Senin, 23 September 2013

TVRI, Partai, dan TV Lain

TVRI, Partai, dan TV Lain
Tri Suparyanto  ;   Dosen Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa,
Kini ketua Komisi ­Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DI Jogjakarta
JAWA POS, 23 September 2013


MINGGU malam TVRI menyiarkan deklarasi konvensi Partai Demokrat sekitar 2 jam 23 menit. Polemik pun merebak. TVRI dianggap melanggar ketentuan sebagai televisi publik. Akhirnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagai otoritas yang mengurusi penyiaran, memeriksa jajaran direksi dan dewan pengawas TVRI Rabu dan Kamis 18-19 September 2013. Hasilnya? TVRI mendapat sanksi administratif!

Sanksi ini menguatkan opini yang berkembang di media bahwa TVRI bersalah karena melanggar kode etik jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3/SPS) serta melanggar pasal 14 ayat (1) dan pasal 46 ayat (10) UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran. Dengan demikian, TVRI sebagai lembaga penyiaran publik dianggap melanggar sifat dasarnya yang harus: 1) independen, 2) netral, 3) tidak boleh komersial, 4) memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. 

Semoga setelah keputusan KPI (pusat) tersebut, polemik segera berakhir. Dan, bagi TVRI, silakan mengevaluasi diri. Namun, selaku pemirsa TVRI, saya sangat terusik atas peristiwa ini karena tayangan TVRI tersebut sangat bermanfaat, setidak-tidaknya untuk mengenali calon para pemimpin bangsa. Benarkah TVRI bersalah? 

Pertama, soal independensi dan tidak boleh komersial. Hasil pemeriksaan KPI terhadap direksi TVRI menjelaskan bahwa tidak ada permintaan, tekanan, ancaman, dan tidak ada pembelian waktu siar alias gratis pada siaran langsung tersebut. Siaran semata karena pertimbangan nilai beritanya (news value). Selain itu, tayangan konvesi Partai Demokrat tersebut menjalankan amanat Komisi Pertahanan DPR agar TVRI lebih berperan sebagai TV pemilu. Demi memberikan edukasi politik bagi masyarakat. Amanat ini disepakati dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara TVRI dengan DPR pada 10 September 2013. Artinya, keputusan manajemen untuk menyiarkan tayangan konvensi Partai Demokrat tersebut bukan tanpa dasar. 

Kedua, soal netralitas sebagai media. Parameternya tentu sangat sederhana. Yakni, apakah TVRI juga berlaku sama (adil) bagi partai politik yang lain. Menurut catatan, TVRI pernah menayangkan acara ulang tahun Fraksi Golkar pada 20 Maret 2013 sekitar 1 jam dan ulang tahun Partai Amanat Nasional tanggal 25 Agustus 2013 sekitar 1 jam (Koran Tempo, Kamis, 19 September 2013). Artinya, ada tiga partai politik yang telah memanfaatkan TVRI sebagai TV publik. Memang harus diakui bahwa data ini belum cukup untuk mengatakan bahwa TVRI sudah berlaku netral dan adil. Tetapi, setidak-tidaknya, TVRI telah berusaha untuk berlaku adil, bukan? 

Ketiga, TVRI harus melayani masyarakat. Ketika bicara pelayanan publik, tentu kita harus ekstrahati-hati. Informasi apakah yang dibutuhkan masyarakat dalam pemilu presiden, misalnya. Tentu saja, masyarakat ingin mengetahui siapakah calon presidennya. Rasa ingin tahu masyarakat inilah yang harus dilayani oleh TVRI sebagai televisi publik. Bukankah agenda pemilihan presiden itu menjadi domain publik? Bukankah hal inilah yang hendak dijawab oleh TVRI dalam menjalankan fungsi pelayanan publik.

Akan tetapi, langkah TVRI ini justru mendapatkan respons sebaliknya dan berujung pada sanksi oleh KPI. Padahal, semestinya, langkah TVRI ini perlu didukung semua pihak. Pasalnya, kebutuhan masyarakat hari ini dan nanti adalah bagaimana mendapatkan informasi politik yang jujur, objektif, adil, mendidik, dan mencerdaskan dari televisi. Sebab, hal tersebut telah hilang dari siaran televisi kita akhir-akhir ini. 

Tayangan televisi (swasta) akhir-akhir ini hanya berisi tayangan pencitraan dan kampanye bagi para calon presiden dan partai pendukungnya yang kebetulan menjadi "pemilik" stasiun televisi tersebut. Mereka bisa leluasa memanfaatkan stasiun televisinya untuk kepentingan diri dan partai politiknya. Lalu, bagaimana politisi dan partai politik yang tidak memiliki stasiun televisi? Bagaimana jika TVRI pun juga tidak mau memberikan kesempatan kepada mereka untuk bersiaran? Bukankah parpol itu juga bagian dari publik? Bukankah informasi tentang calon pemimpin bangsa itu menjadi urusan publik?

Yang perlu dirumuskan adalah bagaimana TVRI bisa seimbang memberitakan parpol-parpol. Perlu dipertimbangkan oleh TVRI untuk mengundang mereka untuk bersiaran secara bergiliran atau malah bersama-sama, misalnya. Dengan demikian, tujuan melayani publik itu bisa dicapai serta harapan masyarakat untuk melihat dan menilai para calon pemimpinnya dapat diwujudkan. Kepada TVRI-lah harapan terakhir ini disandarkan.

Tidaklah mungkin partai politik yang tidak memiliki stasiun televisi sendiri dapat melakukan siaran di stasiun televisi swasta dalam durasi seperti mereka yang memilikinya. Biayanya memang mahal. Memang akan lebih elok jika para "pemilik" stasiun televisi swasta ini mengundang partai politik (lawan politik) untuk bersiaran di stasiun televisinya, tentu saja tidak komersial. Dengan begitu, kita akan melihat sifat-sifat kenegarawanan para "pemilik" stasiun televisi yang menggunakan frekuensi milik publik. Sebuah pemandangan yang indah tentunya. 

Tetapi, apa mungkin? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar