Jumat, 06 September 2013

Penerapan Kesejahteraan Masyarakat

Penerapan Kesejahteraan Masyarakat
Mulyono D Prawiro  ;   Dosen Pascasarjana dan Anggota
Senat Universitas Satyagama, Jakarta
SUARA KARYA, 05 September 2013


Sebagai bangsa kita telah berhasil meraih kemerdekaan dari tangan penjajah dengan penuh perjuangan, cucuran darah dan air mata. Kini sudah lebih dari 68 tahun kemerdekaan yang dipersembahkan oleh para sesepuh pejuang kemerdekaan yang menjadi cita-cita seluruh bangsa Indonesia, namun tinggal kewajiban mengisi kemerdekaan tersebut, agar bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bahagia, sejahtera, adil dan merata.

Perjalanan bangsa yang penuh liku-liku dalam memperjuangkan kesejahteraan, tidak terlepas dari adanya kendala, baik kendala yang berasal dari dalam negeri sendiri, maupun muncul dari adanya pengaruh luar yang tidak selamanya menguntungkan rakyat Indonesia.

Kalau kita mencermati dan menyimak pidato kenegaraan Presiden SBY di hadapan anggota DPR RI dan disiarkan langsung ke berbagai penjuru tanah air melalui media massa, hati kita terasa sejuk dan tenteram, karena isi pidato tersebut antara lain mengetengahkan adanya tingkat pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia yang makin hari makin membaik, tingkat pengangguran semakin menurun dan yang paling menggembirakan hati adalah tingkat kemiskinan di Indonesia berhasil diturunkan, dari 16,66 persen pada tahun 2004, menjadi 11,37 persen pada tahun ini. Semua itu, suatu keberhasilan pembangunan yang luar biasa, apabila apa yang disampaikan oleh Presiden SBY itu betul-betul seperti itu adanya. Disisi lain, walaupun tingkat kemiskinan berhasil diturunkan, namun melihat jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar dan terus mengalami kenaikan, tercatat lebih dari 250 juta jiwa saat ini maka, secara kuantitatif jumlah penduduk mis-kin Indonesia pun terus mengalami kenaikan, yaitu masih berkisar 28 juta jiwa. Jumlah tersebut lebih besar lima kali lipat dibandingkan dengan jumlah penduduk Singapore yang jumlah berkisar hanya 5,3 juta jiwa.

Berbagai pertemuan nasional dan internasional, baik berupa seminar, konferensi, lokakarya, diskusi dan lain-lain, tidak sedikit yang menyinggung masalah kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan tersebut. Namun, lagi-lagi pertemuan tersebut hanya menghasilkan masukan ide yang dituangkan dalam bentuk dokumen yang berisikan rekomendasi. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah rekomendasi dari berbagai pertemuan yang note bene telah mengeluarkan tenaga dan pikiran dari para ahli dan pemikir itu dilaksanakan, atau hanya sekedar hasilnya ditumpuk di atas meja atau mungkin hanya masuk file. Seperti biasa, bahwa pada saat pertemuan dan diskusi berlangsung, terjadi perdebatan dan adu argumentasi yang sengit, sehingga menguras banyak pikiran dan tenaga.

Seperti halnya beberapa waktu yang lalu, di Surabaya telah diselenggarakan Konferensi Nasional Kesejahteraan Sosial (KNKS) ke-7, yang menghadirkan tokoh-tokoh nasional dan aktivis sosial yang sengaja datang dari berbagai daerah di tanah air. Di sini masalah kesejahteraan sosial muncul menjadi isu terkait perwujudan kesejahteraan itu secara berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka, negara dan pemerintah perlu hadir pada setiap upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Bila selama ini isu kesejahteraan menjadi isu yang kurang menarik dibandingkan dengan isu politik dan ekonomi, maka diharapkan oleh para pekerja sosial dan masyarakat luas, mulai berpikir dan merubah bahwa isu kesejehteraan tidak kalah menariknya dibandingkan dengan isu politik dan ekonomi, apalagi bila isu tersebut dikemas dengan baik dan dijadikan isu nasional. Sudah mulai banyak masyarakat kita yang apatis, jenuh dan kurang tertarik lagi dengan adanya isu politik dan ekonomi, yang diperlihatkan hanyalah perdebatan, permusuhan dan pertentangan sesama anak bangsa.

Dalam dunia politik terlihat manis di bibir, indah dalam kemasan dan rapi di atas kertas, tetapi kalau sudah terkait dengan pelaksanaan di lapangan masih perlu dipertanyakan. Masyarakat kita masih banyak yang perlu mendapat perhatian dan perlu ditangani secara lebih terhormat dan manusiawi, bukan dengan charitas tetapi dengan sentuhan-sentuhan pemberdayaan yang membuat mereka merasa dihargai dan dimanusiakan.

Meskipun menurut pemerintah kemiskinan telah berhasil diturunkan dan angka pengangguran juga telah menurun, namun sebagian besar dari masya-rakat belum begitu saja yakin dengan angka-angka yang menyejukan hati tersebut. Yang sangat jarang dimunculkan adalah adanya data kesenjangan, yang jarang sekali diketengahkan di publik. Menurut para pengamat sosial, kesenjangan di Indonesia bukannya bertambah mengecil atau menyempit, tetapi justru sebaliknya, semakin lama semakin melebar. Itu berarti bahwa pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik, hanya dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, sedangkan kalangan bawah hampir tidak tersentuh, bahkan tidak merasakan adanya dampak kenaikan atau pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Karena proporsi jumlah penduduk terus mengalami kenaikan, persoalan baru dalam bidang sosial juga terus bermunculan. Persoalan-persoalan sosial yang muncul akhir-akhir ini antara lain, kecacatan, keterlantaran, ketuna-wismaan, ketuna-susilaan, korban bencana, keterpencilan dan masih banyak lagi persoalan-persoalan sosial lainnya. Dari berbagai persoalan yang muncul tersebut, umumnya dikarenakan rendahnya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dan belum tercapaikan tujuan pembangunan millennium (MDGs).


Dalam salah satu butir rekomendasi Konferensi Nasional Kesejahteraan Sosial di Surabaya antara lain adalah, bahwa pikiran ekonomi Pancasila, pertumbuhan dan pemerataan bukannya suatu pilihan, tetapi harus terjadi secara bersamaan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi harus dicapai dengan cara memperluas pemerataan. Kunci terpenting dalam pemerataan adalah bukan dengan proteksi ekonomi, melainkan dengan mengembangkan sistem proteksi sosial. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar