Menyelamatkan
Jembatan Udara
Arif Minardi ; Anggota Komisi VI DPR
|
KORAN
JAKARTA, 06 Februari 2014
Kinerja maskapai pelat merah PT Merpati Nusantara Airlines (MNA)
semakin memburuk sehingga menyebabkan terhentinya operasi layanan
penerbangan. Hal itu menimbulkan kerugian berarti bagi konsumen dan pihak
lainnya. Kementerian Perhubungan perlu memerintahkan kepada direksi MNA agar
segera membuka Handling Costumer Complain sebagai Crisis Centre di setiap
bandara yang ada rute MNA.
Di balik keterpurukan MNA, sebetulnya terkandung impian Ibu Pertiwi untuk mewujudkan jembatan udara yang menghubungkan kepulauan Nusantara. Mestinya MNA bisa menjadi salah satu elemen penting jembatan udara tersebut. Ironisnya, dari tahun ke tahun kondisi BUMN itu selalu diwanai wanprestasi. Tak bisa dipungkiri, wanprestasi dan kebangkrutan MNA akibat salah urus dan korupsi puluhan tahun. Namun sebagai negara besar, Indonesia harus menyelamatkan MNA. Dengan catatan, penyelamatan harus disertai perombakan mendasar manajemen disertai dengan forensic fraud. Lalu memproses segala macam modus korupsi di MNA. Penyelamatan hendaknya juga tidak mengganggu APBN dan tidak membebani atau merugikan BUMN lain. Selama ini rakyat pantas mengelus dada karena sekarang tidak memiliki lagi strategi yang baik terkait penerbangan komuter melayani daerah terpencil. Kebangkrutan MNA juga mencuatkan persoalan lain yang tidak kalah krusial terkait pengadaan pesawat komuter. Sebagai negara kepulauan, negeri ini mestinya memiliki strategi pengadaan pesawat komuter sebagai jembatan udara. Sebenarnya strategi sudah ada waktu diproduksi pesawat jenis NC-212, CN-235 dan N-250 hasil rancang bangun PT Dirgantara Indonesia (DI). Namun, karena diadang masalah pembiayaan, program pesawat N-250 yang diproyeksikan menjadi andalan sebagai pesawat komuter berhenti di tengah jalan. Program nasional tersebut hanya menghasilkan prototipe PA-1 dan PA-2. Program nasional perakitan pesawat N-250 yang telah menghabiskan uang negara sekitar 2,5 triliun rupiah itu akhirnya hanya menjadi tempat riset. Portofolio investasi N-250 berupa alat produksi, laboratorium, serta persediaan material dalam jumlah besar, mestinya dilanjutkan lagi dan harus didayagunakan lebih lanjut agar tidak menjadi besi tua. Pengembangan infrastruktur transportasi udara masih sarat masalah, tanpa orientasi jelas. Hal tersebut tercermin dengan kondisi MNA yang terus dirundung masalah. MNA sepanjang umurnya menjadi perusahaan sakit yang selalu minta suntikan modal pemerintah. Ironisnya, dalam kondisi sakit, ternyata MNA tetap saja menjadi ajang mark-up dan terjadi berbagai modus korupsi. Kasus masa lalu MNA yang sangat menyedihkan dan harusnya menjadi pelajaran sangat pahit terkait operasional pesawat CN-235 buatan DI. Waktu itu MNA mengoperasikan pesawat jenis CN-235 sebanyak 15 pesawat dengan ongkos sewa yang sangat tinggi. Dalam hal tersebut MNA diperalat perusahaan leasing dengan ongkos sewa yang kelewat tinggi, sebesar 110 ribu dollar AS per pesawat setiap bulan. Padahal kemampuan riil MNA hanya sekitar 60 ribu dollar AS per pesawat setiap bulan. Akibatnya, pesawat jenis CN-235 yang dioperasikan MNA sering grounded karena sulit mencari dana untuk suku cadang pesawat. Mestinya, DI menjadi wahana untuk memproduksi pesawat komuter sebagai infrastruktur jembatan udara. Di sisi lain, perusahaan penerbangan domestik seperti MNA untuk mempertahankan kelangsungan usahanya membutuhkan pesawat komuter. Dalam konteks pengadaan pesawat komuter tersebut mestinya ada sinergi dan koordinasi nasional baik menyangkut masalah teknis maupun pembiayaan. Sayangnya, langkah MNA untuk pengadaan pesawat ditempuh secara tidak transparan. Pemilihan tTanpa sinergi antar-BUMN dan secara tergesa-gesa memilih jenis pesawat MA-60 buatan Xi an Aircraft Industry (XAC) dari China. Ironisnya, pengadaan pesawat dari China tersebut didukung skema pembiayaan lewat Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) senilai 450 miliar rupiah ke MNA tanpa kajian mendalam dan lepas dari akuntabilitas publik. Mengenai harga pesawat MA-60 yang diklaim lebih murah dari CN235-220 karena China sangat mendukung BUMN-nya dengan bantuan soft-loan yang menarik sehingga bisa mendapat pesanan dalam jumlah banyak. Sedangkan DI selama lima tahun terakhir ini tidak pernah mendapat pesanan lebih dari 4 pesawat per kontrak, sehingga pembelian ke supplier tidak bisa dalam jumlah banyak dan tidak mendapat potongan harga. Jika DI bisa mendapat order sebanyak pesanan MNA Xian tentunya harga bisa diturunkan dan bersaing dengan harga MA-60. Harga pesawat MA-60 memang lebih murah dibanding sejenis seperti ATR 42 buatan Prancis dan De Havilland Dash 8 Kanada. Tetapi masalah performansi terbang, suku cadang, dan prosedur perawatan MA-60 masih patut dipertanyakan. Komitmen
Jika nanti MNA berhasil diselamatkan dan tidak dilikuidasi, maka
harus ada komitmen tinggi terhadap keselamatan penerbangan. MNA
harus semakin memenuhi regulasi yang dikeluarkan International Civil
Aviation Organization. Organisasi dunia itu telah menetapkan berbagai
rekomendasi dan kebijakan dalam rangka meningkatkan jaminan keselamatan
penerbangan, terutama tuntutan melaksanakan audit keselamatan penerbangan
secara kontinu dan sistematik.
Kegiatan audit ini diawali pada pelaksanaan Annex 1 tentang Personnel Licensing, Annex 6 tentang Operation of Aircraft, dan Annex 8 tentang Airworthiness of Aircraft. Selain itu juga meliputi Annex 11 tentang Air Traffic Services, Annex 13 tentang Aircraft Accident Investigation, dan Annex 14 tentang Aerodromes. Audit merupakan effort yang sangat besar karena setiap item pertanyaan auditor harus terbukti implementasinya di lapangan. Selain itu, MNA harus lebih efisien dan prudential dalam operasional. Berbagai pemborosan masa lalu tidak boleh terjadi lagi. Sekadar catatan, pemborosan antara lain berupa pengadaan pusat perawatan pesawat MMF di Surabaya serta pembangunan Pusdiklat Pramugari. Hal itu merupakan pemborosan dan duplikasi fasilitas yang mestinya tidak boleh terjadi. Karena PT Garuda Indonesia telah memiliki GMF dan pusdiklat awak kabin yang sebenarnya bisa digunakan MNA juga. Masih banyak pemborosan dan salah program di kandang MNA yang menyebabkan kegagalan penetrasi pasar, kesalahan memilih jalur penerbangan, tertipu vendor, serta buruknya kompetensi dan daya saing. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar