|
Berbagai
pihak menunjukkan tingkat elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) tak tertandingi.
Begitu juga para bakal calon presiden seperti Aburizal Bakrie, Wiranto,
Prabowo, dan lainnya.
Dari mereka
sudah benderang keinginan untuk mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia
(RI). Sementara itu, Jokowi belum mengatakan sepatah kata pun seputar bersedia
atau tidak. Dia malah kerap berkata sedang pusing mengurus Jakarta.
Pertanyaan
paling mendasar adalah mengapa Jokowi sangat populer dan digandrungi banyak
rakyat Indonesia hingga ke pelosok? Tim relawan pendukung Jokowi untuk menjadi
Presiden RI telah terbentuk di mana-mana. Mari kita mundur sejenak ke Pemilihan
Gubernur DKI pada 20 September 2012.
Bagi
penulis, kemenangan Jokowi-Ahok tidak aneh dan sudah bisa diprediksi. Mengapa?
Pertama, karena rakyat telah bosan dengan retorika bertaburkan kata-kata
serba-wah, tetapi miskin pembuktian dari kebanyakan pemimpin. Kedua, adanya
kejengahan masyarakat pada sikap “orang-orang pilihan” yang menciptakan jarak
dengan rakyat yang memilih.
Ketiga,
berkembangnya sikap tidak mau tahu para “kaum terpilih” terhadap nasib orang
kecil yang telah mendudukkan mereka di singgasana. Keempat, selama ini
kerinduan rakyat belum terpenuhi akan pemimpin yang mau senasib dengan mereka,
pemimpin yang selalu mau hadir dalam perjuangan hidup.
Rakyat
hanya kebagian hal-hal seremonial dari pemimpin pilihan mereka di layar
televisi, sedangkan pemimpin itu tak bisa mereka jangkau atau sentuh. Kelima,
pola hidup mewah para pemimpin.
Tadinya,
saat kampanye, mereka datang makan bareng di pasar, keluar masuk gang
permukiman kumuh, mau berpeluh, tetapi setelah terpilih, mereka memilih duduk
enteng di ruangan ber-AC dan melepaskan anak buah yang turun ke lapangan.
Kemudian, anak buah dengan mental asal bapak senang (ABS) memberi laporan yang
menyenangkan hati sang pemimpin.
Begitu
muncul Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan segala rekam jejak yang
merakyat, rakyat Jakarta langsung bersimpati lalu memercayakan suara mereka.
Rakyat
tidak menuntut berlebihan kok! Mereka hanya mau ditemani dalam pertarungan
hidup dengan pendampingan yang inspiratif. Mereka membutuhkan contoh dari
pemimpinnya. Energi ini yang lama hilang dalam kehidupan mereka.
Menyangkal
Diri
Dalam
rekam jejak kepemimpinan Jokowi di Solo dan Ahok di Belitung Timur, serta
sekarang di DKI, kelima hal tersebut tergores dengan jelas. Rakyat Jakarta
yakin bahwa Jokowi dan Ahok bukan tipe pemimpin yang berorientasi pada diri
sendiri dan kelompok.
Mereka
dinilai sebagai tipe orang yang melupakan diri atau menyangkal diri bagi
kepentingan orang yang mereka layani. Mereka telah menunjukkan diri sebagai
pemimpin yang mau hadir dalam getir hidup orang yang mereka lindungi sambil
memberi inspirasi.
Ya,
Jokowi dan Ahok juga merasakan apa yang dirasakan rakyat, seperti kegembiraan,
harapan, duka, dan kecemasan. Mereka tidak berpuas diri dengan jabatan yang
dimiliki. Bagi mereka jabatan adalah amanah dan tanggung jawab. Melayani rakyat
adalah wujud konkret dari tanggung jawab itu.
Seperti
yang diyakini Eleanor Rooseveld, Ibu Negara AS (1933-1945), pemimpin yang baik
menginspirasi pengikutnya untuk percaya pada pemimpinnya, tetapi pemimpin yang
hebat menginspirasi pengikutnya untuk percaya pada diri sendiri. Bahkan, lebih
dari tausiah Eleanor, Ahok dan Jokowi melalui tindakan nyata mengajak rakyat
untuk memercayai mereka dan memiliki kepercayaan diri.
Dengan
itu semua, mereka hendak mengembalikan kepercayaan rakyat pada pemimpin.
Menurut saya, tingkat kepercayaan rakyat kepada para pemimpin di negeri ini
sudah sedemikian parahnya.
Sungguh!
Rakyat Jakarta (dan Indonesia) menginginkan perubahan. Mereka sadar bahwa
Jokowi-Ahok tidak bisa "bersimsalabim" lalu terciptalah Jakarta yang
aman, nyaman, tidak macet, dan tidak kebanjiran.
Mereka
sadari itu! Namun, mereka yakin pula bahwa Jokowi-Ahok telah dan akan berusaha
merealisasikan harapan mereka. Hal itu karena keterpanggilan sebagai pemimpin
seperti yang dikatakan Jerry McClain bahwa contoh terbaik kepemimpinan adalah
kepemimpinan dengan contoh yang baik pula.
Harus
diakui, mereka belum sepenuhnya memenuhi seluruh harapan atau janji kampanye
dengan “sempurna”, tetapi kerja keras mereka terlihat dengan jelas. Lihat Waduk
Pluit, Pasar Tanah Abang, MRT, dan lain-lain. Semuanya dalam proses dan
menunjukkan tanda-tanda berhasil.
“Keberhasilan”
kedua pemimpin ini terletak pada konsistensi. Bukankah cukup kuat perlawanan
warga Pluit atau para pedang kaki lima Tanah Abang menanggapi kebijakan
Pemerintah DKI untuk melakukan penataan? Tetapi, dengan mata telanjang masyarakat
bisa melihat bagaimana Jokowi tiada hentinya datang ke tengah-tengah kehidupan
konkret rakyatnya.
Meski
staf presiden Heru Lelono menyebutnya sebagai pekerjaan sia-sia. "Yang
blusukan itu orang yang tidak punya kerjaan, nganggur, lalu jalan-jalan tanpa
tujuan," kata sang staf ahli itu. Dia lupa bahwa blusukan adalah laku
menjejak bumi untuk menangkap energi dari rakyat yang akan dilayani.
Saya
kira, pola kepemimpinan dan pola kerja Jokowi-Ahok akan menginspirasi banyak
pemimpin di Tanah Air. Roh tersebut harus bisa ditangkap oleh setiap pemimpin
di Indonesia, termasuk para calon presiden.
Jika
demikian, kepercayaan rakyat kepada pemimpin bisa kembali bertunas, berbunga,
dan berbuah. Itu karena jika rakyat antipati, seorang pemimpin tak bisa
apa-apa. Bersama rakyat yang penuh simpati, seorang pemimpin bisa dan mampu
membangun republik yang kaya-raya ini menjadi negara yang bermartabat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar