Senin, 23 September 2013

Firasat

Firasat
Bre Redana ;   Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 22 September 2013


Yang sangat menyedihkan dari dunia yang telah dikuasai oleh rezim  entertainment alias rezim hiburan adalah ketika tragedi dijadikan hiburan murahan. Mari kita sebut ini sebagai ”entertainmenisasi tragedi”. Dengan mudah Anda mendapatkan contoh dari apa yang saya maksud di televisi kita.

Ketika remaja ingusan mengendarai mobil, lepas kontrol dan menyebabkan sejumlah orang tewas, beberapa hari setelah itu presenter cantik mewawancarai istri korban. Adakah sebelumnya ibu punya firasat tertentu? Apakah ada pesan-pesan khusus almarhum? Bagaimana perasaan ibu sekarang?

Implikasi dari pertanyaan tersebut adalah sebuah harapan akan adanya cerita yang dramatik sekaligus berbau metafisik. Itu tuntutan khas hiburan murahan. Disertai atau tidak disertai firasat, Mbak, kalau anak-anak bawah umur merdeka mengemudikan kendaraan bermotor, siapa saja warga bangsa ini bisa tertimpa naas terseruduk kendaraan.

Pada kasus yang saya contohkan, wawancara dilanjutkan dengan gambaran mengenai tanggung jawab ayah si remaja tadi, yang dikenal sebagai pemusik. Penyiar menggarisbawahi bahwa iktikad baik telah ditunjukkan si pesohor. Uang telah diberikan kepada keluarga korban.

Itulah contoh entertainmenisasi tragedi. Oleh sejumlah pemikir kebudayaan,  entertainment digolongkan sebagai sesuatu yang memecah atau mengalihkan perhatian kita dari kehidupan rutin sehari-hari. Ia menginterupsi kesadaran, membuat saraf serta pikiran bersantai sejenak. Dalam perspektif dunia hiburan, sebutannya leisure time—waktu senggang, waktu bersenang-senang.

Sesuai sifatnya, yakni sekadar membikin saraf dan pikiran bersantai sejenak,  entertainment cenderung dangkal. Contoh sudah dipaparkan di atas: tragedi dikompensasi dengan uang. Para nabi gadungan zaman ini merumuskannya sebagai ”win-win solution”.

Kalau mau sedikit dilanjutkan, di situ persis letak perbedaan antara  entertainment dan art. Art—secara sederhana diterjemahkan sebagai seni—membuat orang menuju titik kesadaran. Kesadaran tentang apa? Kesadaran tentang eksistensi. Sangkan paran.

Nah, kesadaran tentang sesuatu yang eksistensial itulah yang hilang dalam dunia komunikasi sekarang. Sebagian besar media massa menuju ke kedangkalan, terbawa arus media elektronik yang berasas kesegeraan—serba segera, cepat, tergesa-gesa.

Di televisi, lazim dijumpai penyiar bertanya, tetapi ketika narasumber menjawab, tiba-tiba dipotong. Atau jawaban belum selesai diuraikan, penyiar sudah mengucapkan terima kasih dan berlalu, untuk berceloteh hal lain lagi. Tinggallah si narasumber terbengong-bengong seperti manusia bego.

Tak diperlukan jawaban atas suatu pertanyaan. Pertanyaan dilemparkan iseng-iseng. Begitu situasi sekeliling kita sekarang: segala hal yang kita kira penting, baik menyangkut pekerjaan atau lembaga, sebenarnya isinya hanya orang-orang iseng. Atau jangan-jangan kurang waras.

Tidak mengherankan kalau kemudian kita kesulitan menemukan jejak moral. Moral bukanlah sekadar apa yang ada pada otak kita atau merupakan state of mind, melainkan apa yang kita lakukan. Berakar pada kata Latin mos (bentuk jamaknya mores), awalnya dia berarti membawa diri, atau juga secara fisik tegak. Pada kosakata itu selalu terkandung pengertian tanggung jawab seseorang atas apa yang diperbuatnya.

Komunikasi yang kacau tadi adalah cerminan, bukan saja kekacauan berpikir, tetapi juga kekacauan moral. Dalam komunitas yang mencoba menegakkan moral seperti di lingkungan Persatuan Gerak Badan Bangau Putih, Guru Besar Gunawan Rahardja selalu menekankan tiga karakter dasar, yakni tubuh, ucapan, dan pikiran. Dengan mengolah tubuh, ucapan, pikiran, diharapkan orang mengerti dan memahami diri sendiri.

Bagaimana praktik mengolah tubuh, ucapan, dan pikiran? Atau pada tingkat lebih lanjut, bahkan juga mengolah spirit?

Jawabannya, Anda harus berlatih. Kita perlu mematikan televisi, meninggalkan sejenak dunia hiburan, dunia main-main, dunia iseng-iseng yang kian menjauhkan orang dari kesadaran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar