|
RAPAT pleno PBNU pada 6-8 September 2013 di Unsiq Wonosobo
menyisakan persoalan serius bagi NU sekarang ini. Persoalan mendasar itu adalah
bagaimana menegakkan khitah 1926 dari tarik-menarik kepentingan politik
menjelang Pileg dan Pilpres 2014. Netralitas NU dari tarikan politik adalah
keniscayaan sebagai jembatan keseriusan membangun umat.
Nahdliyin bisa menghadapi hambatan serius dalam
pemberdayaan umat jika selalu bergantung pada politik praktis. Politik praktis
menjanjikan secara materi namun melumpuhkan secara substansi. Pragmatisme
oportunistik adalah watak dasar politik di negeri ini sehingga segala cara
dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan.
Landasan ideal dan moral hilang dalam praktik politik para
politikus kita. Padahal pemberdayaan umat butuh ketulusan dan konsistensi
tinggi. Prasyarat itu sejak tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan, dan hingga evaluasi yang dilakukan secara sungguh-sungguh.
Pemberdayaan umat nahdliyin adalah bidang yang sangat urgen
yang tidak bisa diundur-undur lagi. Hal itu mengingat kompetisi dunia yang
makin keras, sementara kondisi internal NU masih mengkhawatirkan. Kemiskinan,
kebodohan, dan keterbelakangan pada berbagai bidang masih terlihat mencolok.
Karena itu, perlu peningkatan kualitas pendidikan sampai
berlevel global, pengembangan kemandirian ekonomi umat melalui lembaga mikro
syariah, seperti baitul maal wa tamwil (BMT), pelatihan tentang
entrepreneurship, dan lain-lain. Termasuk penggalangan kerja sama dengan pihak
internal dan eksternal.
Semua itu menjadi pekerjaan rumah yang harus segera
ditangani supaya organisasi tidak stagnan, tapi berjalan dinamis dan produktif
sehingga mampu memberikan kontribusi positif dalam dinamika global. Menegakkan
khitah dengan serius menggarap pemberdayaan umat ini harus dimulai dari para
elite pemimpin sebagai teladan bagi pengurus dan umat.
Jika pemimpin nahdliyin tidak memberikan keteladanan,
justru sebaliknya memanfaatkan jabatan untuk negosiasi pragmatis maka hasilnya
pun berbeda. Komisi politik yang digagas sebagai media komunikasi
antarpolitikus NU tidak berjalan seperti diharapkan karena egoisme sektoral
yang masih sangat kuat dalam psikologi politikus nahdliyin. Mereka tidak bisa
menanggalkan kepentingan kelompok demi kepentingan umat yang lebih besar.
Justru mereka menampilkan gesekan-gesekan kepentingan
yang sangat keras dalam tiap momentum politik, dengan menjadikan akar rumput
sebagai kelinci percobaan. Realitas negatif tersebut tidak selayaknya
dipertontonkan dan diteruskan jika ingin melihat kebesaran NU pada masa mendatang.
KH MA Sahal Mahfudh (2007) mengemukakan bahwa awal
kelumpuhan NU dalam bidang pemberdayaan umat dimulai sejak nahdliyin terlibat
dalam politik praktis yang serbainstan dan pragmatis. Etos kemandirian yang
sudah terbangun dengan baik, hancur oleh politik praktis dan sulit untuk
kembali membangunnya sampai sekarang.
Tiga Elemen
Secara historis, bangunan ekonomi NU sudah terjalin dengan
baik. Menurut KH Mustofa Bisri (2007), KH M Hasyim Asy’ari sudah merintis
koperasi syirkah al-inan dengan mendirikan beberapa toko yang memberikan diskon
khusus kepada warga NU dengan menunjukkan identitas ke-NU-an. Menurut Ali
Haidar (2002), bangunan ekonomi warga NU sudah merambah ke berbagai daerah,
dimulai dari Jombang-Surabaya dan Jember-Surabaya.
Ada kebanggaan menjadi warga nahdliyin karena
program-program yang dijalankannya mampu mengayomi dan memberdayakan umat. Para
pendiri NU telah membuktikan kepada umat bahwa kesuksesan itu terletak pada
kemampuan menyeimbangkan aspek intelektualitas, kemandirian ekonomi, dan
nasionalisme yang tinggi kepada bangsa dan negara.
Kolaborasi tiga elemen utama itulah yang menggerakkan
potensi warga NU sehingga mampu berkiprah secara luas dalam semua aspek
kehidupan, baik ekonomi, pemikiran, kebudayaan, maupun politik kebangsaan.
Kepincangan dari salah satu tiga aspek itu menyebabkan stagnasi dan degradasi.
Dakwah dengan tiga potensi inilah yang harus dikembangkan supaya umat makin
merasakan manfaat.
Menurut Sahal Mahfudh (1997), dakwah NU tidak hanya bil
lisan (orasi), tapi juga bil hal (aksi nyata) dengan program-program dasar yang
menyentuh kebutuhan-kebutuhan dasar. Pada era sekarang ini, kebutuhan dasar
manusia berkembang sampai pada aspek pendidikan dan kesehatan. Dakwah dengan
program konkret yang dirasakan manfaatnya akan selalu ditunggu umat sepanjang
zaman.
Dakwah bil hal butuh dukungan SDM profesional dengan
manajemen transparan, akuntabel, dan partisipatif. Mengembangkan dakwah aksi
nyata juga butuh konsentrasi tinggi, dan tidak bisa diraih dalam satu dua
tahun. Dengan dakwah bil hal inilah, eksistensi dan reputasi NU bisa terus
menanjak sebagai lembaga yang concern
pada pemberdayaan umat. Namun kesuksesan membangun dakwah itu sangat ditentukan
oleh kedisiplinan warga nahdliyin dalam mengawal khitah, dari pengurus besar
hingga ranting. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar