|
Perkembangan daya saing Indonesia yang menurun dalam
beberapa tahun belakangan ini merupakan resultante dari berbagai hal, salah
satunya sebagian produk Indonesia yang dapat diekspor dianggap mampu bersaing
di tingkat internasional karena harganya di tingkat pabrik lebih murah.
Di sisi lainnya, beragam
produk yang dapat diproduksi di Indonesia urung dihasilkan karena berbagai hal,
antara lain karena masalah transportasi, kepelabuhanan, perizinan, peraturan,
dan waktu pengurusan dokumen, yang dalam kenyataannya telah menggerogoti daya
saing produk-produk Indonesia di pasar internasional. Belum lagi termasuk
pungutan-pungutan yang harus dipikul oleh pengusaha.
Ketidaktersediaan listrik secara memadai, sulitnya pengadaan
tanah, buruknya prasarana perhubungan dan jalan, terlebih berubah-ubahnya
peraturan, mengakibatkan para investor mengurungkan niatnya melakukan investasi
di Indonesia. Kalau di masa lalu Indonesia dianggap sebagai negara yang paling
menarik bagi para investor, dewasa ini keadaannya telah berubah walaupun masih
dianggap menarik.
Dalam pertemuan APEC di Bali, baru-baru ini, dari 20 butir
usulan Indonesia untuk disepakati APEC, Indonesia mengusulkan agar negara
anggota APEC menurunkan tarif masuk untuk produk CPO melalui pintu produk ramah
lingkungan. Dengan usulan ini, ada anggapan bahwa dengan penurunan tarif ekspor
CPO Indonesia akan dapat meningkat secara berarti. Anggapan ini adalah jelas
keliru.
Penurunan tarif impor CPO oleh negara importir tidak lantas
berarti akan meningkatkan ekspor CPO Indonesia. Kendala utama bagi peningkatan
ekspor CPO Indonesia tidak terletak pada tingginya tarif yang dikenakan oleh
negara-negara importir, tetapi justru terletak pada pajak ekspor yang dikenakan
kepada produk CPO.
Pajak ekspor CPO yang dikenakan di Indonesia ternyata lebih
tinggi dari pajak ekspor yang dikenakan di Malaysia. Dengan perbedaan tarif
ekspor tersebut, maka eksportir CPO Malaysia lebih baik kedudukannya bila
dibandingkan dengan Indonesia.
Data statistik yang
tersedia menunjukkan bahwa volume perdagangan Indonesia dengan negara anggota
APEC lainnya sekitar 75 persen dari seluruh perdagangan internasional
Indonesia. Ini berarti Indonesia tidak mungkin meninggalkan APEC karena
taruhannya adalah hilangnya sekitar 75 persen perdagangan Indonesia dan belum
terhitung investasi dan kegiatan ekonomi lainnya.
Studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga menunjukkan bahwa
sebagian besar anggota APEC, termasuk Indonesia, dalam beberapa tahun ke depan
akan dapat meraih pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat bila dibandingkan dengan
negara-negara lainnya di dunia.
Dengan demikian, dapat dipahami bila dinyatakan APEC akan
menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Dengan kata lain, bila dewasa ini
porsi perdagangan APEC dalam perdagangan dunia baru sekitar 45 persen, maka
akan meningkat lebih besar di masa yang akan datang. Apakah Indonesia mampu memanfaatkan
momen penting ini untuk meningkatkan perekonomian nasional ke depan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar