|
Kalau
ditarik garis merah, hubungan pendidikan, plagiarisme, dan korupsi memang
sejalan. Dengan kata lain, mereka yang sudah terbiasa tidak jujur di sekolah
berpotensi begitu juga ketika mereka bekerja. Jadi, orang-orang yang korupsi
itu boleh jadi mereka yang memahami, mereka yang merupakan kaum cerdik pandai.
Hari-hari ini, seluruh masyarakat mungkin tengah marah
besar karena Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, tertangkap tangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Lebih menyedihkan lagi, di laci kantornya
ditemukan narkotika.
Lengkap sudah wajah jeblok seorang Akil. Koruptor dan pengguna narkoba. Herannya, obat tersebut diletakkan begitu saja di laci meja kerja. Berarti agar obat itu mudah dijangkau. Asumsinya, dia sewaktu-waktu bisa menggunakannya.
Jagat Indonesia terperanjat hebat akibat penangkapan ini. Betapa tidak, orang yang seharusnya memegang kendali dan menjaga secara utuh kebenaran, dia sendiri yang menginjak-injak kebenaran. Wajar kalau banyak orang penting mengumpat-umpat, geram, marah, dan gethem-gethem melihat kasus ini. Orang sehat akan menggeleng-gelengkan kepala. Pernyataan paling emosional dikeluarkan perintis MK, Jimly Asshiddiqie. Begitu geramnya sampai dia tak kuasa menahan emosi sehingga minta Akil dihukum mati.
Akil pantas menerima hukuman mati karena tahu posisinya dan sadar jabatannya. Mantan Ketua MK lainnya, Mahfud MD, pun terlihat sudah di ubun-ubun kemarahannya. Dia tak kalah marah dengan mengharapkan Akil dihukum paling berat. Dia mengerti hukum. Orang yang sangat paham dan mengerti hukum, tetapi melanggarnya, dia tak dapat tidak, harus dijatuhi hukuman jauh lebih berat dari orang-orang yang sama-sama melanggar tapi karena ketidaktahuan masalah hukum.
Kedudukan yang begitu menentukan tidak dipanggul secara benar. Pemanggulnya justru main-main atas kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.
Plagiarisme
Pada kesempatan hampir bersamaan, dunia pendidikan dihebohkan dengan masalah contek-mencontek atau praktik penjiplakan atau plagiarisme. Disiplin dari awal ketika berada di bangku sekolah, jika ditilik secara saksama, turut andil dalam membentuk karakter ketika dewasa.
Anak yang sejak di bangku sekolah dasar sudah terbiasa mencontek, bukan tidak mungkin kebiasaan itu dibawa terus ketika dewasa. Andai saja kebiasaan tidak jujur itu tidak ketahuan guru atau orang tua lalu tidak dibenahi, akan menjadi "karakter". Anak yang biasa mencontek memelihara kebiasaan tidak jujur.
"Tradisi" mencontek menjadi awal mental buruk yang bisa saja memengaruhi sifat-sifat di dalam kepribadiannya. Maka, pendidikan dasar harus benar-benar mampu membentuk, melahirkan, dan menjadikan anak bermental baik, jujur, dan berintegral. Jika ini terjadi, rasanya karakter anak akan kuat menghadapi godaan-godaan ketika dia berkarya.
Korupsi adalah praktik tidak jujur, dan itu tidak terjadi seketika, melainkan terbentuk dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, untuk korupsi, diperlukan "keberanian" mengubah kejujuran menjadi kejahatan. Memang korupsi didukung ada kesempatan, dekat dengan uang yang harus dikorupsi, dan memiliki akses ke uang yang dapat dicuri.
Namun, yang menentukan adalah "keberanian" seseorang berubah menjadi tidak jujur. Bagi mereka yang berkarakter jujur sejak kecil, tidak mudah untuk mengubah menjadi pribadi yang curang. Maka, pendidikan dan korupsi sangat berkaitan. Kalau pendidikannya sangat baik dalam arti mampu membentuk karakter dan mental berpribadi integral, rasanya sulit ketika menjadi pejabat untuk korupsi.
Masalahnya, di dalam dunia pendidikan, praktik kejujuran sudah luntur. Banyak murid mencontek ketika ujian atau ulangan, sementar calon sarjana menjiplak karya orang. Yang lebih menyedihkan adalah para calon doktor pun banyak yang ditengarai menjiplak karya ilmiah orang lain. Lihat saja pernyataan Kepala Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Prof Wuryadi, yang menengarai hampir semua dosen di Indonesia melakukan plagiat. Wah, kalau sudah demikian, ketika mereka lulus dan berkarya, tidak jujur sudah menjadi kebiasaan. Maka, korupsi hanya soal waktu. Begitu ada kesempatan untuk korupsi, mereka akan melakukan.
Memang untuk mencontek karya orang semakin mudah karena ada teknologi internet. Di satu sisi, banyak yang mem-posting karya mereka agar dibaca orang. Di sisi lain, ini membawa akibat orang yang malas akan mengambil atau setidaknya mencontek isinya untuk "menginspirasi" karya tulisnya. Banyak yang mengakui bahwa mahasiswa S1 sampai S3 pun banyak yang melakukan praktik penjiplakan.
Lengkap sudah wajah jeblok seorang Akil. Koruptor dan pengguna narkoba. Herannya, obat tersebut diletakkan begitu saja di laci meja kerja. Berarti agar obat itu mudah dijangkau. Asumsinya, dia sewaktu-waktu bisa menggunakannya.
Jagat Indonesia terperanjat hebat akibat penangkapan ini. Betapa tidak, orang yang seharusnya memegang kendali dan menjaga secara utuh kebenaran, dia sendiri yang menginjak-injak kebenaran. Wajar kalau banyak orang penting mengumpat-umpat, geram, marah, dan gethem-gethem melihat kasus ini. Orang sehat akan menggeleng-gelengkan kepala. Pernyataan paling emosional dikeluarkan perintis MK, Jimly Asshiddiqie. Begitu geramnya sampai dia tak kuasa menahan emosi sehingga minta Akil dihukum mati.
Akil pantas menerima hukuman mati karena tahu posisinya dan sadar jabatannya. Mantan Ketua MK lainnya, Mahfud MD, pun terlihat sudah di ubun-ubun kemarahannya. Dia tak kalah marah dengan mengharapkan Akil dihukum paling berat. Dia mengerti hukum. Orang yang sangat paham dan mengerti hukum, tetapi melanggarnya, dia tak dapat tidak, harus dijatuhi hukuman jauh lebih berat dari orang-orang yang sama-sama melanggar tapi karena ketidaktahuan masalah hukum.
Kedudukan yang begitu menentukan tidak dipanggul secara benar. Pemanggulnya justru main-main atas kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.
Plagiarisme
Pada kesempatan hampir bersamaan, dunia pendidikan dihebohkan dengan masalah contek-mencontek atau praktik penjiplakan atau plagiarisme. Disiplin dari awal ketika berada di bangku sekolah, jika ditilik secara saksama, turut andil dalam membentuk karakter ketika dewasa.
Anak yang sejak di bangku sekolah dasar sudah terbiasa mencontek, bukan tidak mungkin kebiasaan itu dibawa terus ketika dewasa. Andai saja kebiasaan tidak jujur itu tidak ketahuan guru atau orang tua lalu tidak dibenahi, akan menjadi "karakter". Anak yang biasa mencontek memelihara kebiasaan tidak jujur.
"Tradisi" mencontek menjadi awal mental buruk yang bisa saja memengaruhi sifat-sifat di dalam kepribadiannya. Maka, pendidikan dasar harus benar-benar mampu membentuk, melahirkan, dan menjadikan anak bermental baik, jujur, dan berintegral. Jika ini terjadi, rasanya karakter anak akan kuat menghadapi godaan-godaan ketika dia berkarya.
Korupsi adalah praktik tidak jujur, dan itu tidak terjadi seketika, melainkan terbentuk dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, untuk korupsi, diperlukan "keberanian" mengubah kejujuran menjadi kejahatan. Memang korupsi didukung ada kesempatan, dekat dengan uang yang harus dikorupsi, dan memiliki akses ke uang yang dapat dicuri.
Namun, yang menentukan adalah "keberanian" seseorang berubah menjadi tidak jujur. Bagi mereka yang berkarakter jujur sejak kecil, tidak mudah untuk mengubah menjadi pribadi yang curang. Maka, pendidikan dan korupsi sangat berkaitan. Kalau pendidikannya sangat baik dalam arti mampu membentuk karakter dan mental berpribadi integral, rasanya sulit ketika menjadi pejabat untuk korupsi.
Masalahnya, di dalam dunia pendidikan, praktik kejujuran sudah luntur. Banyak murid mencontek ketika ujian atau ulangan, sementar calon sarjana menjiplak karya orang. Yang lebih menyedihkan adalah para calon doktor pun banyak yang ditengarai menjiplak karya ilmiah orang lain. Lihat saja pernyataan Kepala Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Prof Wuryadi, yang menengarai hampir semua dosen di Indonesia melakukan plagiat. Wah, kalau sudah demikian, ketika mereka lulus dan berkarya, tidak jujur sudah menjadi kebiasaan. Maka, korupsi hanya soal waktu. Begitu ada kesempatan untuk korupsi, mereka akan melakukan.
Memang untuk mencontek karya orang semakin mudah karena ada teknologi internet. Di satu sisi, banyak yang mem-posting karya mereka agar dibaca orang. Di sisi lain, ini membawa akibat orang yang malas akan mengambil atau setidaknya mencontek isinya untuk "menginspirasi" karya tulisnya. Banyak yang mengakui bahwa mahasiswa S1 sampai S3 pun banyak yang melakukan praktik penjiplakan.
Nah, kalau ditarik garis merah, hubungan pendidikan,
plagiarisme, dan korupsi memang sejalan. Dengan kata lain, mereka yang sudah
terbiasa tidak jujur di sekolah berpotensi begitu juga ketika mereka bekerja.
Jadi, orang-orang yang korupsi itu boleh jadi mereka yang memahami, mereka yang
merupakan kaum cerdik pandai.
Oleh karena itu, kasus maraknya korupsi di negeri ini harus menjadi keprihatinan dunia pendidikan. Sebab kalau ditelusuri, yang paling bertanggung jawab adalah dunia pendidikan. Kalau saja sekolah gagal membentuk lulusan yang berkarakter, jujur, dan berintegritas, beban akan tertimpakan pada masyarakat dengan maraknya kaum cerdik pandai berkorupsi.
Pendidikan dasar semakin penting untuk meletakkan dasar-dasar nilai-nilai keluhuran seperti kejujuran. Hanya murid yang jujur dapat diharapkan menjadi orang berkarakter jauh dari korupsi meski akhirnya dia tidak terlalu brilian secara intelektual. Nilai-nilai kejujuran harus benar-benar ditanamkan sejak sangat dini dalam sistem pendidikan nasional untuk mengeliminasi korupsi yang semakin menggurita.
Hanya, sayang sekali, belakangan, banyak pendidikan yang semakin mengutamakan komersial sehingga kadang melupakan tujuan dasar dari sekolah itu sendiri, yaitu membentuk murid yang berkarakter. Harus ada perubahan orientasi pendidikan dari komersialisasi untuk kembali ke basic yang menekankan pendidikan budi pekerja, etika, dan moral. ●
Oleh karena itu, kasus maraknya korupsi di negeri ini harus menjadi keprihatinan dunia pendidikan. Sebab kalau ditelusuri, yang paling bertanggung jawab adalah dunia pendidikan. Kalau saja sekolah gagal membentuk lulusan yang berkarakter, jujur, dan berintegritas, beban akan tertimpakan pada masyarakat dengan maraknya kaum cerdik pandai berkorupsi.
Pendidikan dasar semakin penting untuk meletakkan dasar-dasar nilai-nilai keluhuran seperti kejujuran. Hanya murid yang jujur dapat diharapkan menjadi orang berkarakter jauh dari korupsi meski akhirnya dia tidak terlalu brilian secara intelektual. Nilai-nilai kejujuran harus benar-benar ditanamkan sejak sangat dini dalam sistem pendidikan nasional untuk mengeliminasi korupsi yang semakin menggurita.
Hanya, sayang sekali, belakangan, banyak pendidikan yang semakin mengutamakan komersial sehingga kadang melupakan tujuan dasar dari sekolah itu sendiri, yaitu membentuk murid yang berkarakter. Harus ada perubahan orientasi pendidikan dari komersialisasi untuk kembali ke basic yang menekankan pendidikan budi pekerja, etika, dan moral. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar