Kamis, 19 September 2013

RCEP di ASEAN dan Transformasi Perdagangan

RCEP di ASEAN dan Transformasi Perdagangan
Herjuno Ndaru Kinasih  ;    Peneliti Ekonomi ASEAN di The Habibie Center
KORAN SINDO, 19 September 2013



Akhir bulan lalu, menteri-menteri yang menangani persoalan perekonomian di masing-masing negara anggota Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) melakukan pertemuan 45th ASEAN Economic Ministers & External Partners di Brunei Darussalam. 

Pertemuan tahunan ini diikuti beberapa negara mitra ASEAN, di antaranya Australia, China, India, Jepang, Korea, dan Selandia Baru. Di antara banyaknya agenda yang harus diselesaikan, salah satu agenda yang mengemuka dalam pertemuan tersebut adalah negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP) di antara negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, dengan enam mitra dagangnya yang tersebut di atas. Negosiasi tersebut telah dimulai awal tahun ini dan diharapkan selesai pada 2015 nanti. 

RCEP adalah upaya negara-negara ASEAN untuk mengharmonisasikan berbagai aturan perdagangan yang berbedabeda di antara keenam mitra dagangnya. ASEAN telah menandatangani lima kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreements–FTA) sampai saat ini; yakni ASEAN-China FTA, ASEAN-Jepang Economic Partnership Agreement, ASEAN Korea FTA, ASEAN-Australia New Zealand FTA, dan ASEAN-India FTA.

Meskipun FTA dilakukan untuk memberikan perlakuan dan kemudahan bagi negara mitra dalam ekspor dan impor, permasalahan yang muncul dalam lima FTA di ASEAN adalah aturan perdagangan yang berbeda dari setiap FTA. Perbedaan aturan tersebut akhirnya membuat pelaku usaha kesulitan untuk mempergunakan kemudahan- kemudahan, misalnya keringanan bea masuk, yang telah disepakati dalam sebuah FTA. 

Oleh karena itu, RCEP dirundingkan dengan maksud untuk menyederhanakan aturanaturan yang berbeda tersebut. Ini penting dilakukan, karena rumitnya aturan tersebut membuat pelaku usaha kesulitan mempergunakan FTA ketika hendak melakukan ekspor dan impor. Survei Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2009 menyebutkan bahwa rata-rata pemanfaatan FTA negara-negara ASEAN hanya sebesar 22% dari total seluruh ekspor yang dilakukan ke negara mitra (ADB, 2009). 

Keberadaan RCEP sendiri di tingkat global menjadi rival bagi negosiasi serupa yang diinisiasi oleh Amerika Serikat, yakni Trans Pacific Partnership (TPP). TPP adalah kesepakatan perdagangan bebas yang diikuti oleh tujuh belas negara di Asia-Pasifik yang juga diikuti oleh beberapa negara anggota ASEAN, yakni Malaysia, Singapura, Brunei, dan Vietnam. 

Sejauh ini Indonesia belum bergabung dalam TPP, meskipun AS banyak melakukan lobi ke Indonesia untuk mengajak bergabung dengan TPP, misalnya dalam pertemuan antara Presiden SBY dengan Evan Greenberg, Kepala Dewan Bisnis AS-ASEAN yang dilakukan Juli 2012 lalu. Sebaliknya, RCEP dianggap sebagai langkah tandingan China terhadap Amerika Serikat untuk membuat kesepakatan perdagangan bebas dengan ASEAN.

Tak hanya China, Yukio Edano, menteri ekonomi, perdagangan, dan industri Jepang, dalam pembukaan negosiasi RCEP di Kamboja akhir 2012 lalu, juga menyatakan bahwa negosiasi RCEP penting bagi Jepang dengan berbagai agenda yang harus diselesaikan di antara ASEAN dan mitra dagangnya. 

Adanya tarik-menarik kekuatan global dalam membuat kesepakatan perdagangan bebas di ASEAN memperlihatkan bahwa kawasan Asia Tenggara semakin dinamis dan menarik bagi mitra dagang untuk meningkatkan aktivitas perdagangannya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga membuat kawasan Asia Tenggara semakin menarik bagi investor. 

Memperbaiki Kinerja 

Bagi Indonesia, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan perdagangan bebas perlu diimbangi dengan reformasi di tingkat domestik serta peningkatan kapasitas industri yang mumpuni. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi produk dari berbagai negara. 

Beberapa reformasi yang perlu segera dilakukan Indonesia seharusnya mencakup pengolahan produk mentah Indonesia (hilirisasi), peningkatan standar kualitas produk, peningkatan akses keuangan kepada usaha kecil dan menengah yang berorientasi ekspor, serta penerapan teknologi tepat guna dan sederhana. Masalah hilirisasi saat ini merupakan prioritas pemerintah yang telah dilakukan melalui berbagai program, salah satunya melalui Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). 

Hilirisasi dilakukan agar produk Indonesia mempunyai nilai tambah lebih dari sekadar barang mentah. Hilirisasi juga memerlukan akses permodalan yang semakin kuat serta teknologi yang memadai agar produk yang dijual lebih kompetitif dan bernilai tambah. Selain itu, peningkatan standar kualitas internasional di tingkat internasional juga perlu dilakukan, tidak hanya standar ISO, namun juga standar-standar keamanan pangan, ramah lingkungan, serta kesehatan. 

Misalnya untuk produk perikanan, sejauh ini Indonesia masih tertinggal dari beberapa negara, misalnya Madagaskar dan Bangladesh untuk pemenuhan standar global produk perikanan, yakni Hazard Critical Analysis Control Point (HACCP) dan Good Aquaculture Practice (GAP) (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012). 

Momentum Transformasi 

Ke depan, Indonesia mempunyai tantangan perekonomian yang semakin kompetitif dimana ekonomi semakin terintegrasi, khususnya di antara negara ASEAN. Dana Moneter International (IMF) dalam Regional Economic Outlook for Asia and the Pacific baru-baru ini meramalkan terjadinya ‘middle income trap’ untuk negara seperti Indonesia. 

Permasalahannya, ketika kenaikan harga barang dan inflasi terjadi tidak diimbangi dengan kompetitivitas perekonomian Indonesia, investor akan memindahkan usaha ke tempat yang lebih menguntungkan untuk usaha mereka. Misalnya ke negaranegara yang mempunyai upah buruh yang lebih murah seperti Laos atau Kamboja. 

Sementara itu, Indonesia masih belum mempunyai kekuatan yang cukup untuk menjadi produsen barang berteknologi tinggi yang akan dilirik investor yang berorientasi pada knowledge economy. Persiapan menghadapi RCEP dan Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk bertransformasi dari negara penghasil barang mentah dan buruh murah menjadi negara dengan produk-produk bernilai tambah yang berbasis industrialisasi sumber daya alam. 

Diplomasi ekonomi Indonesia juga seharusnya saling terhubung, antara mereka yang melakukan negosiasi di tingkat internasional dengan mereka yang menjadi perancang kebijakan dan regulator industri di dalam negeri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar