Keberanian
Berdemokrasi
Ignas Kleden ; Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk
Demokrasi (KID)
|
KOMPAS,
04 Februari 2014
SETELAH demokrasi direbut kembali di Indonesia melalui Reformasi 1998,
penerapannya kemudian ternyata meminta banyak kesabaran dan menuntut lebih
banyak keberanian.
Kesabaran harus ada
karena penerapan demokrasi memerlukan waktu yang relatif panjang. Tak ada
titik final saat kita dapat berkata: demokrasi sudah mantap serta mencapai
bentuk dan isi yang diidamkan. Keberanian amat dibutuhkan karena penerapan
demokrasi berhadapan dengan banyak halangan, yang dapat menimbulkan keraguan
apakah demokrasi adalah sistem politik yang tepat.
Dalam keadaan sekarang,
menjelang Pemilu 2014, tantangan terhadap demokrasi tampil dalam berbagai
bentuk. Kerisauan pertama muncul karena kebebasan yang tak disertai disiplin
dan pengawasan yang efektif menyebabkan meluasnya praktik korupsi di kalangan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan partai politik, dengan besaran yang
terus meningkat. Sejalan dengan itu, pemilihan calon anggota legislatif dan
pemilihan langsung kepala daerah (bupati/wali kota dan gubernur) yang memakai
dana tidak kecil telah melahirkan politik uang dengan sumber-sumber pendanaan
yang tak pernah transparan. Modal yang dihimpun dari berbagai pihak serta
digunakan oleh calon anggota legislatif dan eksekutif untuk membiayai
pemilihan mereka kemudian harus dikembalikan. Pengembalian modal ini sering
menggiring para politisi dan pejabat untuk memperoleh uang secara ilegal.
Gugatan berdemokrasi
Sementara itu, kita
tahu bahwa demokrasi tak akan berkembang kalau tidak ada para demokrat yang
mendukungnya. Seorang demokrat adalah warga negara yang memiliki pengetahuan
dasar tentang demokrasi, mengenal nilai-nilai demokrasi, punya komitmen
terhadap nilai-nilai tersebut, dan memiliki keterampilan menerapkannya dalam
kehidupan politik dan kehidupannya sehari-hari. Di pihak lain, tak begitu
jelas apakah setiap parpol punya mekanisme seleksi calon-calonnya, yang
menjamin mereka yang direkrut sebagai calon anggota legislatif atau eksekutif
mempunyai perlengkapan seorang demokrat sebagaimana baru disinggung di atas.
Seleksi calon yang
hanya mengandalkan popularitas mungkin berguna untuk mendapatkan suara bagi
calon dan partai yang mendukungnya, tapi tak menjamin kualifikasi minimum
seseorang yang diharapkan memperjuangkan demokrasi sebagai tugasnya. Tidak
patut lagi kita mendengar seorang yang dipilih partainya jadi wakil rakyat di
DPR ternyata tidak tahu-menahu tentang tugasnya sebagai legislator, lalu
membuat apologi bahwa sebagai orang baru dia perlu waktu untuk belajar. Ini
jelas salah paham serius karena seorang legislator sebagai anggota Dewan yang
terhormat dibayar oleh negara untuk bekerja sebagai wakil rakyat, bukan untuk
masuk masa perploncoan atau bimbingan belajar di lembaga itu. Kalau dia sadar
tak tahu tentang tugasnya, mengapa pula mencalonkan diri atau mau dicalonkan?
Uang jelas suatu
masalah, tetapi pilkada ternyata membawa serta biaya sosial berupa
konflik-konflik di daerah dan konflik pasca-pemilihan. Pasangan yang kalah
jarang mengakui kekalahannya dengan sportif dan bolak-balik ke Jakarta untuk
minta Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan diadakan pemilihan ulang. Kita
bertanya: kalau pasangan A dan pasangan B bersaing dalam pilkada, kemudian
pasangan A menang sementara pasangan ini tahu pesaingnya (pasangan B) yang
kalah melakukan banyak kecurangan, apakah pasangan A masih datang ke MK dan
minta dilakukan pemilihan ulang? Dapat dipastikan ini mustahil dilakukan.
Dengan demikian, dalam banyak kasus pemilihan ulang yang diminta ke MK bukan
karena ada kecurangan, tetapi karena pasangan yang kalah enggan mengakui
kekalahan.
Sementara itu, menurut
survei, tingkat kepercayaan publik kepada parpol merosot tajam. Ini terjadi
karena tidak jelasnya platform dan program kerja parpol yang sering disindir
sebagai partai elektoral dan bukan parpol karena hanya sibuk dalam satu tahun
sebelum dan satu tahun sesudah pemilu. Tak jelas pula apakah ada pendidikan
politik yang diberikan secara teratur kepada para kader partai dan apakah ada
transparansi tentang sanksi serta promosi dalam partai dan sumber pendanaan
partai.
Dalam ekonomi muncul
elite-elite ekonomi yang menjadi oligarki bisnis dengan penguasaan luas
terhadap alat-alat produksi dan jaringan bisnis sehingga orang
bertanya-tanya: apakah segala jerih payah dan pengorbanan dalam reformasi
hanya menghasilkan segelintir kapitalis domestik dengan kekuasaan ekonomi
yang luar biasa dan belum pasti menaruh sedikit perhatian terhadap
kesejahteraan rakyat sebagaimana diperintahkan UUD 1945?
Semua keadaan ini
dapat menimbulkan keraguan: apakah demokrasi merupakan jalan yang benar, dan
kalaupun benar, tidakkah kebebasan yang dimungkinkan dalam demokrasi sudah
berkembang lebih jauh dari ukuran yang wajar? Mulai timbul semacam nostalgia
ke masa pemerintahan Soeharto. Dikatakan, sedikit otoriter tidak mengapa,
asal politik, ekonomi, dan keamanan stabil. Pemilihan langsung kepala daerah
dirasa membawa biaya ekonomi dan sosial yang terlalu tinggi sehingga timbul
pikiran untuk kembali ke pemilihan tak langsung melalui DPRD.
Otonomi daerah
menimbulkan banyak konflik lokal, terutama kalau ada daerah yang ingin jadi
kabupaten baru dengan berbagai alasan. Bupati dan wali kota jadi amat
berkuasa dan bertindak sebagai penguasa tunggal di daerahnya, seakan-akan
kabupaten atau kotanya sebuah negara dalam negara. Pers dan media menikmati
kebebasan berlebihan: asyik dengan gosip dan kasak-kusuk, menimbulkan
kegaduhan politik yang tidak perlu, tetapi gagal menjalankan tugasnya sebagai
sumber informasi dan media komunikasi sosial-politik yang tepercaya.
Mungkin masih banyak
keberatan lain yang ada, tetapi cukup kiranya beberapa contoh di atas sebagai
ilustrasi. Jadi, apa yang harus dilakukan? Benarkah bangsa ini belum siap
untuk berdemokrasi?
Beruntunglah generasi
sekarang yang mempunyai dan membaca sejarah politik Tanah Air. Dalam pidato
lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno membahas isu kesiapan ini. Terhadap
undangan Panitia Penyelidikan Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
diketuai Radjiman, yang meminta para undangan menyiapkan segala sesuatu
secara rapi dan rinci hingga hal yang sekecil-kecilnya, Bung Karno berkata:
seandainya segala sesuatu harus disiapkan terlebih dahulu sebelum Indonesia
merdeka, tak seorang pun yang hadir di pertemuan ini akan mengalami
kemerdekaan sampai mereka mati.
Kesiapan berdemokrasi
Teori tentang kesiapan
itu dibalikkan oleh Soekarno secara dialektis: bukan bangsa Indonesia harus
siap supaya bisa merdeka, melainkan bangsa ini harus merdeka agar dapat
menyiapkan segala sesuatunya untuk kehidupan yang layak dan sejahtera.
Kemerdekaan adalah keberanian untuk merdeka, bukan kesiapan untuk merdeka.
Tampaknya hingga kini tak seorang pun warga Indonesia menyesali bangsanya
sudah merdeka meski dengan menanggung banyak risiko dan pengorbanan.
Ternyata masalah
kesiapan itu muncul juga dalam politik Indonesia hari ini. Apakah tak terlalu
pagi menerapkan demokrasi di Indonesia? Apakah tak terburu-buru menerapkan
otonomi daerah? Bukankah rakyat kita belum siap memilih pemimpinnya? Tidakkah
lebih baik diserahkan saja kepada DPRD? Tidakkah kebebasan pers sebaiknya
diatur dengan beberapa pembatasan agar tak kebablasan?
Keberatan-keberatan ini
dapat mengingatkan kita akan seseorang di kolam renang, yang berusaha
berenang hingga ke tengah, tetapi kemudian kembali ke tempat semula karena
tidak yakin untuk sampai ke titik di seberangnya. Padahal, berenang ke dan
dari tengah kolam renang itu sama jauhnya dengan berenang dari tepian yang
satu ke tepian yang lain.
Dalam politik
Indonesia sekarang, penerapan otonomi daerah masih menghadapi banyak masalah,
seperti kecilnya pendapatan asli daerah, kurangnya dana dari APBD untuk
membangun infrastruktur, rusaknya lingkungan alam karena pemerintah daerah
memberikan lisensi yang tidak dipertimbangkan dengan baik untuk mendatangkan
investor, tidak adanya koordinasi dan kerja sama antarkabupaten, serta banyak
kesulitan lain. Namun, kalau kesulitan-kesulitan ini belum bisa diatasi dan
ini dijadikan alasan bahwa otonomi daerah diterapkan terlalu dini, maka
terjadi dua kesalahan.
Pertama, kesalahan
logis. Kalau kita belum berhasil menerapkan otonomi daerah secara baik,
menimbulkan anggapan bahwa penerapan otonomi daerah terlalu dini dan kalau
kita terus-menerus tak cukup berusaha melaksanakan otonomi daerah sesuai
tujuannya, apakah selamanya otonomi daerah menjadi terlalu dini?
Di samping itu, kedua,
ada kesalahan historis dalam menilai perkembangan yang ada. Sejak
diberlakukan pada 2001, pengalaman dengan otonomi daerah baru berlangsung
satu dasawarsa lebih. Dalam masa yang singkat itu partisipasi politik daerah
sudah banyak meningkat; dalam menentukan kabupaten sendiri atau tidak, dalam
mengidentifikasi sumber daya daerah, dan dalam menetapkan peraturan daerah
yang sesuai dengan keadaan setempat. Otonomi khusus di Aceh dan Papua
membuktikan meningkatnya kekuatan politik daerah dalam berhadapan dengan
pemerintah pusat.
Penduduk di daerah
juga dapat memilih sendiri pemimpin yang mereka kehendaki. Tidak selalu
mereka berhasil mendapatkan pemimpin yang tepat, khususnya kalau ada
faktor-faktor selain aspirasi politik yang turut bermain. Faktor-faktor itu
dapat berupa kecenderungan primordial yang masih kuat berupa ikatan etnis,
agama atau kekerabatan, selain penggunaan uang untuk memengaruhi pemilihan.
Akan tetapi, rakyat punya proses belajarnya sendiri. Uang bisa dibagikan,
tetapi rakyat sebagai konstituen makin sadar untuk mempertahankan kebebasan
mereka dalam memilih pemimpin yang dikehendaki. Primordialisme terbukti tidak
selalu menguntungkan karena dapat menghasilkan munculnya pemimpin yang tak
kompeten. Apalagi makin terlihat, calon yang membagi-bagikan uang biasanya
tak punya banyak kemampuan yang dapat ditawarkan kepada masyarakat.
Kesadaran berdemokrasi
Pers bebas mungkin
kadang kala terperosok menjual gosip dan disinformasi. Akan tetapi, lambat
laun orang pers dan pemilik media sadar, keuntungan komersial yang diperoleh
tidak selalu berbanding lurus dengan pengaruh pers terhadap perkembangan
politik. Harus ditemukan modus vivendi antara
keuntungan dan pengaruh politik. Apakah ada pemilik media yang hanya puas
dengan keuntungan yang menumpuk dari bisnis medianya, tetapi tak pernah
dihitung dalam politik?
Sampai tingkat tertentu pers ingin berperan
sebagai the fourth estate atau pilar keempat di samping trias
politika, satu hal yang hanya mungkin tercapai kalau kebebasannya digunakan
dengan penuh tanggung jawab.
Korupsi menyebar dan
meningkat dengan berbagai modus yang semakin nekat, tetapi Komisi
Pemberantasan Korupsi melancarkan semacam ”perang terbuka” dengan para
koruptor, pengadilan semakin galak memberikan hukuman yang berat.
Sementara
pers dan media massa tak lelah membongkar praktik-praktik korup para VIP dengan
investigasi yang berani dan menyajikan berbagai data yang dapat menjadi
indikasi terlibatnya seseorang dalam pembobolan dana publik.
Pada akhirnya
kemerdekaan adalah keberanian untuk merdeka dan demokrasi adalah keberanian
berdemokrasi. Kesulitan dan kegagalan dalam menerapkan demokrasi tak patut
jadi alasan demokrasi tak sesuai atau belum waktunya diterapkan sebagai
sistem politik. Jalan pikiran ini mengandung fallacy yang dapat
berimplikasi luas, tatkala kegagalan menghentikan korupsi dianggap sebagai bukti
belum waktunya menerapkan pemerintahan yang bersih atau kesulitan menurunkan
tingkat kemiskinan menimbulkan anggapan bahwa kesejahteraan rakyat merupakan
cita-cita yang terlalu tinggi untuk Indonesia. Demokrasi barangkali bukan
sistem yang terbaik, tetapi pastilah sistem dengan keburukan yang paling
sedikit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar