|
Sejak akhir abad lalu hingga memasuki abad ke-21 ini, isu
lingkungan hidup semakin mengglobal. Kesadaran pentingnya pelestarian
lingkungan hidup semakin tinggi dan berbagai upaya negara-negara di muka bumi
ini untuk mempromosikan kelestarian lingkungan hidup semakin gencar dilakukan.
Ironisnya, tidak semua pihak mendukungnya, apalagi bila sudah menyangkut
kepentingan ekonomi dan bisnisnya. Upaya alih fungsi hutan yang berlebihan
hingga menimbulkan kerusakan untuk dijadikan perkebunan tanaman industri atau
pertambangan sebagai contoh yang nyata, termasuk di Tanah Air.
Kiranya banyak yang belum mengetahui bahwa bangsa Indonesia
sejak zaman leluhurnya dulu telah mempunyai kesadaran melestarikan lingkungan
hidup. Ini sebagai pandangan dan sikap yang suci, bukan karena dorongan ilmu
pengetahuan empiris belaka, sebagaimana sudut pandang bangsa-bangsa Barat.
Sebaiknya kita sadari bahwa ternyata banyak tradisi di Indonesia secara sadar
telah menjadi penopang kelestarian dan pelestarian lingkungan.
Contoh nyata adalah sistem pengairan 'Subak' di Bali yang
diperkirakan sudah berlangsung sejak 2000 tahun lalu. Sistem Subak terkait erat
dengan ajaran Hindu yang tertuang dalam Tri Hita Karana (Tiga Sumber Kebaikan),
yaitu: hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Harmonisasi
hubungan tersebut diterapkan secara turun-temurun lewat sistem Subak yang sarat
makna solidaritas sosial, gotong royong dan toleransi.
Lihatlah betapa di Bali tidak pernah terjadi perselisihan
dalam masalah pengaturan pengairan (irigasi) di sawah atau tegalan. Alam dan
lingkungan tetap lestari, tidak ada kerusakan. Tidak ada petani yang menjerit
kekurangan air, karena air merupakan milik bersama anugerah Tuhan dan sama
sekali tidak dikomersialkan. Dalam pandangan orang Bali, Tuhan merasa senang
bila umatnya selalu dalam hubungan yang harmonis, baik dengan Tuhan, alam
lingkungan dan sesama manusia. Karena pelestarian sistem persawahan di Bali,
lanskap budaya Subak ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO tahun
2012.
Aleta Baun
Di Provinsi NTT pun tertoreh tinta emas bertaut dengan
upaya dan perjuangan pelestarian lingkungan hidup. NTT telah memiliki pahlawan
lingkungan hidup. Namanya Aleta Baun, seorang wanita yang dilahirkan di
Lelobatan, Timor, 50 tahun lalu. Kepedulian dan kesadarannya yang sangat tinggi
pada lingkungan memberinya keberanian untuk melawan pemerintahan setempat
(Bupati Timor Tengah Selatan) dengan mengajukan gugatan tahun 2007. Aleta Baun
memprotes lingkungan tanah kelahirannya yang dirusak oleh penambangan batu
marmer. Namun gugatan itu tak ditanggapi. Ia justru menerima ancaman dari
pengusaha tambang dan preman-preman bayaran.
Aleta Baun juga kerap menghadapi teror. Hampir setiap malam
(waktu itu), rumahnya dilempari batu, sehingga ia terpaksa meninggalkan suami
dan anak-anaknya serta sering pindah dari satu desa ke desa lain. Ia pun
terpaksa melakukan perjalanan pada malam hari untuk menghindari ancaman para
preman. Empat teman seperjuangan yang semula ikut menggugat Pak Bupati tidak
tahan dan menarik diri, hingga tinggal Aleta sendiri yang tetap gigih tak mau menyerah.
Namun, perjuangan Aleta akhirnya membuahkan hasil berkat
pendekatan dengan para tetua adat di 12 desa lereng Gunung Mutis. Para pemimpin
adat itu pun sepakat membentuk 120 kelompok masyarakat adat guna berjuang untuk
melindungi hutan, tanah, air dan batu dari pengusaha dan penguasa yang lalim.
Sementara masyarakat tiga suku di Timor Tengah Selatan, Suku Mollo, Amatuban
dan Amanatun bersumpah untuk menolak eksploitasi tambang batu marmer dan
perusakan hutan.
Perjuangan untuk melestarikan lingkungan hidup oleh Aleta
Baun tidak hanya bergema di tingkat nasional, namun juga internasional.
Kementerian Kehutanan RI menganugerahkan Aneta Baun penghargaan sebagai Pejuang
Nasional Lingkungan Hidup tahun 2009/2010. Ia juga menerima penghargaan
internasional Golden Environmental Prize
(GEP) tahun 2013, yang diterimanya di San Francisco, AS, April lalu dengan
dihadiri Presiden Barack Obama.
Mengapa perjuangan Aleta Baun mendapat dukungan dari
masyarakat tradisional? Karena, perjuangan Aneta sesuai dengan tradisi dan
kepercayaan orang Timor sejak beratus-ratus tahun lalu. Orang Timor percaya
bahwa lingkungan yang terdiri dari: hutan, tanah, air dan batu merupakan
'anugerah sepanjang hidup' dari Tuhan. Bagi orang Timor, bumi dan segala isinya
adalah ibarat tubuh manusia. Tanah adalah simbol daging, batu simbol tulang
manusia, air simbol darah dan hutan simbol rambut dan pori-pori manusia. Bila
salah satu unsur rusak atau tidak berfungsi, maka yang lain (semuanya) akan
ikut rusak. Bencana akan dengan mudah mengancam kehidupan manusia di muka bumi.
Perjuangan Aleta Baun dan kawan-kawan tidak saja untuk
menghentikan perusakan gunung karena penambangan batu marmer, namun juga untuk
mencegah hilangnya sumber air dari kawasan Gunung Mutis. Lokasi mata air
tersebut merupakan sumber air terbesar, baik untuk masyarakat Timor Barat
maupun pun Timor Leste, yang tepatnya berada di bawah kaki Gunung Batu. Gunung
Batu sendiri, di mana batu marmer ditambang, berada di bawah Gunung Mutis
dengan ketinggian 500-800 meter di atas permukaan laut.
Bila lingkungan Gunung Batu tersebut rusak karena kegiatan
penambangan, maka dapat dipastikan akan merusak mata air, dan masyarakat
sekitar pun akan kehilangan sumber air terbesar. Dengan demikian, jelas bahwa
kuatnya kepercayaan dan tradisi lokal ikut menentukan dalam perjuangan
mempertahankan kelestarian lingkungan hidup.
"Jangan
menjadi sarjana lalu menjual kampung dan isinya. ....... Uang itu hanya angin
yang lewat, tetapi hutan, tanah, air dan batu adalah anugerah sepanjang
hidup!" kata Aleta Baun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar