Sabtu, 21 September 2013

Perempuan Indonesia

Perempuan Indonesia
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 20 September 2013


PADA 11 September pekan lalu, ibu Ani Yudhoyono meng undang sekitar 200 perempuan untuk bersilaturahim di istana Presiden. Hadir dalam forum itu wakilwakil dari tujuh organisasi perempuan, ibu-ibu dari Ria Pembangunan, dan ibu-ibu menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Hadir pula sekelompok perempuan yang dikenal masyarakat karena kinerja atau kreativitas mereka.

Forum itu memang bukan cerminan seluruh masyarakat perempuan Indonesia, tetapi sifatnya strategis karena bisa bermanfaat untuk menyampaikan pesan-pesan yang menyangkut peran dan kesejahteraan perempuan, mengingat yang hadir umumnya memiliki kesempatan berpartisipasi memajukan kaum perempuan Indonesia. Ibu Ani menyampaikan sepintas tentang peran seperti itu dalam pidato pembukaan. Pada ujung acara pembukaan resmi, Presiden pun menyampaikan garis besar hasil kunjungan mereka ke tiga negara Eropa beberapa hari sebelumnya, yang antara lain membicarakan soal investasi di Indonesia.

Bagi yang hadir, forum itu selain untuk bersilaturahim dan lebih saling mengenal, juga bersifat informatif dan inspiratif. Tergantung masing-masing yang hadir bagaimana akan menindaklanjutinya. Paling tidak, forum itu membuat orang berpikir tentang nasib perempuan Indonesia saat ini.

Perempuan selalu tertinggal

Ibu Linda Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, di lain kesempatan mengakui bahwa perempuan Indonesia memang sudah ikut dalam kegiatan pembangunan, tetapi tingkat pendidikannya masih memprihatinkan. Rata-rata angka melek huruf dan lama pendidikan sekolah masih kalah dari laki-laki. Menurut data BPS, sebagian besar perempuan usia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan SMP ke bawah. Mayoritas perempuan hanya berpendidikan SD. Semakin tinggi tingkat pendidikan, partisipasi perempuan makin rendah: SMA hanya sekitar 19%, akademi dan perguruan tinggi hanya sekitar 6%.

Ketimpangan pendidikan tampak pada kontribusi pendapatan nasional yang menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan negara-negara lain, laki-laki Indonesia menempati urutan 66,5, sedangkan sumbangan perempuannya di urutan 33,5. Hampir 70% pekerja perempuan menjalankan kegiatan di sektor informal atau ekonomi rumah tangga yang tentu lebih fleksibel bagi peran mereka sebagai ibu rumah tangga.

Ada kaitan erat antara perempuan dan faktor ekonomi. Tentang itu, Charlotte Perkins Gilman, pejuang feminisme di Amerika, menulis buku terkenal Women and Economics (1898) yang antara lain menyatakan: kemandirian dan spesialisasi kaum perempuan di bidang ekonomi akan memperbaiki situasi perkawinan, peran sebagai ibu, industri rumah tangga, dan masalah rasial.

Berbicara tentang ketimpangan, salah satu tujuan penting MDGs (Millennium Development Goals) pada 1015 adalah mengusahakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Dua tujuan lainnya: menurunkan kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu. Pemilihan tiga tujuan penting itu menggambarkan ketertinggalan perempuan.

Perempuan di lembaga politik

Sejak awal era reformasi pada 1998, keterwakilan perempuan Indonesia di lembaga-lembaga politik sudah dipolakan lewat tindakan afirmatif berupa penerapan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Namun, tiga Pemilu--1999, 2004, 2009-tidak berhasil mewujudkan target tersebut. Adat istiadat, agama, dan budaya patriarkat-yang mewujud dalam sikap dan perilaku laki-laki ataupun perempuan sendiri--rupanya telah menghambat.

Memang partisipasi perempuan di parlemen berangsur meningkat: dari 9% di pada 1999, naik ke 11,3% pada 2004, kemudian 18% pada 2009. Untuk Pemilu 2014, diharapkan meningkat lagi. Melalui Peraturan KPU No 7 Tahun 2013, KPU tidak akan menerbitkan DCT (daftar caleg tetap) untuk parpol yang gagal memenuhi syarat keterwakilan di suatu dapil. Bagaimana pelaksanaan selanjutnya, kita tunggu.

Namun, dari seluruh 102 anggota perempuan yang ada di parlemen sekarang, diperkirakan hanya sepertiganya yang sepenuhnya sadar akan fungsinya. Kenyataan ini memperkuat sikap meremehkan kapasitas perempuan dalam dunia perpolitikan.

Sebenarnya keterbatasan itu juga akibat perencanaan partai-partai politik yang tidak secara serius mengagendakan pendidikan politik bagi para caleg perempuan. Selama ini politikus perempuan umumnya tidak terlalu diperhitungkan. Sebutan `konco wingking' bagi perempuan rupanya masih melekat di sanubari masyarakat. Masih diperlukan waktu lama untuk menghapuskan prasangka. Dalam proses sosialisasi ke dalam masyarakat yang sarat prasangka, tanpa sadar kita pun membiarkan prasangka menyerap dalam diri kita.

Diskriminasi memang bukan lagu baru untuk perempuan. Benih-benih egaliter laki-laki/perempuan baru mulai tumbuh pada abad ke-19, dan persamaan hak bagi perempuan baru dalam abad ke-20 berangsur dilembagakan, suatu proses yang meliputi: hak terjun dalam masyarakat, hak bersuara dalam politik, hak memperoleh kesempatan pendidikan yang sama, dan hak memperoleh penilaian atau upah yang sama. Namun, itu semua hanya hak, tergantung pada masyarakatnya apakah bersedia mengakuinya atau tidak. Kita telah terjebak dalam pola prasangka.

Rasanya masih diperlukan waktu lama untuk menghapuskan prasangka. Padahal, prasangka erat terkait dengan diskriminasi, dan diskriminasi adalah lambang keangkuhan yang mungkin hanya bisa ditundukkan oleh kebijaksanaan.


Menurut ajaran Timur lama, perempuan sejati tahu, perempuan ibarat air yang hanya mengisi, merendah, dan melimpah. Artinya, memperjuangkan kepentingan perempuan tidak harus diwarnai sikap agresif. Kata filsuf China Lao Tse (604-531 SM), “Mereka yang mengenal kemaskulinan tetapi tidak meninggalkan kefemininan akan menjadi saluran, dan seluruh dunia akan mengalir menuju dirinya.“ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar