Kamis, 05 September 2013

Pergulatan Gerontokrasi Saudi

Pergulatan Gerontokrasi Saudi
Muhammad Takdir  ;   Praktisi Politik Luar Negeri
KORAN SINDO, 05 September 2013


Di tengah hiruk-pikuk peristiwa politik di Mesir yang semakin runyam, di bagian lain dunia Arab mulai tebersit spekulasi masa depan kekuasaan al-Saud brotherhood seiring usia senja Raja Abdullah bin Abdul Aziz bin Saud yang kini memasuki 90 tahun. 

Sejak tampil dominan dalam politik Saudi pada 1995 dan memimpin negeri itu 10 tahun kemudian, Abdullah dikabarkan berada dalam kondisi kesehatan yang sangat rentan. Putra Abdul Aziz al-Saud, pendiri dan raja pertama Arab Saudi dari pasangan permaisuri Fahda binti Asl al-Shuraim tersebut, jarang muncul di hadapan publik empat bulan terakhir ini. Abdullah dikabarkan terlihat ketika mempersingkat pelesirannya di Maroko pada Mei 2013 dengan kembali ke Ryadh akibat situasi pertikaian bersenjata yang semakin memburuk di Suriah. 

Keraguan pada AS 

Paling mudah menyelami spekulasi liar tentang masa depan kelanggengan klan al- Saud dengan memahami konfigurasi hubungan Saudi dengan patron strategisnya, AS. Bukan rahasia lagi bahwa kini keluarga al-Saud dibayangi keraguan terhadap komitmen regional AS di Timur Tengah, khususnya pada perlindungan kepentingan kerajaan, terutama setelah Arab Spring menghasilkan banyak pemerintahan baru di Tunisia, Mesir, dan Libya. 

Washington juga dinilai gagal menghidupkan komitmen-komitmennya pasca-Arab Spring di negara-negara bergolak tersebut. Di bawah setting hubungan seperti ini, tidak akan ada yang dapat memprediksikan dengan pasti destinasi akhir aliansi yang telah terbangun lama antara Washington dan Ryadh. Menyaksikan gelombang perang saudara yang kini terjadi di Suriah serta pergolakan potensi civil war di Mesir boleh dikata seluruh gelinding perubahan Arab Spring telah menjelma menjadi Arab Uprising. 

Istilah ini mengacu pada pandemik pemberontakan di banyak bagian wilayah Arab. Pergolakan di wilayah-wilayah itu menjadi periode paling gelap dalam sejarah Timur Tengah. Apalagi AS misalnya terlihat kesulitan membangun navigasi konstruktif dengan major player seperti Mesir yang kini kembali bergolak dengan ambruknya Presiden Mohammed Morsi, pentolan Ikhwanul Muslimin. Seolah-olah freedom agenda yang digaungkan pada masa pemerintahan Presiden George Walker Bush gagal dimodifikasi dengan cara lebih baik oleh Obama. 

Sekitar dua tahun lalu Presiden AS Barack Obama pernah menjanjikan era baru engagement negara itu di kawasan. Obama menyebut demokratisasi dan HAM sebagai prioritas perubahan yang digelindingkan di Timur Tengah. Kenyataannya, seruan itu diyakini cenderung diterima sebagai mixed signal yang dilematis bagi Saudi. Dengan model politik sekarang ini, sulit bagi Saudi mengikuti napas freedom agenda. 

Kalaupun Obama berhasil melakukan modifikasi terhadap freedom agenda, Saudi kemungkinan tetap tidak akan mudah membangun pilar demokrasi dan sentimen HAM yang sesuai kebutuhan gerontokrasi dalam tubuh dinasti al-Saud. Disebut gerontocratic rulers karena inilah bentuk penguasaan oligarkis yang sangat bergantung pada figur pimpinan paling dituakan dalam kelompok tersebut. 

Cara pandang Raja Abdullah yang sangat defensif untuk menjaga kelanggengan al-Saud brotherhood sama rumitnya dengan manuver zig-zag yang dilakukannya dalam mempertahankan keseimbangan perubahan dan politik establishment al-Saud. Pada 27 Mei 2013 misalnya, Abdullah memutuskan untuk meningkatkan status Saudi Royal National Guard, sebuah unit militer yang sangat berpengaruh dan telah dikomandoinya selama puluhan tahun menjadi institusi penuh kementerian. 

Putranya, Miteb bin Abdullah, 61, diproyeksikan mengisi posisi pimpinan pada kementerian baru tersebut. Manuver itu diharapkan memberi ruang political clout yang lebih baik bagi Miteb untuk dapat bersaing “memperebutkan” puncak kekuasaan kerajaan di Saudi dengan kalangan generasi muda al-Saud lainnya. Langkah tersebut lazim diambil pada situasi genting dan kritis yang memerlukan skenario antisipatif, baik secara politis maupun militer. 

Menariknya, Abdullah akan tetap mengedepankan proses suksesi yang memberi ruang bagi bertahannya gerontokrasi dalam tubuh kerajaan dengan memilih Pangeran Salman bin Abdul Aziz bin Saud, 77, sebagai salah satu figur alternatif. Para pangeran tua al-Saud (senior princes) masih ambivalen untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada generasi lapis kedua di luar keturunan pertama Abdul Aziz as-Saud yang berasal dari sekitar 16 istri atau permaisuri. 

Cara ini telah berlangsung selama 81 tahun dan dilakukan secara mulus dalam lima kali perpindahan tahta dari satu putra al-Saud ke putra al-Saud lainnya. Proses king-making seperti ini tidak akan berubah secara dramatis karena itu dapat mengganggu transformasi kekuasaan saat dalam kondisi regional yang sangat labil. 

Mempertahankan Gerontokrasi 

Washington cukup berhatihati mencermati pergerakan zigzag Raja Abdullah. AS sebenarnya lebih menyukai figur muda al-Saud yang dapat mempercepat pembaruan di Saudi dan berasal dari generasi yang lebih segar. Imbas Arab Springs, tidak terkecuali di Saudi, mendesak dibukanya jalan lebih lebar bagi demokratisasi dan reformasi sehingga membuat AS lebih acceptable di kawasan secara keseluruhan. 

Untuk itu, AS tentu punya figur favorit seperti Pangeran Mohammed bin Nayef, 53, yang kini menjabat menteri dalam negeri Saudi. Tetapi, Raja Abdullah punya cukup alasan untuk mengkhawatirkan ada potensi destabilizing power struggle di kalangan para pangeran muda al-Saud. Bisa dibayangkan bahwa dengan sekitar 50 sampai 200 anak dan cucu Abdul Aziz bin Saud yang berasal dari puluhan istri, intrik dan pergesekan kekuasaan akan selalu mewarnai sistem oligarki gerontokrasi Saudi. 

Jangankan figur muda al- Saud, gesekan pun sejak lama sudah terjadi pada lapisan generasi pertama Kerajaan Saudi. Abdullah punya relasi unik dengan royal family lain dari garis ibu bernama Hussah binti Ahmad al-Sudairy atau lebih populer dikenal sebagai “The Sudairy Seven”. Hubungan Abdullah dengan The Sudairy Seven bisa disebut kompleks dan tricky. 

Abdullah “terikat” untuk bermain cantik dengan “The Sudairy Seven” karena setelah memecat Pangeran Ahmad bin Abdul Aziz, 73, putra paling bontot keluarga Sudairy sebagai menteri dalam negeri pada November 2012, Abdullah harus bersandar pada Pangeran Salman bin Abdul Aziz, 77, sebagai calon pemegang tahta selanjutnya. Padahal Pangeran Salman merupakan saudara kandung Pangeran Ahmad. 

Abdullah juga sebelumnya memiliki hubungan tidak “sreg” dengan putra Sudairy lainnya karena mematahkan dominasi almarhum Pangeran Sultan bin Abdul Aziz di Kementerian Pertahanan dan Penerbangan Sipil Saudi akibat tuduhan penyalahgunaan keuangan. Pada saatnya nanti, jika kesehatan Raja Abdullah memaksa ada alih kekuasaankepada Pangeran Salman, Pangeran Ahmad akan ikut diuntungkan oleh pergeseran tersebut. 

Sebaliknya, jika dengan izin Tuhan––Abdullah berusia lebih lama daripada Salman yang kini diduga mengidap penyakit Alzheimer ataupun masalah kesehatan lainnya, kemungkinan Raja Abdullah lebih memilih saudara tirinya dari lain ibu, Baraka al-Yamaniyah, yakni Pangeran Muqrin bin Abdul Aziz, 68. Pada akhirnya kendali kerajaan terus berputar di lingkaran para tetua dan pangeran sepuh al-Saud. Publik lambat laun akan memahami bahwa karakter gerontokrasi sebenarnya menjadi persoalan mendasar langkah-langkah progresif Saudi kedepan. 

Dikhawatirkan, tekanan publik terhadap gelinding perubahan di Saudi akan membuat AS salah membaca seperti Washington membaca Mesir saat Mohammad Morsi digulingkan dengan cara kudeta militer. Ini sama kelirunya dengan penafsiran public terhadap dukungan al-Saud kepada para pemberontak Suriah vis-à-vis Bashar al-Assad yang dapat dimaknai ironis; keluarga kerajaan mendukung ada aksi perubahan, demokratisasi, dan reformasi di Arab Saudi. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar