Minggu, 08 September 2013

“Roh” Jokowi-Ahok untuk Indonesia

“Roh” Jokowi-Ahok untuk Indonesia
 Emanuel Dapa Loka  ;   Penulis telah menulis buku Orang-orang HEBAT;
dari Mata Kaki ke Mata Hati
SINAR HARAPAN, 07 September 2013


Berbagai pihak menunjukkan tingkat elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) tak tertandingi. Begitu juga para bakal calon presiden seperti Aburizal Bakrie, Wiranto, Prabowo, dan lainnya.

Dari mereka sudah benderang keinginan untuk mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia (RI). Sementara itu, Jokowi belum mengatakan sepatah kata pun seputar bersedia atau tidak. Dia malah kerap berkata sedang pusing mengurus Jakarta.

Pertanyaan paling mendasar adalah mengapa Jokowi sangat populer dan digandrungi banyak rakyat Indonesia hingga ke pelosok? Tim relawan pendukung Jokowi untuk menjadi Presiden RI telah terbentuk di mana-mana. Mari kita mundur sejenak ke Pemilihan Gubernur DKI pada 20 September 2012.

Bagi penulis, kemenangan Jokowi-Ahok tidak aneh dan sudah bisa diprediksi. Mengapa? Pertama, karena rakyat telah bosan dengan retorika bertaburkan kata-kata serba-wah, tetapi miskin pembuktian dari kebanyakan pemimpin. Kedua, adanya kejengahan masyarakat pada sikap “orang-orang pilihan” yang menciptakan jarak dengan rakyat yang memilih.

Ketiga, berkembangnya sikap tidak mau tahu para “kaum terpilih” terhadap nasib orang kecil yang telah mendudukkan mereka di singgasana. Keempat, selama ini kerinduan rakyat belum terpenuhi akan pemimpin yang mau senasib dengan mereka, pemimpin yang selalu mau hadir dalam perjuangan hidup.
Rakyat hanya kebagian hal-hal seremonial dari pemimpin pilihan mereka di layar televisi, sedangkan pemimpin itu tak bisa mereka jangkau atau sentuh. Kelima, pola hidup mewah para pemimpin.

Tadinya, saat kampanye, mereka datang makan bareng di pasar, keluar masuk gang permukiman kumuh, mau berpeluh, tetapi setelah terpilih, mereka memilih duduk enteng di ruangan ber-AC dan melepaskan anak buah yang turun ke lapangan. Kemudian, anak buah dengan mental asal bapak senang (ABS) memberi laporan yang menyenangkan hati sang pemimpin.

Begitu muncul Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan segala rekam jejak yang merakyat, rakyat Jakarta langsung bersimpati lalu memercayakan suara mereka.

Rakyat tidak menuntut berlebihan kok! Mereka hanya mau ditemani dalam pertarungan hidup dengan pendampingan yang inspiratif. Mereka membutuhkan contoh dari pemimpinnya. Energi ini yang lama hilang dalam kehidupan mereka.

Menyangkal Diri

Dalam rekam jejak kepemimpinan Jokowi di Solo dan Ahok di Belitung Timur, serta sekarang di DKI, kelima hal tersebut tergores dengan jelas. Rakyat Jakarta yakin bahwa Jokowi dan Ahok bukan tipe pemimpin yang berorientasi pada diri sendiri dan kelompok.

Mereka dinilai sebagai tipe orang yang melupakan diri atau menyangkal diri bagi kepentingan orang yang mereka layani. Mereka telah menunjukkan diri sebagai pemimpin yang mau hadir dalam getir hidup orang yang mereka lindungi sambil memberi inspirasi.

Ya, Jokowi dan Ahok juga merasakan apa yang dirasakan rakyat, seperti kegembiraan, harapan, duka, dan kecemasan. Mereka tidak berpuas diri dengan jabatan yang dimiliki. Bagi mereka jabatan adalah amanah dan tanggung jawab. Melayani rakyat adalah wujud konkret dari tanggung jawab itu.

Seperti yang diyakini Eleanor Rooseveld, Ibu Negara AS (1933-1945), pemimpin yang baik menginspirasi pengikutnya untuk percaya pada pemimpinnya, tetapi pemimpin yang hebat menginspirasi pengikutnya untuk percaya pada diri sendiri. Bahkan, lebih dari tausiah Eleanor, Ahok dan Jokowi melalui tindakan nyata mengajak rakyat untuk memercayai mereka dan memiliki kepercayaan diri.

Dengan itu semua, mereka hendak mengembalikan kepercayaan rakyat pada pemimpin. Menurut saya, tingkat kepercayaan rakyat kepada para pemimpin di negeri ini sudah sedemikian parahnya.

Sungguh! Rakyat Jakarta (dan Indonesia) menginginkan perubahan. Mereka sadar bahwa Jokowi-Ahok tidak bisa "bersimsalabim" lalu terciptalah Jakarta yang aman, nyaman, tidak macet, dan tidak kebanjiran.

Mereka sadari itu! Namun, mereka yakin pula bahwa Jokowi-Ahok telah dan akan berusaha merealisasikan harapan mereka. Hal itu karena keterpanggilan sebagai pemimpin seperti yang dikatakan Jerry McClain bahwa contoh terbaik kepemimpinan adalah kepemimpinan dengan contoh yang baik pula.

Harus diakui, mereka belum sepenuhnya memenuhi seluruh harapan atau janji kampanye dengan “sempurna”, tetapi kerja keras mereka terlihat dengan jelas. Lihat Waduk Pluit, Pasar Tanah Abang, MRT, dan lain-lain. Semuanya dalam proses dan menunjukkan tanda-tanda berhasil.

“Keberhasilan” kedua pemimpin ini terletak pada konsistensi. Bukankah cukup kuat perlawanan warga Pluit atau para pedang kaki lima Tanah Abang menanggapi kebijakan Pemerintah DKI untuk melakukan penataan? Tetapi, dengan mata telanjang masyarakat bisa melihat bagaimana Jokowi tiada hentinya datang ke tengah-tengah kehidupan konkret rakyatnya.

Meski staf presiden Heru Lelono menyebutnya sebagai pekerjaan sia-sia. "Yang blusukan itu orang yang tidak punya kerjaan, nganggur, lalu jalan-jalan tanpa tujuan," kata sang staf ahli itu. Dia lupa bahwa blusukan adalah laku menjejak bumi untuk menangkap energi dari rakyat yang akan dilayani.
Saya kira, pola kepemimpinan dan pola kerja Jokowi-Ahok akan menginspirasi banyak pemimpin di Tanah Air. Roh tersebut harus bisa ditangkap oleh setiap pemimpin di Indonesia, termasuk para calon presiden.


Jika demikian, kepercayaan rakyat kepada pemimpin bisa kembali bertunas, berbunga, dan berbuah. Itu karena jika rakyat antipati, seorang pemimpin tak bisa apa-apa. Bersama rakyat yang penuh simpati, seorang pemimpin bisa dan mampu membangun republik yang kaya-raya ini menjadi negara yang bermartabat. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar