mestinya dilanjutkan lagi dan harus didayagunakan lebih lanjut agar tidak menjadi besi tua.

Pengembangan infrastruktur transportasi udara   masih sarat masalah,  tanpa orientasi  jelas. Hal tersebut tercermin dengan kondisi MNA yang terus  dirundung masalah. MNA sepanjang umurnya menjadi perusahaan sakit yang selalu minta suntikan modal pemerintah.

Ironisnya, dalam kondisi sakit, ternyata MNA tetap saja menjadi ajang mark-up dan terjadi berbagai modus korupsi. Kasus masa lalu MNA yang sangat menyedihkan dan harusnya menjadi pelajaran  sangat pahit terkait  operasional pesawat CN-235 buatan  DI. Waktu itu MNA mengoperasikan pesawat jenis CN-235 sebanyak 15 pesawat dengan ongkos sewa yang sangat tinggi. 

Dalam hal tersebut MNA diperalat  perusahaan leasing dengan ongkos sewa yang kelewat tinggi,  sebesar 110 ribu dollar AS  per pesawat setiap bulan. Padahal kemampuan riil MNA hanya sekitar 60 ribu dollar AS per pesawat setiap bulan. Akibatnya, pesawat jenis CN-235 yang dioperasikan  MNA  sering grounded  karena sulit mencari  dana untuk suku cadang pesawat.

Mestinya,  DI menjadi  wahana untuk memproduksi pesawat komuter  sebagai infrastruktur jembatan udara. Di sisi lain, perusahaan penerbangan domestik seperti  MNA untuk mempertahankan kelangsungan usahanya membutuhkan pesawat komuter. Dalam konteks pengadaan pesawat komuter tersebut mestinya ada sinergi dan koordinasi nasional baik  menyangkut masalah teknis maupun pembiayaan.

Sayangnya, langkah MNA untuk pengadaan pesawat ditempuh secara tidak  transparan. Pemilihan tTanpa sinergi antar-BUMN dan secara tergesa-gesa memilih jenis pesawat MA-60 buatan Xi an Aircraft Industry (XAC) dari  China. Ironisnya, pengadaan pesawat dari China tersebut didukung skema pembiayaan lewat Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) senilai  450 miliar rupiah ke MNA tanpa  kajian mendalam dan  lepas dari akuntabilitas publik. 

Mengenai harga pesawat MA-60 yang diklaim lebih murah dari CN235-220 karena  China sangat mendukung BUMN-nya  dengan bantuan soft-loan yang menarik sehingga bisa mendapat pesanan dalam jumlah banyak.

Sedangkan  DI selama lima tahun terakhir ini tidak pernah mendapat pesanan lebih dari 4 pesawat per kontrak, sehingga pembelian ke supplier tidak bisa dalam jumlah banyak dan tidak  mendapat  potongan harga. Jika  DI bisa mendapat order sebanyak pesanan MNA Xian tentunya harga bisa diturunkan dan bersaing dengan harga MA-60. Harga pesawat MA-60 memang lebih murah  dibanding  sejenis seperti ATR  42 buatan Prancis dan De Havilland Dash 8 Kanada. Tetapi masalah performansi terbang, suku cadang, dan prosedur perawatan   MA-60 masih patut dipertanyakan.

Komitmen

Jika nanti MNA berhasil diselamatkan dan tidak dilikuidasi, maka harus ada komitmen  tinggi terhadap keselamatan penerbangan.  MNA harus semakin memenuhi regulasi yang dikeluarkan  International Civil Aviation Organization. Organisasi dunia itu telah menetapkan berbagai rekomendasi dan kebijakan dalam rangka meningkatkan jaminan keselamatan penerbangan, terutama tuntutan  melaksanakan audit keselamatan penerbangan secara kontinu dan sistematik. 

Kegiatan audit ini diawali  pada pelaksanaan Annex 1 tentang Personnel Licensing, Annex 6 tentang Operation of Aircraft, dan Annex 8 tentang Airworthiness of Aircraft. Selain itu juga meliputi Annex 11 tentang Air Traffic Services, Annex 13 tentang Aircraft Accident Investigation, dan Annex 14 tentang Aerodromes. Audit  merupakan effort yang sangat besar karena setiap item pertanyaan auditor harus terbukti implementasinya di lapangan.

Selain itu, MNA harus lebih efisien dan prudential dalam operasional. Berbagai pemborosan  masa lalu tidak boleh terjadi lagi. Sekadar catatan, pemborosan  antara lain berupa pengadaan pusat perawatan pesawat MMF di Surabaya serta pembangunan Pusdiklat Pramugari. Hal itu merupakan pemborosan dan duplikasi fasilitas yang mestinya tidak boleh terjadi. Karena PT Garuda Indonesia telah memiliki GMF dan pusdiklat awak kabin yang sebenarnya bisa digunakan  MNA juga. Masih banyak pemborosan dan salah program di kandang MNA yang menyebabkan kegagalan penetrasi pasar, kesalahan memilih jalur penerbangan, tertipu  vendor, serta buruknya kompetensi dan daya saing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar