Jumat, 18 Oktober 2013

Tradisi Melestarikan Lingkungan

Tradisi Melestarikan Lingkungan
Pramudito  ;  Pemerhati Sosial, Alumni FISIP Universitas Negeri Jember
SUARA KARYA, 17 Oktober 2013


Sejak akhir abad lalu hingga memasuki abad ke-21 ini, isu lingkungan hidup semakin mengglobal. Kesadaran pentingnya pelestarian lingkungan hidup semakin tinggi dan berbagai upaya negara-negara di muka bumi ini untuk mempromosikan kelestarian lingkungan hidup semakin gencar dilakukan. 
Ironisnya, tidak semua pihak mendukungnya, apalagi bila sudah menyangkut kepentingan ekonomi dan bisnisnya. Upaya alih fungsi hutan yang berlebihan hingga menimbulkan kerusakan untuk dijadikan perkebunan tanaman industri atau pertambangan sebagai contoh yang nyata, termasuk di Tanah Air.

Kiranya banyak yang belum mengetahui bahwa bangsa Indonesia sejak zaman leluhurnya dulu telah mempunyai kesadaran melestarikan lingkungan hidup. Ini sebagai pandangan dan sikap yang suci, bukan karena dorongan ilmu pengetahuan empiris belaka, sebagaimana sudut pandang bangsa-bangsa Barat. Sebaiknya kita sadari bahwa ternyata banyak tradisi di Indonesia secara sadar telah menjadi penopang kelestarian dan pelestarian lingkungan.

Contoh nyata adalah sistem pengairan 'Subak' di Bali yang diperkirakan sudah berlangsung sejak 2000 tahun lalu. Sistem Subak terkait erat dengan ajaran Hindu yang tertuang dalam Tri Hita Karana (Tiga Sumber Kebaikan), yaitu: hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Harmonisasi hubungan tersebut diterapkan secara turun-temurun lewat sistem Subak yang sarat makna solidaritas sosial, gotong royong dan toleransi.

Lihatlah betapa di Bali tidak pernah terjadi perselisihan dalam masalah pengaturan pengairan (irigasi) di sawah atau tegalan. Alam dan lingkungan tetap lestari, tidak ada kerusakan. Tidak ada petani yang menjerit kekurangan air, karena air merupakan milik bersama anugerah Tuhan dan sama sekali tidak dikomersialkan. Dalam pandangan orang Bali, Tuhan merasa senang bila umatnya selalu dalam hubungan yang harmonis, baik dengan Tuhan, alam lingkungan dan sesama manusia. Karena pelestarian sistem persawahan di Bali, lanskap budaya Subak ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO tahun 2012.

Aleta Baun

Di Provinsi NTT pun tertoreh tinta emas bertaut dengan upaya dan perjuangan pelestarian lingkungan hidup. NTT telah memiliki pahlawan lingkungan hidup. Namanya Aleta Baun, seorang wanita yang dilahirkan di Lelobatan, Timor, 50 tahun lalu. Kepedulian dan kesadarannya yang sangat tinggi pada lingkungan memberinya keberanian untuk melawan pemerintahan setempat (Bupati Timor Tengah Selatan) dengan mengajukan gugatan tahun 2007. Aleta Baun memprotes lingkungan tanah kelahirannya yang dirusak oleh penambangan batu marmer. Namun gugatan itu tak ditanggapi. Ia justru menerima ancaman dari pengusaha tambang dan preman-preman bayaran.

Aleta Baun juga kerap menghadapi teror. Hampir setiap malam (waktu itu), rumahnya dilempari batu, sehingga ia terpaksa meninggalkan suami dan anak-anaknya serta sering pindah dari satu desa ke desa lain. Ia pun terpaksa melakukan perjalanan pada malam hari untuk menghindari ancaman para preman. Empat teman seperjuangan yang semula ikut menggugat Pak Bupati tidak tahan dan menarik diri, hingga tinggal Aleta sendiri yang tetap gigih tak mau menyerah.

Namun, perjuangan Aleta akhirnya membuahkan hasil berkat pendekatan dengan para tetua adat di 12 desa lereng Gunung Mutis. Para pemimpin adat itu pun sepakat membentuk 120 kelompok masyarakat adat guna berjuang untuk melindungi hutan, tanah, air dan batu dari pengusaha dan penguasa yang lalim. Sementara masyarakat tiga suku di Timor Tengah Selatan, Suku Mollo, Amatuban dan Amanatun bersumpah untuk menolak eksploitasi tambang batu marmer dan perusakan hutan.

Perjuangan untuk melestarikan lingkungan hidup oleh Aleta Baun tidak hanya bergema di tingkat nasional, namun juga internasional. Kementerian Kehutanan RI menganugerahkan Aneta Baun penghargaan sebagai Pejuang Nasional Lingkungan Hidup tahun 2009/2010. Ia juga menerima penghargaan internasional Golden Environmental Prize (GEP) tahun 2013, yang diterimanya di San Francisco, AS, April lalu dengan dihadiri Presiden Barack Obama.

Mengapa perjuangan Aleta Baun mendapat dukungan dari masyarakat tradisional? Karena, perjuangan Aneta sesuai dengan tradisi dan kepercayaan orang Timor sejak beratus-ratus tahun lalu. Orang Timor percaya bahwa lingkungan yang terdiri dari: hutan, tanah, air dan batu merupakan 'anugerah sepanjang hidup' dari Tuhan. Bagi orang Timor, bumi dan segala isinya adalah ibarat tubuh manusia. Tanah adalah simbol daging, batu simbol tulang manusia, air simbol darah dan hutan simbol rambut dan pori-pori manusia. Bila salah satu unsur rusak atau tidak berfungsi, maka yang lain (semuanya) akan ikut rusak. Bencana akan dengan mudah mengancam kehidupan manusia di muka bumi.

Perjuangan Aleta Baun dan kawan-kawan tidak saja untuk menghentikan perusakan gunung karena penambangan batu marmer, namun juga untuk mencegah hilangnya sumber air dari kawasan Gunung Mutis. Lokasi mata air tersebut merupakan sumber air terbesar, baik untuk masyarakat Timor Barat maupun pun Timor Leste, yang tepatnya berada di bawah kaki Gunung Batu. Gunung Batu sendiri, di mana batu marmer ditambang, berada di bawah Gunung Mutis dengan ketinggian 500-800 meter di atas permukaan laut.

Bila lingkungan Gunung Batu tersebut rusak karena kegiatan penambangan, maka dapat dipastikan akan merusak mata air, dan masyarakat sekitar pun akan kehilangan sumber air terbesar. Dengan demikian, jelas bahwa kuatnya kepercayaan dan tradisi lokal ikut menentukan dalam perjuangan mempertahankan kelestarian lingkungan hidup.

"Jangan menjadi sarjana lalu menjual kampung dan isinya. ....... Uang itu hanya angin yang lewat, tetapi hutan, tanah, air dan batu adalah anugerah sepanjang hidup!" kata Aleta Baun.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar