Peluang
Bisnis Aviasi Prospektif
Arista Atmadjati ; Dosen
UGM, Praktisi Penerbangan
|
KORAN
JAKARTA, 07 Februari 2014
Mari kita berhitung pemborosan
membuang fuel selama mengantre take off
dan landing di Bandara Sukarno-Hatta (Soetta). Ambil sampel saja selama 4 jam
antrean, misalnya dari jam 5 pagi sampai dengan jam 9 pagi, dengan rata-rata
80 flight take off dan landing.
Dari jumlah itu, diperoleh 400
kali frekuensi penerbangan dengan kerugian minimal antrean sekitar 10 juta
rupiah per fl ight. Jika fuel burn sia-sia antre itu dikalikan 80, lalu
dikalikan lagi 365 hari, maka ekuivalen dengan kerugian sekitar 292 miliar
rupiah per tahun.
Padahal, kemacetan tidak hanya
terjadi di pagi hari, namun juga menjelang sore sampai dengan jam 8 malam
sehingga total setahun pemborosan bahan bakar avtur yang terbuang ekuivalen
dengan sekitar 600 miliar rupiah per tahun. Itu hanya terjadi di Soetta sebab
bila kita perhatikan beberapa bandara mulai terkena congestion (kemacetan udara), misalnya bandara Juanda di Surabaya
dan Adisucipto di Yogyakarta.
Nah, kalau kita biarkan
kemacetan selama 5 tahun mendatang sama saja kita sudah membuang uang sekitar
10 triliun rupiah karena apabila dibiarkan terus-menerus tanpa ada solusi
yang signifi kan dari regulator, kemacetan Bandara Sukarano-Hatta, Juanda,
dan Adi Sucipto merupakan akumulasi kemacetan 5 tahun yang lau sampai dengan
5 tahun ke depan. Namun, titik terang sudah mulai terlihat di beberapa titik
kota, seperti Medan dengan Bandara Kuala Namu.
Paling tidak, Medan sudah lepas
dari persoalan kemacetan udara sekalipun itu bukan jaminan untuk 5 tahun
mendatang. Kalkulasi pemborosan avtur merupakan sebuah angka yang bisa diwujudkan
untuk membangun sebuah bandara baru yang lumayan representatif. Bayangkan,
hanya karena uang dari hasil avtur yang terbuang sia-sia akibat antrean take
off dan landing seharusnya kita sudah bisa membuat bandara baru.
Sekalipun demikian, guna menghindari
beberapa antrean di Bandara Soetta, Yogyakarta, dan Surabaya, langkah cerdas
beberapa maskapai penerbangan patut diacungi jempol. Mengubah lokasi hub and spoke fungsi kota tertentu
sebagai wilayah penghubung dan pengumpul menyebar ke kota tujuan sudah juga
dilakukan beberapa maskapai mainstream. Tersebutlah, misalnya Garuda
Indonesia, yang sudah memindahkan sebagaian armadanya (fleet) ke kotakota seperti Makassar.
Dengan memakai Makassar sebagai
hub and spoke, CRJ Bombardier
Garuda cukup dari Makassar ke kota-kota tujuan di wilayah Sulawesi, Papua,
NTB, dan Ambon. Garuda juga menempatkan Bali sebagai home base armada ATR-nya guna menghindari base Soetta dan Surabaya. Tak mau ketinggalan, Susi Air yang
semula home base-nya ada di
Pangandaran, namun banyak menempatkan armadanya di wilayah Papua sebagai
teritori mayoritas destinasinya yang paling banyak.
Ini merupakan sebuah terobosan
dan strategi marketing pengembangan rute yang impresif. Memindahkan home base
dan mengubah pola hub and spoke ke
kota-kota alternatif adalah sebuah langkah yang patut diapresiasi. Hal ini
akan bisa memberikan dampak positif untuk mempercepat pergerakan ekonomi di
daerah-daerah luar Jawa, utamanya sejalan dengan program percepatan
pembangunan ekonomi.
Dengan kata lain, program
pemerintah itu perlu didorong secara cepat dengan menggalakkan sebuah moda
transportasi udara yang semakin banyak dan tentu perlu didukung bandara
bandara baru yang akan dibuka. Saat ini, maskapai terus memperluas ceruk
pasar dengan mengembangkan rute-rute di luar kota Jakarta dan Surabaya karena
semua operator di Indonesia selalu mengajukan rute masuk dan keluar dari/ke
bandara Soekarno Hatta dan Juanda.
Beberapa maskapai sudah mulai
menghubungkan kota-kota second city di Indonesia, ambil contoh saja Sky
Aviation melakukan terobosan dengan armada Sukhoi SJ 100 dengan rute
Yogyakarta–Tanjung Karang dan Jogya–Palembang. Ada pula maskapai Express Air
yang membuka rute Yogya–Pontianak, Yogya– Pangkalan Bun.
Kemudian maskapai baru Nam Air
dengan rute Yogya–Pontianak, Wings Air dengan rute Tanjung Karang–Medan,
Jambi–Medan, Garuda dengan CRJ Makassar–Mataram. Juga mulai marak rute dari
kota wisata Bandung sehingga Wings Air membuka rute Bandung-Yogya, Citilink
membuka Bandung–Surabaya dan Bali, dan yang paling banyak Air Asia Indonesia
bahkan membuka rute Bandung ke luar negeri seperti Singapura dan Kuala
Lumpur. Beberapa maskapai lokal juga berjaya bermain di pasar lokal seperti
Tri Nusa, yang menghususkan melayani rute di NTB dan NTT.
Ada lagi Avia Star juga khusus
menghubungkan kotakota kabupaten di Kalimantan dan Sulawesi. Intinya adalah
semua terobosan itu harus tetap dijaga harmonisasi rutenya dan dilindungi
kepadatan tingkat rute yang mereka layani oleh regulator agar bisnis mereka
tetap tumbuh dan bagus buat perkembangan bisnis maskapai di daerah
Peluang
Baru Kita ketahui rute-rute kreasi baru di atas tersebut adalah rute yang
sama sekali baru yang belum pernah diterbangi maskapai lain, selama ini.
Terobosan dengan membuka jalur
jalur baru itu adalah brilian dan akan semakin mendekatkan semua kota-kota di
Indonesia sekaligus mengembangakan semua potensi ekonomi dan kepariwisataan
di semua kota Tanah Air karena fungsi alat transportasi udara memang terkenal
paling cepat dan efi sien menggerakkan mobilisasi masyarakat dan pebisnis di
Tanah Air. Terobosan maskapai membuka rute baru yang tidak melalui Bandara
Soetta tentu harus didukung semua komponen pengusaha, utamanya re gulator.
Tahun ini, salah satu BUMN di
bidang bandara, Angkasa Pura I, akan mengeluarkan belanja 5,8 triliun rupiah.
Kita berharap sebagian belanja BUMN tersebut dipakai untuk memperbaiki
fasilitas bandara yang di bawah manajemannya di seluruh Indonesia sehingga
akan menarik investor swasta lainnya untuk menanamkan modal di pembangunan
pendukung bandara di Indonesia. Inilah dampak dari perkembangan pertumbuhan
bisnis penerbangan di Indonesia dalam lebih satu dasawarsa terakhir.
Penulis yakin akan semakin
membaik di masa depannya karena masyarakat kita semakin terbiasa menggunakan
jasa moda transportasi udara yang semakin mudah diakses (bahkan tiket pesawat
pun masa kini sudah bisa dibeli melalui ATM dan melakukan booking seat melalui gadget adalah hal
yang lumrah saat kini. Regulator juga seharusnya tidak tinggal diam dan
melakukan aksi yang seimbang dengan ke agresivitas maskapai dalam
mengembangkan rute-rute baru ke second
city.
Hal-hal yang perlu mendapat
catatan bagi regulator agar faktor keselamatan di bandara bandara di remote
area yang harus diperhatikan adalah perbaikan atau peremajaan kualitas radar
dan navigasi, lay over run way yang
harus teratur dilakukan untuk menjaga kualitas run way itu sendiri adalah sebuah kewajiban sehingga tidak
membahayakan penerbangan. Demikian pula pengetatan pagar bandara agar hewan
ternak tidak mudah masuk ke bandara. Kita perlu ingat kasus sapi tertabrak di
Bandara Jalaludin, Gorontalo, merupakan hal yang memalukan, membahayakan
penerbangan, dan tidak boleh terulang. Padahal, Gorontalo adalah sebuah ibu
kota provinsi.
Selain itu, peremajaan
fasilitas ground suport equipment
yang layak harus tetap dilakukan. Tak lupa pentingnya adalah peningkatan
kualitas sumber daya manusia aviasi yang bekerja di wilayah airport sehingga
peristiwa peristiwa mobil catering dan GSE menyenggol sayap pesawat tidak
boleh terulang lagi. Apalagi geliat bisnis penerbangan di Tanah Air tidak
akan bisa dihentikan perkembangannya sehingga bakal cerah terus hingga masa
mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar