Rabu, 02 Oktober 2013

Sino-RI, Beberapa Catatan

Sino-RI, Beberapa Catatan
Makmur Keliat  ;  Peneliti pada ASEAN Studies Centre, Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia
KOMPAS, 02 Oktober 2013


China kini telah menjadi pasar ekspor Indonesia yang sangat penting di kawasan Asia. Setelah Jepang, China diperkirakan menjadi pasar ekspor kedua terbesar bagi Indonesia. Hal ini berarti China telah menggeser posisi Singapura.
China diperkirakan telah pula menjadi importir terbesar bagi Indonesia mengalahkan baik Jepang maupun Singapura. Namun, identifikasi yang dilakukan menunjukkan terdapat empat kelemahan dalam pola perdagangan, investasi, ataupun bantuan pinjaman. Pertama, adanya kecenderungan yang menunjukkan setelah 2008, China mengalami surplus terhadap Indonesia dalam perdagangan bilateral kedua negara. Kedua, ekspor utama Indonesia ke China umumnya energi dan hasil sumber daya alam. Sedangkan konsentrasi impor Indonesia dari China terletak pada barang industri manufaktur dan barang modal (mesin dan peralatan).
Dua hal ini disebut dengan kelemahan karena dua alasan berikut. Pertama, Indonesia kini tengah menghadapi persoalan pasokan energi yang akut dan akan kian parah di masa depan. Secara logika ekonomi, mengamankan pasokan energi domestik seharusnya jadi prioritas kebijakan utama kecuali pembuat kebijakan di Jakarta memiliki pertimbangan strategis lain. Kedua, akan terdapat kesulitan bagi Indonesia mengembangkan industri nasional, khususnya manufaktur karena membanjirnya produk impor China itu. Dua kelemahan ini dapat memunculkan penguatan sentimen ”nasionalisme sumber daya” (resource nationalism) dan sentimen proteksi ekonomi di masa depan, khususnya terhadap produk dari China.
Kelemahan ketiga terkait karakter investasi yang dilakukan. Tampaknya simpul utama dan terkuat investasi China ke Indonesia masih terletak pada bidang energi. Investasi sektor energi yang besar ini sebagian juga menjelaskan mengapa pola perdagangan bilateral RI-China defisit beberapa tahun terakhir. Investasi di sektor energi yang dilakukan China mengakibatkan lonjakan kebutuhan untuk impor barang modal berupa mesin dan peralatan dari China. Namun, Indonesia juga harus menyadari, peningkatan impor barang modal berupa peralatan dan mesin ini menjelaskan persoalan struktural pengembangan industri di Indonesia. Sejak Orde Baru pengembangan industri manufaktur kita tak didukung oleh pengembangan industri dasar dan strategis. Rezim Orde Baru telah menelantarkan cetak biru industri strategis yang telah diletakkan Bung Karno pada awal kemerdekaan. Karena itu, impor barang modal dari China sebagian disebabkan oleh ketimpangan dalam pengembangan industri nasional.
Terlepas dari soal ini, sesuatu yang harus tetap dicatat adalah bahwa investasi sektor energi menyerap tenaga kerja jauh lebih sedikit dibandingkan dengan investasi di manufaktur. Kecuali suatu terobosan dilakukan, tidak terdapat peluang besar bagi Indonesia bersandar pada China dalam mengatasi persoalan penyerapan tenaga kerja jika pola investasi ini dibiarkan terus berlanjut di masa depan.
Batu kerikil
Kelemahan keempat menyangkut pinjaman. Jumlah bantuan pinjaman yang diberikan masih sangat minim dibandingkan dengan yang diberikan Jepang, khususnya untuk pembangunan infrastruktur. Hingga kini Jepang masih pemberi bantuan pinjaman infrastruktur terbesar bagi Indonesia melalui kerangka ODA. Karena itu, walau tak tampak sebagai masalah serius, beberapa kelemahan dalam interaksi ekonomi bilateral kedua negara dapat jadi batu kerikil di masa depan. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan hubungan ekonomi bilateral kedua negara? Kepentingan apa yang harus diajukan Indonesia? Pertama, tentu saja yang perlu dilakukan adalah mengoreksi empat kelemahan di atas. Di luar empat masalah ini, Indonesia perlu pula merealisasikan satu peluang, yaitu terkait MP3EI. Salah satu kendala bagi Indonesia memacu pertumbuhan ekonomi adalah minimnya infrastruktur. Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi, pembangunan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan udara dan laut, kereta api, maupun jalan raya menunjukkan stagnasi sepuluh tahun terakhir.
Dokumen MP3EI sendiri mencatat perkiraan total kebutuhan dana bagi pembangunan infrastruktur hingga 2025 setidaknya sekitar Rp 4.000 triliun. Beberapa laporan bahkan menyebutkan jika mobilisasi pendanaan dapat dilakukan, proyeksi tentang pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia yang telah dicanangkan dalam MP3EI hingga 2025 kemungkinan besar dapat dicapai. Bagi China, angka Rp 4.000 triliun ini hanya kurang dari 2 persen dari cadangan devisa negara itu, yang kini sekitar 3.000 miliar dollar AS dan dikategorikan terbesar di dunia.
Dalam kaitan ini penting untuk mencatat, China memiliki kepentingan untuk menyalurkan kembali cadangan devisa yang semakin membesar itu. Kepentingan itu adalah untuk mengatasi tekanan-tekanan apresiasi terhadap mata uangnya sebagai akibat surplus perdagangan yang terus-menerus dalam tiga dasawarsa terakhir. Karena itu, rekomendasi yang dapat diberikan terkait peluang ini adalah bagaimana menciptakan langkah-langkah konkret agar China dapat membantu Indonesia merealisasikan MP3EI, khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Indonesia harus dapat meyakinkan China bahwa keberhasilan MP3EI merupakan bagian dari kepentingan dasar China.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan kekuatan dasar dari peningkatan hubungan ekonomi kedua negara, tak hanya sekarang, tetapi juga di masa depan. Mestinya posisi tawar Indonesia saat ini untuk meyakinkan China jauh lebih baik karena kesulitan keuangan yang kini dialami Eropa dan AS telah menurunkan daya serap ekspor China ke dua wilayah pasar itu. Tentu saja ini tak mudah.
Terdapat dua kategori hambatan yang perlu dicermati. Di tataran internasional, hambatan mewujudkan rekomendasi ini kemungkinan besar terutama akan datang dari AS dan Jepang. Bagi kedua negara ini, kedekatan hubungan ekonomi Indonesia dan China kemungkinan besar akan dipersepsikan menggeser peran penting kedua negara itu dalam perekonomian Indonesia yang telah terpola beberapa puluh tahun terakhir. Ancaman lain datang dari konflik Laut China Selatan. Jika konflik Laut China Selatan mengalami eskalasi dalam bentuk konflik bersenjata, isu pentingnya meningkatkan dimensi ekonomi dalam hubungan bilateral China-RI kemungkinan besar akan terpinggirkan dan konsentrasi akan lebih banyak diarahkan pada dimensi ancaman keamanan. Karena itu, peran diplomasi Indonesia dalam penyelesaian konflik Laut China Selatan akan memperoleh justifikasinya jika dikaitkan kebutuhan mendapatkan sumber mobilisasi dana dari China.

Di sisi domestik, ancaman terutama akan datang dari kelompok yang melihat hubungan ekonomi yang semakin dekat sebagai bentuk ”penjajahan baru”, mirip yang dialami Jepang awal 1970-an di Indonesia. Untuk mengatasi ini, ada dua hal yang dapat direkomendasikan. Pertama, meminta China lebih meningkatkan secara substansial kegiatan filantropis dalam kegiatan diplomasinya, terutama melalui pemberian beasiswa bagi ilmuwan Indonesia belajar di China. Kedua, meminta China ikut membantu memasarkan produk-produk industri Indonesia dalam jaringan pasar China di tingkat global. Patut dicatat, salah satu keunggulan China untuk memasuki pasar internasional adalah kekuatan jaringannya. Kedua saran ini diharapkan dapat mengurangi kecemasan domestik terhadap kian dekatnya hubungan ekonomi kedua negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar