Kamis, 05 September 2013

Sukarno untuk Sejengkal Jalan

Sukarno untuk Sejengkal Jalan
Agus Dermawan T  ;   Penulis Buku-Buku Berbasis Seni, Sosial, dan Budaya
KORAN TEMPO, 05 September 2013


Vught, sebuah kota kecil di "kabupaten" s-Hertogenbosch, Belanda, memiliki sebuah kompleks perumahan yang cukup luas. Dalam beberapa kali kunjungan, saya selalu tertarik pada ihwal yang sama: kompleks itu menamai beberapa area dan aneka jalannya dengan nama pelukis terkenal Belanda yang sezaman. Bahkan salah satu area di situ dinamai Rembrandtlaan. Kita tahu, Rembrandt adalah pelukis ternama Belanda abad ke-17, pencipta adikarya Nachtwacht (Penjaga Malam) yang dijadikan ikon Rijksmuseum, Amsterdam.
Sementara itu, di seputar Rembrandtlaan ada Ruisdaelstraat, Ostadestraat, Berckheydestraat, dan lain-lain. Hampir semua orang Belanda tahu, Jacob van Ruisdael, Adriaen van Ostade, dan Gerrit Berckheyde adalah pelukis-pelukis sohor Belanda abad ke-17 pula. Di luar kompleks, ada Hotel De Witte, yang meminjam nama pelukis Emanuel de Witte. Selanjutnya, mungkin karena tergetar oleh suasana kompleks yang dibaluti nama-nama pelukis, ada sebuah kantor swasta di situ yang arsitekturnya mengacu pada lukisan abstrak geometris-neoplastisisme Piet Mondriaan, pelukis Belanda ternama abad ke-20. Alhasil, kompleks perumahan di Vught itu bagai kitab sejarah seni rupa Belanda masa lalu.
Di St. Petersburg, Rusia, terbentang sebuah wilayah yang jalan-jalannya bernama sastrawan. Jalan terbesar tentu saja Maxim Gorky. Lalu, ada Alexander S. Pusjkin sampai Mikhail Y. Lermontow. Hal yang sama juga tampak di Oslo, Norwegia. Tak jauh dari museum sastrawan Henrik Ibsen, ada nama jalan yang diangkat dari penyair dan novelis. Seperti Bjorntjerne Bjorson dan Knut Hamsun. Semua itu mendampingi nama-nama pematung dan pelukis, seperti Gustav Vigeland dan Edvard Munch, yang terabadikan sebagai penanda tempat. Alhasil, sehamparan area di St. Petersburg dan Oslo bak sebuah ensiklopedi kecil sejarah seni, yang segera mengajak siapa pun untuk pelan-pelan mengingat sejarah besar kesenian negeri itu.
Kejayaan Nusantara
Penamaan jalan yang terkonsep seperti di atas pernah diadopsi oleh Ir Ciputra, pengembang proyek perumahan di banyak kota. Sekitar 20 tahun lalu ia berencana menamai jalan kompleksnya dengan nama-nama perupa dan pemikir seni rupa Indonesia yang harum namanya. Dari Jalan Raden Saleh, Affandi, Basoeki Abdullah, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, sampai Trubus.
Gagasan unik tersebut ternyata mendapat "koreksi" dari birokrat perencanaan kota. Sang penguasa meminta agar pihak pengembang menghapus beberapa nama perupa yang dianggap bekas anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang berafiliasi di bawah PKI (Partai Komunis Indonesia). Pihak Ciputra menolak. Lalu, daripada menganaktirikan beberapa perupa, gagasan itu pun dibuang sama sekali.
Penamaan jalan (termasuk taman, lapangan, plaza, gedung) secara konseptual tentulah penting untuk sebuah kota modern. Sebab, nama-nama itu pada akhirnya bukan hanya tampil sebagai penanda tempat, tapi juga menawarkan imajinasi, narasi, serta ingatan atas sebuah perjalanan peradaban. Sedangkan di sisi lain, lantaran penamaan jalan itu dibikin, disetujui, serta disahkan oleh orang per orang yang memiliki kekuasaan, kemunculan nama jalan akan selalu berhubungan dengan persepsi dan kepentingan (politik) penguasa wilayah. Sejarah kota Indonesia telah memberi penjelasan gamblang.
Henk Ngantung, mantan wakil gubernur dan Gubernur Jakarta sebelum 1966, bercerita bahwa konsep nama-nama jalan di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia acap dicetuskan oleh Presiden Sukarno, yang kadang mendapat masukan dari Muhammad Yamin dan Bahder Djohan. Pada masa Sukarno, konsep itu diberangkatkan dari sikap penjunjungan sejarah kejayaan Nusantara, serta kekayaan bumi Indonesia. Konsep ini lantas disampaikan ke gubernur, wali kota, bupati, dan seterusnya. Lalu, sejumlah jalan yang semula bernama Belanda lantas diganti.
Maka, di Jakarta pun muncul Jalan Majapahit, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Sriwijaya, Jalan Diponegoro, dan sebagainya. Sementara jalan-jalan yang relatif lebih kecil disemati nama Jalan Cendana, Jalan Kamboja, Jalan Salak, Jalan Jambu, Jalan Sawo, unsur flora yang membuktikan kesuburan Indonesia Raya. Bung Karno menyarankan agar setiap kota di Indonesia tak lupa mencantumkan nama pulau-pulau yang tersebar di Nusantara. Lantas menjulurlah Jalan Sulawesi, Jalan Madura, Jalan Maluku, dan seterusnya. Konsep ini diusung dari hasrat untuk menggerakkan warga kota agar selalu cinta kepada negeri, dan selalu mempercayai kekukuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jalan para jenderal
Zaman Sukarno yang Orde Lama beralih ke masa Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto. Sebuah peralihan segera membuat perubahan. Dalam urusan nama jalan, perubahan tersebut tertandai dengan merajalelanya nama-nama para jenderal tumbal revolusi korban kudeta G30S. Dengan demikian, Jakarta dan seluruh kota besar di Indonesia memasuki tahun 1970-an ramai-ramai memampang Jalan A. Yani, Jalan R. Suprapto, Jalan Katamso, Jalan D.I. Panjaitan, Jalan M.T. Haryono.
Bagi yang gemar sejarah, nama-nama itu tentu historis dan mendebarkan. Namun pengangkatan yang menderu-deru tersebut agaknya membuat sejumlah pengamat politik menduga: bahwa itu adalah bagian dari narasi politik Pak Harto dan Orde Baru, untuk terus menegaskan kekejaman kudeta PKI tahun 1965 dulu. Dan yang menarik, konsep politis Pak Harto ini begitu gampang diturunkan ke bawah, sehingga para petinggi kota (bahkan desa!) ramai-ramai menurutinya. Di balik itu, nama Sukarno dan Mohammad Hatta diam-diam tidak pernah ditawarkan, bahkan berhasil ditutup oleh nama Brigadir Polisi Satsuit Tubun dan Letnan Piere Tendean, yang juga korban G30S.
Era Orde Baru tamat dan kini diganti Orde Reformasi. Pada era ini pemimpin kota punya otoritas penuh untuk memberi nama jalan. Walaupun tetap harus ada restu dari institusi tertinggi negara. Dari sini Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama Panitia 17 lantas melemparkan wacana konseptual: ingin mengubah Jalan Medan Merdeka Utara jadi Jalan Sukarno, Jalan Medan Merdeka Selatan jadi Jalan Mohamad Hatta, Jalan Medan Merdeka Timur jadi Jalan Soeharto, dan Jalan Medan Merdeka Barat jadi Jalan Ali Sadikin. Sebuah usulan yang manis! Meskipun sebagian masyarakat menganggap penempatan nama empat tokoh amat besar tersebut kurang pas untuk menamai jalan-jalan yang amat pendek.
Karena itu, saya pikir lebih proporsional apabila seluruh (sekali lagi: seluruh) Jalan Medan Merdeka menjadi Jalan Sukarno. Sementara Jalan Mohammad Hatta menggantikan Jalan Matraman Raya. Jalan Kramat Raya, seandainya masyarakat menghendaki, diganti jadi Jalan Soeharto. Sedangkan Jalan Ali Sadikin menggantikan Jalan Gunung Sahari Raya. Semoga Pak Jokowi dan Panitia 17 berkenan kiranya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar