Rabu, 18 September 2013

Mendorong Ketangguhan Sektor Pertanian

Mendorong Ketangguhan Sektor Pertanian
Ryan Kiryanto  ;    Kepala Ekonom BNI
SINAR HARAPAN, 18 September 2013


Kebijakan pragmatis impor bahan pangan yang notabene bersumber dari sektor pertanian tidak bisa diteruskan dalam jangka panjang.

Ketergantungan terhadap produk hortikultura impor harus dikaji ulang secara mendalam. Singkat kata, harus segera dicarikan upaya taktis untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan dari sumber domestik.
Penyelesaian di sisi hilir dengan cara membuka keran impor tidak bisa dilakukan terus-menerus. Harus ada kesadaran baru untuk kembali menjadi sebuah negara dengan kemandirian pangan yang tangguh. Kuncinya, penyelesaian persoalan sektor pertanian di sisi hulu harus menjadi perhatian serius pemerintah.

Sejauh persoalan di hulu tidak pernah diselesaikan sama sekali maka selamanya bangsa ini akan menjadi importir bahan pangan untuk seterusnya. Sungguh memprihatinkan! Maka penting bagi pemerintah untuk concern mencermati dan menganalisis data.

Dengan menganalisis data, perencanaan ke depan akan menjadi lebih baik. Penyelesaian masalah menjadi lebih proaktif, antisipatif, dan komprehensif ketimbang reaktif seperti yang terjadi selama ini.
Setidaknya ada tiga masalah besar yang harus secepatnya dituntaskan pemerintah. Pertama, soal berkurangnya jumlah petani atau rumah tangga usaha pertanian. Kedua, soal menyusutnya lahan pertanian, termasuk persawahan. Ketiga, relatif lemahnya dukungan sektor keuangan terhadap sektor pertanian.

Degradasi Sektor Pertanian

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir sejak 2003-2013 terjadi penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian di Indonesia. Namun, menariknya penurunan tersebut diikuti dengan peningkatan produksi pertanian. Sektor pertanian ini meliputi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan termasuk jasa pertanian.

Menurut data sementara pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian menurun 5,04 juta dari 31,17 pertanian pada 2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013. Atau terjadi penurunan rata-rata 1,75 juta rumah tangga per tahun.

Rumah tangga usaha pertanian adalah rumah tangga yang salah satu atau lebih anggota rumah tangga mengelola usaha pertanian. Meski terjadi penurunan, produksi padi justru meningkat dari 52,14 juta ton pada 2003 menjadi 69,27 juta ton pada 2013 atau tumbuh 3,29 persen per tahun.

Produksi jagung juga naik dari 10,89 juta ton pada 2003 menjadi 18,84 juta ton atau tumbuh 7,16 persen per tahun. Sumbangan pertanian pada Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat dari 14,3 persen pada 2004 menjadi 15,04 persen pada 2013.

Di sisi lain, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mencatat terjadi penurunan persentase penduduk lima belas tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian. Pada 2004 penduduk lima belas tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian menurun dari 40,61 juta orang atau 43,33 persen, menjadi 39,96 juta orang tahun 2013 atau 35,05 persen.

Fenomena tersebut tentu disebabkan peralihan profesi dari sektor pertanian ke sektor lainnya, seperti industri, perdagangan, rumah makan, jasa kemasyarakatan, jasa sosial, dan perorangan. Dengan kondisi ini, sulit bagi pemerintah bisa kembali merealisasikan swasembada dan kemandirian pangan.
Peningkatan produksi dan berkurangnya angkatan kerja sektor pertanian tersebut disebabkan faktor pemanfaatan teknologi. Memang di dalam ekonomi, negara semakin maju itu pada umumnya akan bergeser dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier.

Masalahnya, bagaimana supaya produktivitas 26 juta rumah tangga usaha pertanian yang ada bisa dioptimalkan dengan yield (imbal hasil) bisa ditingkatkan lagi melalui teknologi dan infrastruktur pertanian yang lebih baik?

Yang juga patut dicermati, telah terjadi pergeseran rumah tangga usaha tani dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa. Dominasi Pulau Jawa 57,48 persen rumah tangga usaha pertanian pada 2003, menurun menjadi 51,38 persen pada 2013.

Kendala yang dihadapi petani saat ini yakni modal terbatas akibat masih minimnya akses petani terhadap lembaga keuangan. Ditambah lagi, petani kerap diidentikkan dengan tenaga kerja kurang berpendidikan atau berpendidikan rendah. Ini menyebabkan tenaga kerja keluarga petani memilih melakukan urbanisasi ke kota hanya sekadar untuk menaikkan status sosial.

Alhasil, perpindahan penduduk dari desa ke perkotaan menghambat potensi-potensi ekonomi berbasis pertanian di pedesaan. Oleh karena itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang propetani. Diantaranya mengatur Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang menarik bagi petani.

Kalau ingin berpegang pada kedaulatan pangan maka penguasaan lahan itu menjadi strategi penting. Hasil Sensus Pertanian 2013 yang dirilis 2 September 2013 lalu masih akan dilengkapi dengan pendataan pendapatan usaha pertanian dan struktur ongkos usaha tani.

Pada akhir 2013, BPS akan merilis perkembangan luas lahan pertanian, alih fungsi lahan, hingga jumlah petani gurem atau petani yang menjalankan usaha pertanian dengan luas lahan terbatas. BPS mengambil sampel 420.000 rumah tangga usaha pertanian dengan tenaga pencacah sebanyak 245,4 ribu orang.

Cetak Sawah

Melengkapi perbaikan kebijakan di sektor pertanian di atas maka yang lebih konkret adalah terus mengupayakan pencetakan lahan pertanian baru. Fungsi lahan pertanian tidak boleh lagi digantikan fungsi lainnya. Dalam hal ini peran pemerintah pusat dan daerah untuk mengedukasi warga masyarakat terkait fungsi lahan menjadi penting.

Penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) di setiap propinsi/kabupaten/kotamadya menjadi penting sebagai patokan. Dengan adanya RTRW yang tersusun rapi, pemanfaatan lahan bisa diatur sedemikian rupa.

Tidak boleh ada pemanfaatan lahan untuk sektor pertanian dialihfungsikan ke sektor nonpertanian. Penambahan areal sekolah, public utilities, permukiman, dan areal kegiatan ekonomi ditata sesuai dengan peruntukan lahannya.

Dengan mengacu kepada RTRW yang baik, luas lahan pertanian tidak akan cepat susut. Pemerintah setempat pun wajib memberikan jaminan kepada warganya untuk tetap bekerja di sektor pertanian dengan terhormat.

Subsidi pupuk dan benih unggul atas beban APBN/APBD bisa diberikan kepada mereka guna merangsang komunitas petani di daerah tidak hijrah ke kota untuk sekadar alih status profesi.
Pembenahan sektor pertanian secara komprehensif tersebut akan memperbaiki persepsi lembaga pembiayaan untuk mulai menjangkau mereka.

Pelaku sektor pertanian yang tadinya dinilai unbankable dan tidak fisibel akan berubah menjadi bankable dan fisibel. Hal ini akan mendongkrak serapan kredit sektor pertanian yang selama ini terkalahkan sektor manufaktur dan sektor PHR (perdagangan, hotel dan restoran).

Sebagai negara kepulauan agraris yang luas dengan sumber daya alam melimpah disertai kesuburan tanah, sudah selayaknya sektor pertanian mendapat perhatian lebih baik dari seluruh pihak yang berkepentingan, terutama Kementerian Pertanian.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar