Kamis, 19 September 2013

Kerugian (Keuangan) Negara

Kerugian (Keuangan) Negara
Romli Atmasasmita  ;    Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
KORAN SINDO, 19 September 2013



Polemik mengenai kerugian (keuangan) negara dalam aktivitas bisnis terutama yang dilaksanakan oleh badan usaha milik negara (BUMN) muncul ketika Undang- Undang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) Tahun 1999 mencantumkan, kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur dari tindak pidana korupsi (Pasal 2 dan Pasal3). 

Penyusun UU Tipikor 1999 tidak mengantisipasi bakal terjadi polemik tersebut dengan pertimbangan bahwa korupsi identik dan melekat pada jabatan negara juga melekat pada penerimaan dan pengeluaran dana APBN/APBD serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun, penjelasan Pasal 2 dan Pasal 3 tidak menjelaskan makna dari pengertian istilah “kerugian keuangan negara” sehingga menimbulkan tafsir berbeda-beda baik dari sudut pandang hukum keuangan negara maupun hukum administrasi negara dan hukum pidana. 

Polemik sering hanya mempersoalkan definisi tentang kerugian keuangan negara implisit di dalamnya terkait definisi keuangan negara. Sedangkan dalam konteks UU Tipikor 1999, kerugian keuangan negara merupakan akibat dari perbuatan yang bersifat melawan hukum (unsur pertama) dan terdakwa, orang lain atau korporasi telah turut menikmati keuntungan dari perbuatan melawan hukum sehingga negara dirugikan. 

Intinya adalah kerugian keuangan negara an sich tidak mutatis mutandis telah terbukti tindak pidana korupsi jika tidak terbuktiunsurmelawanhukumapalagi unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, apalagi tidak terbukti pula unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atausarana yang ada pada terdakwa karena jabatan atau kedudukannya. Dalam konteks pembuktian unsur kerugian keuangan negara justru polemik beralih kepada persoalan definisi keuangan negara, bukan pada kerugian keuangan negara.

Sejatinya tidak ada relevansi antara persoalan kerugian keuangan negara dan persoalan apakah yang dimaksud dengan keuangan negara di sisi lain. Ini disebabkan persoalan terakhir berada pada ranah hukum administrasi keuangan negara yang telah diatur dalam baik UU RI Nomor 17 Tahun 2003, UU RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU RI Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 

Sekalipun terdapat dua persoalan hukum yang berbeda satu sama lain, tetapi kedua persoalan tersebut berkaitan ketika sampai pada pembuktian mengenai kerugian keuangan negara. Karena baik penyidik, penuntut, atau hakim memerlukan penjelasan mengenai arti istilah keuangan negara dari ahli hukum keuangan negara untuk membantu memperjelas dalam kaitan siapa bertanggung jawab terhadap apa. 

Di sinilah letak kekeliruan para aktor yang berpolemik karena mereka hanya fokus pada unsur kerugian keuangan negara tanpa mempertimbangkan secara hati-hati dan teliti unsur lain dalam tindak pidana korupsi sebagaimana telah diuraikan di atas. Kekeliruan tafsir hukum yang disebabkan perbedaan optik pandang para ahli hukum keuangan dan ahli hukum administrasi, ahli hukum perdata, dan ahli hukum pidana terjadi disebabkan rumusan ketentuan mengenai definisi keuangan negara yang sangat luas. 

Dengan begitu, identik dengan pengertian kekayaan negara yang merupakan genusnya, apalagi definisi tersebut mencakup dana yang diterima melalui penggunaan fasilitas negara. Perluasan terakhir mengakibatkan status BUMN dan pihak lain yang bekerja sama dengan BUMN berada pada status abu-abu (grey-area). 

Dari sudut hukum, status tersebut sangat rentan dan tidak ada kepastian perlindungan hukum terkait penguatan iklim bisnis yang sehat dan kompetitif. Kejernihan pemikiran dan kebijakan para ahli dan pengambil kebijakan serta penegak hukum termasuk hakim sangat diperlukan untuk mendudukan masalah kerugian keuangan negara pada umumnya, khususnya terkait fungsi dan peranan swasta terutama BUMN sebagai tulang punggung perekonomian negara Fungsi dan peranan hukum pidana yang benar adalah bersifat ultimum remedium yaitu hanya digunakan jika sanksi hukum administrasi dan sanksi hukum perdata tidak lagi dapat dipertahankan. 

Fungsi dan peranan hukum pidana dapat bersifat primum remedium dalam tiga hal. Pertama, kerugian akibat perbuatan melawan hukum sangat besar. Kedua, kerugian tersebut tidak dapat dipulihkan. Ketiga, pelakunya recidivist (de Blunt). Dalam konteks kerugian keuangan negara sejalan dengan tiga undang-undang terkait keuangan negara telah ditegaskan bahwa penyelesaian kerugian keuangan negara sekalipun sebagai akibat perbuatan penyelenggara negara/daerah yang bersifat melawan hukum harus melalui jalur sanksi administratif yaitu pengembalian kerugian negara yang diawasi BPKRI. 

Pintu masuk kerugian keuangan negara menjadi kerugian keuangan negara yang berindikasi pidana ditentukan oleh BPK RI, bukan oleh penyidik apalagi penuntut. Jika BPK RI berpendapat bahwa kerugian keuangan negara sebatas diperlukan tindakan administratif (administrative measures), penyidik dan penuntut tidak memiliki wewenang lebih jauh memasuki wilayah keuangan negara yang secara administratif merupakan wilayah pengawasan BPK RI. 

Penyidik dan penuntut wajib menghormati langkah dan keputusan BPK RI karena lembaga ini satu-satunya lembaga konstitusional yang berwenang memeriksa keuangan negara, kinerja lembaga negara, dan atas harta kekayaan negara yang dipisahkan. Terkait kerugian keuangan negara dalam aktivitas BUMN sesungguhnya dalam UU RI Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN telah jelas diterangkan struktur organisasi dan mekanisme kerja BUMN yang tunduk pada kekuatan hukum UU RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, berbeda dengan suatu perusahaan umum (perum). 

Indikasi pidana di dalam aktivitas BUMN atau perseroan terbatas lainnya memiliki alas hukum yang jelas, tercantum dalam ketentuan Pasal 155 UU tersebut yang menyatakan bahwa tanggung jawab (perdata) direksi atau anggota dewan komisaris tidak terlepas dari tuntutan pidana. Ketentuan ini kekeliruan yang sangat fatal dari pembentuk UU karena telah mencampuradukkan tanggung jawab perdata dan tanggung pidana yang sesungguhnya memiliki perbedaan mendasar satu sama lain. 

Di sinilah letak kekisruhan dan polemik berkepanjangan terkait aktivitas bisnis di Indonesia sehingga tidak jelas lagi mana yang termasuk risiko bisnis dan risiko akibat perbuatan melawan hukum yang berindikasi pidana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar