|
Budaya tuding adalah refleksi dari
sikap hidup, kebiasaan, dan perilaku kehidupan yang antitanggung jawab.
Artinya, ketika kehidupan menuntut tanggung jawab seseorang (sesuai status dan
profesi masing-masing), ia cenderung menolak bertanggung jawab.
Budaya tuding
ini khas Indonesia yang kontraproduktif. Lihatlah gejala budaya tuding itu
dalam keseharian kita, di sekeliling kita, di negeri ini. Di kalangan pemimpin,
pejabat baru menuding pendahulunya atau sebaliknya: sang pendahulu menuding
penggantinya tidak becus. Pemerintah lama menuding pemerintah baru sebagai
penyebab amburadulnya kehidupan berbangsa, demikian juga pemerintah baru
menuding pemerintah lama punya kontribusi terhadap kondisi sekarang.
Prinsip
manajemen suksesi yang baik menyebutkan bahwa aspek tanggung jawab itu saling
terkait satu sama lain dalam dinamika organisasi, baik dari pemimpin pendahulu
maupun penggantinya, karena memang tak mungkin dipisahkan. Pejabat yang
antimundur, baik karena kesalahan maupun kegagalan, adalah refleksi dari budaya
tuding yang halus dan bersifat tidak langsung.
Alasan yang
dipakai dengan cara menuding atasannya: saya menunggu pemimpin, presiden, sebab
kewenangan menentukan dirinya harus mundur berada pada pemimpin. Pemerintah
saling tuding dengan DPR.
Ketika ada
narapidana yang kepergok hidup pesta-pora dan bak raja di penjara, semua saling
tuding: baik di antara petugas, pemimpin lembaga pemasyarakatan, maupun jajaran
kementerian. Pendeknya, budaya tuding terjadi dan merajalela hampir di segenap
dimensi, khususnya di kalangan pemimpin (nasional).
Pertanyaannya:
mengapa budaya tuding ini sangat kuat dan kental mewarnai kehidupan berbangsa
kita? Jawabannya ada pada pendidikan. Ya, pendidikan budaya tuding pada manusia
Indonesia itu dimulai sejak masa kanak-kanak sampai dewasa. Manusia Indonesia
terperangkap oleh lingkaran setan budaya tuding, sejak kecil sampai dewasa.
Sederhananya, sejak kecil seorang anak telah dididik tidak mengenal tanggung
jawab, menghindari tanggung jawab, dan menolak tanggung jawab.
Lihatlah
seorang anak yang terjatuh. Orangtua akan mengalihkan tanggung jawab pada batu,
lantai, bahkan pengasuhnya. Demikianlah proses pendidikan model budaya tuding
itu berlangsung di setiap kesempatan, termasuk di sekolah dan perguruan tinggi.
Selain
dialihkan ke obyek lain atau orang lain, orangtua juga sering mengambil alih
langsung tanggung jawab, bahkan ketika kehidupan menuntut seorang anak belajar
bertanggung jawab. Sekilas, orangtua bak pahlawan yang sanggup melindungi anak-
anaknya. Sementara itu, sang anak akan mulai belajar berdiri meringkuk di
belakang orangtua. Sejak itu seorang anak mengenal budaya tuding dalam
hidupnya.
Selanjutnya
ketika anak beranjak dewasa, kehidupan menyodorkan berbagai contoh kepemimpinan
budaya tuding di segenap dimensi kepemimpinan. Dan, ia mulai belajar melakukan
imitasi budaya tuding itu dari para pemimpinnya. Maka, demikianlah proses
pendidikan budaya tuding itu berlangsung terus-menerus, melalui lingkaran setan
budaya tuding yang tak pernah diputus mata rantainya.
Dua sindrom
Tentu saja pola
pendidikan budaya tuding pada masa kanak-kanak itu akhirnya juga melahirkan
para pemimpin yang sekarang memimpin bangsa. Lingkaran setan budaya tuding itu
setidaknya menghasilkan dua sindrom yang memprihatinkan.
Pertama,
sindrom kentut! Jika dalam kerumunan tiba-tiba ada suara atau bau kentut,
setiap orang akan cenderung berteriak lantang: ”Bukan saya!” Itu sebabnya,
sindrom kentut disebut juga ”sindrom bukan saya”. Ketika kesalahan terjadi,
seseorang akan cepat berteriak: ”Itu bukan saya, itu bukan tanggung jawab
saya.”
Kedua, sindrom tinggal
glanggang colong playu. Sindrom ini membuat seseorang lebih memilih
meninggalkan arena dan melarikan diri dari tanggung jawab, colong playu. Contoh paling menjijikkan
dari sindrom ini adalah para koruptor yang melarikan diri, menutup-nutupi
kesalahan kerabat atau koleganya.
Kedua sindrom
inilah yang, sekali lagi, dominan menghiasi pentas kehidupan berbangsa,
khususnya pentas kepemimpinan nasional. Katanya kita adalah bangsa yang besar,
tetapi kita lupa bahwa sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang punya
tanggung jawab, bangsa yang siap dan mampu bertanggung jawab. Semua itu dimulai
dari segenap warganya yang punya tanggung jawab.
Kata Winston
Churchill, ”The price of greatness is
responsibility”. Sebuah bangsa besar ditentukan kebesaran para
pemimpinnya dan juga kebesaran segenap warganya.
Siapakah yang
wajib memutus mata rantai lingkaran setan budaya tuding itu? Paling mudah
adalah dengan ”menuding” para pemimpin itu. Namun, dengan menuding para pemimpin
yang berkewajiban memberantas budaya tuding, berarti kita sendiri berperan
melestarikan budaya tuding. Soalnya, yang paling bertanggung jawab memutus
lingkaran setan budaya tuding, ya, kita semua yang termasuk dalam kategori
manusia dewasa Indonesia.
Dua tugas pokok
kita sebagai manusia Indonesia dewasa. Pertama, mendidik anak-anak kita belajar
bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan sikap dan perilakunya. Jangan lagi
suka mengambil alih tanggung jawab anak dengan dalih ingin menjadi orangtua yang
bertanggung jawab. Itu tak mendidik, tetapi menjerumuskan anak. Kelak anak akan
jadi manusia kerdil.
Kedua, memilih
dengan penuh tanggung jawab para pemimpin yang berlaga, baik di tingkat daerah
maupun tingkat nasional sesaat lagi. Kita wajib memilih para pemimpin yang
tidak dihinggapi budaya tuding dalam rekam jejaknya. Kita wajib memilih dengan
tanggung jawab yang total dan bulat, tidak asal nyoblos.
Saya jadi
teringat kebijaksanaan lama yang mengajarkan: ketika kamu menuding orang lain
dengan jari telunjukmu, pada saat itu ketiga jarimu yang lain menuding dirimu
sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar