Sabtu, 08 Februari 2014

Peluang Bisnis Aviasi Prospektif

Peluang Bisnis Aviasi Prospektif

Arista Atmadjati   ;   Dosen UGM, Praktisi Penerbangan
KORAN JAKARTA,  07 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Mari kita berhitung pemborosan membuang fuel selama mengantre take off dan landing di Bandara Sukarno-Hatta (Soetta). Ambil sampel saja selama 4 jam antrean, misalnya dari jam 5 pagi sampai dengan jam 9 pagi, dengan rata-rata 80 flight take off dan landing.

Dari jumlah itu, diperoleh 400 kali frekuensi penerbangan dengan kerugian minimal antrean sekitar 10 juta rupiah per fl ight. Jika fuel burn sia-sia antre itu dikalikan 80, lalu dikalikan lagi 365 hari, maka ekuivalen dengan kerugian sekitar 292 miliar rupiah per tahun.

Padahal, kemacetan tidak hanya terjadi di pagi hari, namun juga menjelang sore sampai dengan jam 8 malam sehingga total setahun pemborosan bahan bakar avtur yang terbuang ekuivalen dengan sekitar 600 miliar rupiah per tahun. Itu hanya terjadi di Soetta sebab bila kita perhatikan beberapa bandara mulai terkena congestion (kemacetan udara), misalnya bandara Juanda di Surabaya dan Adisucipto di Yogyakarta.

Nah, kalau kita biarkan kemacetan selama 5 tahun mendatang sama saja kita sudah membuang uang sekitar 10 triliun rupiah karena apabila dibiarkan terus-menerus tanpa ada solusi yang signifi kan dari regulator, kemacetan Bandara Sukarano-Hatta, Juanda, dan Adi Sucipto merupakan akumulasi kemacetan 5 tahun yang lau sampai dengan 5 tahun ke depan. Namun, titik terang sudah mulai terlihat di beberapa titik kota, seperti Medan dengan Bandara Kuala Namu.

Paling tidak, Medan sudah lepas dari persoalan kemacetan udara sekalipun itu bukan jaminan untuk 5 tahun mendatang. Kalkulasi pemborosan avtur merupakan sebuah angka yang bisa diwujudkan untuk membangun sebuah bandara baru yang lumayan representatif. Bayangkan, hanya karena uang dari hasil avtur yang terbuang sia-sia akibat antrean take off dan landing seharusnya kita sudah bisa membuat bandara baru.

Sekalipun demikian, guna menghindari beberapa antrean di Bandara Soetta, Yogyakarta, dan Surabaya, langkah cerdas beberapa maskapai penerbangan patut diacungi jempol. Mengubah lokasi hub and spoke fungsi kota tertentu sebagai wilayah penghubung dan pengumpul menyebar ke kota tujuan sudah juga dilakukan beberapa maskapai mainstream. Tersebutlah, misalnya Garuda Indonesia, yang sudah memindahkan sebagaian armadanya (fleet) ke kotakota seperti Makassar.

Dengan memakai Makassar sebagai hub and spoke, CRJ Bombardier Garuda cukup dari Makassar ke kota-kota tujuan di wilayah Sulawesi, Papua, NTB, dan Ambon. Garuda juga menempatkan Bali sebagai home base armada ATR-nya guna menghindari base Soetta dan Surabaya. Tak mau ketinggalan, Susi Air yang semula home base-nya ada di Pangandaran, namun banyak menempatkan armadanya di wilayah Papua sebagai teritori mayoritas destinasinya yang paling banyak.

Ini merupakan sebuah terobosan dan strategi marketing pengembangan rute yang impresif. Memindahkan home base dan mengubah pola hub and spoke ke kota-kota alternatif adalah sebuah langkah yang patut diapresiasi. Hal ini akan bisa memberikan dampak positif untuk mempercepat pergerakan ekonomi di daerah-daerah luar Jawa, utamanya sejalan dengan program percepatan pembangunan ekonomi.

Dengan kata lain, program pemerintah itu perlu didorong secara cepat dengan menggalakkan sebuah moda transportasi udara yang semakin banyak dan tentu perlu didukung bandara bandara baru yang akan dibuka. Saat ini, maskapai terus memperluas ceruk pasar dengan mengembangkan rute-rute di luar kota Jakarta dan Surabaya karena semua operator di Indonesia selalu mengajukan rute masuk dan keluar dari/ke bandara Soekarno Hatta dan Juanda.

Beberapa maskapai sudah mulai menghubungkan kota-kota second city di Indonesia, ambil contoh saja Sky Aviation melakukan terobosan dengan armada Sukhoi SJ 100 dengan rute Yogyakarta–Tanjung Karang dan Jogya–Palembang. Ada pula maskapai Express Air yang membuka rute Yogya–Pontianak, Yogya– Pangkalan Bun.

Kemudian maskapai baru Nam Air dengan rute Yogya–Pontianak, Wings Air dengan rute Tanjung Karang–Medan, Jambi–Medan, Garuda dengan CRJ Makassar–Mataram. Juga mulai marak rute dari kota wisata Bandung sehingga Wings Air membuka rute Bandung-Yogya, Citilink membuka Bandung–Surabaya dan Bali, dan yang paling banyak Air Asia Indonesia bahkan membuka rute Bandung ke luar negeri seperti Singapura dan Kuala Lumpur. Beberapa maskapai lokal juga berjaya bermain di pasar lokal seperti Tri Nusa, yang menghususkan melayani rute di NTB dan NTT.

Ada lagi Avia Star juga khusus menghubungkan kotakota kabupaten di Kalimantan dan Sulawesi. Intinya adalah semua terobosan itu harus tetap dijaga harmonisasi rutenya dan dilindungi kepadatan tingkat rute yang mereka layani oleh regulator agar bisnis mereka tetap tumbuh dan bagus buat perkembangan bisnis maskapai di daerah 

Peluang Baru Kita ketahui rute-rute kreasi baru di atas tersebut adalah rute yang sama sekali baru yang belum pernah diterbangi maskapai lain, selama ini.
Terobosan dengan membuka jalur jalur baru itu adalah brilian dan akan semakin mendekatkan semua kota-kota di Indonesia sekaligus mengembangakan semua potensi ekonomi dan kepariwisataan di semua kota Tanah Air karena fungsi alat transportasi udara memang terkenal paling cepat dan efi sien menggerakkan mobilisasi masyarakat dan pebisnis di Tanah Air. Terobosan maskapai membuka rute baru yang tidak melalui Bandara Soetta tentu harus didukung semua komponen pengusaha, utamanya re gulator.

Tahun ini, salah satu BUMN di bidang bandara, Angkasa Pura I, akan mengeluarkan belanja 5,8 triliun rupiah. Kita berharap sebagian belanja BUMN tersebut dipakai untuk memperbaiki fasilitas bandara yang di bawah manajemannya di seluruh Indonesia sehingga akan menarik investor swasta lainnya untuk menanamkan modal di pembangunan pendukung bandara di Indonesia. Inilah dampak dari perkembangan pertumbuhan bisnis penerbangan di Indonesia dalam lebih satu dasawarsa terakhir.

Penulis yakin akan semakin membaik di masa depannya karena masyarakat kita semakin terbiasa menggunakan jasa moda transportasi udara yang semakin mudah diakses (bahkan tiket pesawat pun masa kini sudah bisa dibeli melalui ATM dan melakukan booking seat melalui gadget adalah hal yang lumrah saat kini. Regulator juga seharusnya tidak tinggal diam dan melakukan aksi yang seimbang dengan ke agresivitas maskapai dalam mengembangkan rute-rute baru ke second city.

Hal-hal yang perlu mendapat catatan bagi regulator agar faktor keselamatan di bandara bandara di remote area yang harus diperhatikan adalah perbaikan atau peremajaan kualitas radar dan navigasi, lay over run way yang harus teratur dilakukan untuk menjaga kualitas run way itu sendiri adalah sebuah kewajiban sehingga tidak membahayakan penerbangan. Demikian pula pengetatan pagar bandara agar hewan ternak tidak mudah masuk ke bandara. Kita perlu ingat kasus sapi tertabrak di Bandara Jalaludin, Gorontalo, merupakan hal yang memalukan, membahayakan penerbangan, dan tidak boleh terulang. Padahal, Gorontalo adalah sebuah ibu kota provinsi.

Selain itu, peremajaan fasilitas ground suport equipment yang layak harus tetap dilakukan. Tak lupa pentingnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia aviasi yang bekerja di wilayah airport sehingga peristiwa peristiwa mobil catering dan GSE menyenggol sayap pesawat tidak boleh terulang lagi. Apalagi geliat bisnis penerbangan di Tanah Air tidak akan bisa dihentikan perkembangannya sehingga bakal cerah terus hingga masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar