Selasa, 17 September 2013

Konspirasi Kegilaan

Konspirasi Kegilaan
Amir Machmud NS  ;  Wartawan Suara Merdeka
SUARA MERDEKA, 16 September 2013


“MENIKMATI” Vicky Prasetyo jelas berbeda dari menyaksikan Thukul Arwana. Aksentuasi “Twenty nine my age...” terasa gimanaaa gitu dibandingkan dengan cara Thukul mengucapkan “Don’t go anywhe­re...”, atau mungkin ke­tika pada masa kecil kita sering mencelutukkan “no what-what” untuk menutupi kekurangan dalam kemampuan berbahasa Inggris.

Gimanaaa-nya Vicky sangat terasa sebagai cara untuk “tampil lebih” (intelek) ketimbang Thukul yang sengaja mengutip beberapa penggal kalimat Bahasa Inggris agar “tampil lebih” (gila), juga kita pada masa kecil agar “tampil lebih” (bergaya).

“Intelektualitas” Vicky yang kemudian banyak “dikaji” oleh para intelek sejati segera mengingatkan saya akan celetukan-celetukan guyon pada masa kecil kita dengan memelesetkan serangkaian kata menjadi kalimat yang “seolah-olah Inggris”, “se­akan-akan Belanda”, menjawakan Inggris, atau menging­griskan Jawa.

Anda yang seusia dengan saya, dan mengenang tahun 1960-an atau 1970-an, pastilah mengakrabi kalimat yang jika diucapkan dengan aksentuasi tertentu seolah-olah ber-taste Belanda, “Bur nas koppen”. Hehehe, itu “bubur panas kokopen”. Atau kemasan kalimat njawani ini, “Blek-ket-det-in-the-ceret”. Walah, ternyata itu berserempetan dengan gathuk-mathuk kata-kata Inggris, “Black cat death in the chair red”, “Kucing hitam mati di kursi berwarna merah”.

Hadeh! Ternyata strukturnya kok ya “ke-Vicky-Vicky-an”, seperti ketika dengan pe-de dia mengemukakan “Twenty nine my age”, atau “I am froms the birthday in Karang Asih city...
Saya juga masih ingat bagaimana mengasah kefasihan keinggris-inggrisan itu lewat kalimat, “Lut my ndhut, you my wrong” sebagai pelesetan “Welut omahe ngendhut, yuyu omahe ngerong”. Juga “Dhah bong leng you” untuk mengatakan, “Dhadhahe kobong celenge mlayu”.

Bahkan yang Inggris beneran “Lion on the table” ini ternyata untuk menyebut nama “Mbah Singo­dimejo”, dan “You get boy”, “Wong ayu joget ditabuhi”.

Ke-pede-an untuk “tampil lebih” lewat eksploi­tasi penggunaan simbol-simbol bahasa, terbukti dijadikan jalan oleh orang-orang tertentu untuk meraih target-target tertentu. Vicky jelas berbeda dari Thukul, dari aspek panggung kehidupan yang se­sung­guhnya dan dari rasa panggung komedi untuk membuat khalayak tertawa.

Vicky tampil senekat itu bukan supaya ditertawai, tetapi berorientasi pengelabuan, agar orang terkesan dengan kemampuan bahasa Inggrisnya, sedangkan Thukul sengaja menunjukkan kebelepotan bahasanya untuk memperkuat ke-ndesa-an tampilan yang memancing tawa orang, karena memang yang “dijual” adalah kesan kekatrokan.

PENGELABUAN lewat simbol kemampuan mengemas bahasa, sejatinya merupakan refleksi dari panggung kehidupan kita juga. Ya, banyak Vicky di sekitar kita. Di ranah kekuasaan misalnya, betapa banyak politikus yang mencoba membius publik dengan menghamburkan retorika penuh janji.

Lihatlah di pentas-pentas talk show televisi, kepintaran menekak-nekuk lidah untuk unjuk diri dan menohok lawan, sungguh mirip dengan gaya Vicky ketika masih bernama Hendrianto di panggung kampanye Pilkades Karang Asih.

Dalam interaksi sosial, modus “pembiusan” juga banyak dilakukan oleh orang-orang yang tampilannya mampu meyakinkan pihak lain. Kasus-kasus penggandaan uang, penyertaan modal yang rendah logika, hingga para calo pekerjaan dan jabatan jelas menggunakan kelihaian persuasi berbekal kemampuan masing-masing dalam mengemas simbol bahasa.

Di sisi lain, kondisi kehidupan keindonesiaan kita seperti dibuka lebar oleh kehadiran Vicky Prasetyo dan Zaskia Gotik. Antara fenomena orang yang pintar membius dengan tampilan yang dibuat “plus”, dan fenomena orang yang mudah terpesona oleh kulit luar.

Kepintaran memindah panggung ke kehidupan nyata itulah yang dimiliki oleh orang-orang seperti Vicky, juga mereka yang dari berbagai panggung masing-masing direfleksikan oleh munculnya “tokoh fenomenal” ini.

Saya, juga mungkin sejumlah teman di masa SD atau SMP yang sempat menikmati kreasi panggung masa lalu tentu masih ingat ketika dalam drama 17 Agustusan diberi kasting peran sebagai tokoh Kumpeni. Dengan mondar-mandir kita berlagak kikuk bicara, “En kowe orang ekstremis van Batavia ya?”, atau ada juga yang mati-matian bergaya cedal menirukan aksen Tionghoa, “Haiyyaaa, blek dudu tong, tong dudu blek...”

Nah, sekarang Vicky mampu meminggirkan sekaligus mengaduk kembali kenangan masa kecil kita itu dengan lagak yang lebih nekat dan tendensius. Bahkan perbendaharaan kata “akademis” seperti “konspirasi kemakmuran”, “labil ekonomi”, atau “kontroversi hati” saya perkirakan menciptakan kondisi betapa orang-orang akademis pun bakal mulai malu mengumbar kosa kata ilmiah karena takut dikesankan “terkena Vickynisasi”.

Ya, sudahlah. Dari sisi konspirasi kegilaan, tulisan ini mungkin sedikit melengkapi statusisasi tampilan-tampilan yang dile­bihkan, atau selanjutnya bisa kita komuni­kasikan untuk membangun harmonisisasi...  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar