Kamis, 05 September 2013

BDB Mengalir Sampai “Jauh”

BDB Mengalir Sampai “Jauh”
Effendi Syahputra ;  Ketua DPW Perindo Sumut dan Caleg DPR Partai Hanura Dapil Sumut I
KORAN SINDO, 05 September 2013


Bantuan Daerah Bawahan (BDB) di Sumatera Utara (Sumut) yang kini tiba-tiba mencuat menjadi buah bibir masyarakat provinsi ini. 

Padahal, seharusnya BDB menjadi satu program penguatan sektor keuangan kepada daerah-daerah (kabupaten/kota) yang ditujukan membantu programprogram kerja pembangunan daerah. Secara idealnya, program ini diharapkan mampu menjadi penunjang pembangunan di tiap daerah agar lebih agresif. Namun dalam praktiknya, terdapat beberapa permasalahan yang muncul sebagai implikasi negatifnya. 

Regulasi Lemah 

Lemahnya regulasi dan kurangnya standarisasi dalam penetapan jumlah besaran bantuan menjadikan program BDB ini menjadi tidak tentu arahnya, dan akhirnya dapat digunakan sebagai “mainan” kepentingan politik kelompok tertentu. Menteri Dalam Negeri sewajarnya dapat mengevaluasi program tersebut karena berdampak buruk dan melahirkan bentuk diskriminasi terhadap daerahdaerah, yaitu daerah yang mendapat bantuan dalam jumlah besar dan kecil. 

Kuat indikasi bahwa program ini hanya menjadi mainan politik semata karena dalam pengaliran BDB yang dilakukan Pemprov Sumut belakangan disinyalir bahwa pengeluaran dana tidak dilakukan melalui sidang paripurna. Ini membawa dugaan adanya penyalahgunaan keuangan yang dilakukan petinggi pemprov dalam pengelolaan keuangan daerah. Kondisi ini jelas dinilai menepikan asas transparansi publik yang pada pertengahannya menyeret nama-nama pejabat teras di lingkungan Pemprov Sumut sebagai saksi bahkan tersangka terkait isu ini. 

Bentuk outputdari sebuah kebijakan publik ala BDB di Sumut ini mencirikan kurang profesionalnya pemerintah daerah menjalankan dan mengayomi otonomi di daerah bawahannya. Padahal, seharusnya bisa menjadi alat pembelajaran politik bagaimana sebuah input (kepentingan publik ) diubah menjadi sebuah program kerja (policy), dan menghasilkan (output) yang berdampak positif untuk kepentingan publik. Secara idealnya adalah input yang merupakan perlunya bantuan tambahan dana percepatan pembangunan untuk daerah. 

Policy-nya adalah pemerintah pusat memberikan instruksi ke pemerintah daerah untuk program kerja (dalam hal ini BDB), dan output-nya hasil pembangunan yang merata dan terakselarasi dengan baik. Namun, saat ini kita ditemui lemahnya aturan dari kebijakan pemerintah pusat tersebut dan memunculkan efek negatif kepada pemerintah daerah yang kurang memiliki (political will) dalam mengutamakan kepentingan publik dalam hal transparansi dan pengawasan penggunaan dana bantuan. 

Akibatnya, terdapat sebuah kabupaten atau kota yang seharusnya menerima anggaran besar sesuai kebutuhan daerah itu malah hanya menerima sedikit sekali. Ketimpangan ini akhirnya memunculkan tragedi dimana salah seorang kepala daerah kabupaten yang kini menjadi tersangka korupsi BDB karena diduga menerima suap Rp1 miliar dari seorang kontraktor proyek BDB. Inilah salah satu bentuk penyimpangan yang menguatkan alibi bahwa BDB syarat akan kepentingan pribadi maupun golongan dari para pejabat pengambil kebijakan. 

Penangkapan salah satu bupati tersebut juga memunculkan efek negatif kepada daerah-daerah lain. Sebab, banyak kepala daerah yang saat ini menjadi takut mencairkan dan menyerap dana BDB karena ada traumatik dan rasa kehatihatian. Jadi, sudah tentu apa yang diharapkan dalam program BDB ini jauh dari apa yang diharapkan. Dapat dikatakan bahwa akibat lemahnya regulasi pemerintah pusat membawa dampak kepada lemahnya regulasi pemerintah daerah. Jadi, penyaluran dana dalam praktiknya untuk kepentingan publik dan pembangunan tidak memberikan hasil efektif yang dapat dirasakan masyarakat. 

Saran dan Kesimpulan 

Pemerintah pusat diharapkan merevisi aturan dan regulasi terkait pengelolaan keuangan daerah. Sebab, dalam Permendagri No 21/2011 tentang perubahan atas Permendagri No 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah belum memiliki parameter jelas dalam menetapkan besaran bantuan terhadap suatu daerah. Karena tidak adanya parameter dan standarisasi penentuan besarnya jumlah bantuan, dapat menjadi peluang untuk terjadinya lobi politik antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota untuk mendapat jumlah yang lebih besar. 

Tentu ini menjadi sarat akan penyimpanganpenyimpangan. Selain itu, mekanisme pemberian bantuan juga harus didasari asas efektivitas dan bukan hanya melihat skala prioritas serta urgensi yang nantinya dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik. Harapan kepada pemerintah daerah selaku perpanjangan tangan dari kebijakan pemerintah pusat seharusnya menjunjung tinggi asas transparansi dan netral dalam mengulurkan BDB. 

Selain itu juga pejabat eksekutif Sumut harus memperkuat komunikasi politik antarlembaga (eksekutif-legislatif) karena peranan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sumut juga menjadi penting ketika dana akan diturunkan untuk kepentingan proyek-proyek di daerah. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar