Senin, 23 September 2013

Brick in The Wall

Brick in The Wall
Ahmad Baedowi ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 23 September 2013


“WE don't need no education. We don't need no thought control. No dark sarcasm in the classroom. Teacher leave them kids alone. Hey! Teacher! Leave those kids alone! All in all you're just another brick in the wall.“

Penggalan pedas dari lirik lagu Pink Floyd di atas ialah gambaran suram tentang suasana pendidikan di sekolah yang memperlakukan anak laksana robot. Sekolah seolah merupakan penjara bagi ruang imajinasi anak-anak karena kontrol guru yang cenderung melakukan pemaksaan prakonsepsi secara terstruktur terhadap cara berpikir siswa. Selain itu, sekolah juga dikritik karena baik guru maupun birokrasi pendidikan seolah hanya membangun dindingdinding kejumudan tanpa menghargai kreativitas anak.

Di era 80-an, lagu dari Pink Floyd itu bahkan dilarang diputar di Afrika Selatan karena dianggap telah memprovokasi masyarakat untuk berdaya dan mau terlibat mengurusi sekolah. Gambaran suram pendidikan melalui perilaku guru dan manajemen sekolah yang tidak sehat merupakan fenomena umum dari waktu ke waktu, bahkan terjadi hingga saat ini. Untuk kasus di Indonesia, keterputusan relasi sekolah dan masyarakat terjadi setidaknya sejak 1973 ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang inpres di bidang pendidikan.

Dengan keluarnya Inpres SDN No 10/1973, titik awal keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di Tanah Air dimulai. Dengan inpres itu pemerintah telah mengambil alih ‘kepemilikan’ sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratis bahkan sentralistis.

Mengembalikan kepemilikan sekolah kepada masyarakat merupakan agenda yang harus terus digulirkan melalui beragam skenario. Salah satunya seperti diusulkan oleh Gerry Stahl (2004), yakni praktik community-based learning (CBL) yang merujuk pada beragam bentuk pembelajaran, baik secara individual maupun kelompok dalam rangka melibatkan kembali peran masyarakat terhadap pendidikan secara aktif. Hal itu karena secara ekstrem CBL merupakan konsepsi sosial terhadap bentuk pembelajaran yang berlangsung di bawah kontrol masyarakat.

Masyarakat apatis

Jika pendidikan diartikan secara sederhana dalam bentuk kelembagaan, sekolah adalah penjelasannya. Karena itu, sekolah menjadi tempat bergantung setiap anggota masyarakat untuk mempersiapkan masa depan anak-anak mereka. Dengan sekolah yang memperoleh dukungan dari masyarakat yang berkehendak untuk berubah, sesungguhnya pendidikan telah bergerak ke arah yang benar. Tetapi jika yang terjadi ialah sebaliknya, ketika masyarakat apatis dan tidak peduli dengan sekolah, bisa jadi peran sekolah yang laksana pabrik akan terus bertahan dalam memproduksi robot-robot yang tak punya hati.

Pada tingkat tertentu, kondisi persekolahan kita akan menjelma menjadi beban bagi masyarakat. Karena seperti disebutkan oleh Geneva Gay (2000), school cannot solve society's problems. In fact, school could affect much more rapid reforms if society changed fi rst. If society really stopped being racist, it would insist (and enforce the expectation) that all its institutions, including school, do likewise. Ini artinya harus ada kemauan yang secara positif dan aktif tumbuh dari kesadaran masyarakat untuk mengambil alih peran pemerintah dalam mengelola pendidikan secara tunggal.

Di tengah sikap mental masyarakat kita yang saat ini sangat permisif dari segi budaya dan mudah mengambil kesimpulan karena belum terbiasa dengan perbedaan pendapat, jelas posisi sekolah sebagai katalisator kehidupan bermasyarakat bagi anak-anak di masa depan menjadi dipertanyakan. Sekolah dengan struktur manajemen yang sehat dan dukungan masyarakat yang kuat merupakan kata kunci yang tepat untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul saat ini di tengah masyarakat.

Jika sekolah dipercayai sebagai tempat untuk menempa seseorang dalam mengembangkan kapasitas intelektual, di saat ribuan teks dan buku diajarkan dan dibaca secara reguler dan inspiratif melalui serangkaian proses belajar mengajar yang baik, tak mengherankan bila sampai saat ini masih banyak orang menaruh harapan terhadap eksistensi sekolah. Meskipun sekolah kerap dikritik sebagai tempat atau karantina yang mungkin saja membelenggu kebebasan manusia dalam berekspresi (deschooling society), hingga saat ini hanya lembaga itulah (sekolah) yang di luar keluarga (family) masih memiliki kekuatan melakukan perubahan, baik terhadap perorangan
maupun kelompok.

Pentingnya mengembalikan peran masyarakat agar bertanggung jawab terhadap persoalan pendidikan di tingkat sekolah/lokal melalui sebuah program pemberdayaan yang terstruktur dan sistematis adalah tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Jika masyarakat paham tentang penahapan perencanaan pendidikan, mengetahui arah dan tujuan sekolah, mengerti meski sedikit tentang performance indicators baik yang berkaitan dengan siswa maupun guru, serta paham tentang arah pengembangan kurikulum, sekolah pasti akan memperoleh dukungan yang baik (Boyd and Claycomb, 1994).

Bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat paling tidak mencakup program pemberdayaan orangtua (parent empowerment) dan kemitraan masyarakat dan sekolah (partnership/communal parents and teachers collaborate equitably). Dalam banyak penelitian tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan, bentuk kedua berupa kemitraan sekolah dan masyarakat yang sederajat (equal partnership) merupakan strategi yang paling efektif dan memberi pengaruh besar terhadap hasil belajar siswa (Bauch and Goldring, 1998).

Dari program pemberdayaan itu akan muncul kesimpulan, apakah misalnya sebuah sekolah harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip pembiayaan yang berorientasi pasar atau dibangun berdasarkan kemampuan masyarakat itu sendiri. Di tengah desakan liberalisasi ekonomi yang merambah hingga ke jantung sekolah, pola partnership sekolah dan masyarakat adalah pilihan strategis dan fundamental untuk menentukan posisi masyarakat dan sekolah secara bersamaan. Posisi tawar masyarakat terhadap kualitas sekolah, dengan demikian, harus terus digiring ke arah pertumbuhan yang sesuai dengan tingkat kemampuan pembiayaan masyarakat itu sendiri, sehingga hal itu diharapkan akan menjadi pertanda bangkitnya kepedulian masyarakat terhadap sekolah. Banyak kasus ditemukan bahwa semakin demokratis masyarakat dalam merencanakan kebijakan sekolah, maka akan semakin baik kualitas sebuah proses pendidikan akan berlangsung (Resnick, 2000). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar