Selasa, 17 September 2013

Khitah Tahun Politik

Khitah Tahun Politik
Jamal Ma’mur Asmani ; Peneliti dari Fiqh Sosial Institute Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (Staimafa) Pati, Mahasiswa S-3 Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA, 16 September 2013


RAPAT pleno PBNU pada 6-8 Sep­tember 2013 di Unsiq Wonosobo menyisakan persoalan serius bagi NU sekarang ini. Persoalan mendasar itu adalah bagaimana menegakkan khitah 1926 dari tarik-menarik kepentingan politik menjelang Pileg dan Pilpres 2014. Netralitas NU dari tarikan politik adalah keniscayaan sebagai jembatan keseriusan membangun umat.

Nahdliyin bisa menghadapi hambatan serius dalam pemberdayaan umat jika selalu bergantung pada politik praktis. Politik praktis menjanjikan secara materi namun melumpuhkan secara substansi. Pragmatis­me oportunistik adalah watak dasar politik di negeri ini sehingga segala cara dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan.

Landasan ideal dan moral hilang dalam praktik politik para politikus kita. Padahal pemberdayaan umat butuh ketulusan dan konsistensi tinggi. Prasyarat itu sejak tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan hingga evaluasi yang dilakukan secara sungguh-sungguh.

Pemberdayaan umat nahdliyin adalah bidang yang sangat urgen yang tidak bisa diundur-undur lagi. Hal itu mengingat kompetisi dunia yang makin keras, sementara kondisi internal NU masih mengkhawatirkan. Kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan pada berbagai bidang masih terlihat mencolok.

Karena itu, perlu peningkatan kualitas pendidikan sampai berlevel global, pengembangan kemandirian ekonomi umat melalui lembaga mikro syariah, seperti baitul maal wa tamwil (BMT), pelatihan tentang entrepreneurship, dan lain-lain. Termasuk penggalangan kerja sama dengan pihak internal dan eksternal.
Semua itu menjadi pekerjaan rumah yang harus segera ditangani supaya organisasi tidak stagnan, tapi berjalan dinamis dan produktif sehingga mampu memberikan kontribusi positif dalam dinamika global. Menegakkan khitah dengan serius menggarap pemberdayaan umat ini harus dimulai dari para elite pemimpin sebagai teladan bagi pengurus dan umat.

Jika pemimpin nahdliyin tidak memberikan keteladanan, justru sebaliknya memanfaatkan jabatan untuk negosiasi pragmatis maka hasilnya pun berbeda. Komisi politik yang digagas sebagai media komunikasi antarpolitikus NU tidak berjalan seperti diharapkan karena egoisme sektoral yang masih sangat kuat dalam psikologi politikus nahdliyin. Mereka tidak bisa menanggalkan kepentingan kelompok demi kepentingan umat yang lebih besar.

Justru mereka menampilkan gesekan-ge­­sekan kepentingan yang sangat keras da­lam tiap momentum politik, dengan menja­di­kan akar rumput sebagai kelinci perco­baan. Rea­litas negatif tersebut tidak selayak­nya dipertontonkan dan diteruskan jika ingin melihat kebesaran NU pada masa men­datang.
KH MA Sahal Mahfudh (2007) mengemukakan bahwa awal kelumpuhan NU dalam bidang pemberdayaan umat dimulai sejak nahdliyin terlibat dalam politik praktis yang serbainstan dan pragmatis. Etos kemandirian yang sudah terbangun dengan baik, hancur oleh politik praktis dan sulit untuk kembali membangunnya sampai sekarang.

Tiga Elemen

Secara historis, bangunan ekonomi NU sudah terjalin dengan baik. Menurut KH Mustofa Bisri (2007), KH M Hasyim Asy’ari sudah merintis koperasi syirkah al-inan dengan mendirikan beberapa toko yang memberikan diskon khusus kepada warga NU dengan menunjukkan identitas ke-NU-an. Menurut Ali Haidar (2002), bangunan ekonomi warga NU sudah merambah ke berbagai daerah, dimulai dari Jombang-Surabaya dan Jember-Surabaya.

Ada kebanggaan menjadi warga nahdliyin karena program-program yang dijalankannya mampu mengayomi dan memberdayakan umat. Para pendiri NU telah membuktikan kepada umat bahwa kesuksesan itu terletak pada kemampuan menyeimbangkan aspek intelektualitas, kemandirian ekonomi, dan nasionalisme yang tinggi kepada bangsa dan negara.

Kolaborasi tiga elemen utama itulah yang menggerakkan potensi warga NU sehingga mampu berkiprah secara luas dalam semua aspek kehidupan, baik ekonomi, pemikiran, kebudayaan, maupun politik kebangsaan. Kepincangan dari salah satu tiga aspek itu menyebabkan stagnasi dan degradasi. Dakwah dengan tiga potensi inilah yang harus dikembangkan supaya umat makin merasakan manfaat.

Menurut Sahal Mahfudh (1997), dakwah NU tidak hanya bil lisan (orasi), tapi juga bil hal (aksi nyata) dengan program-program dasar yang menyentuh kebutuhan-kebutuhan dasar. Pada era sekarang ini, kebutuhan dasar manusia berkembang sampai pada aspek pendidikan dan kesehatan. Dakwah dengan program konkret yang dirasakan manfaatnya akan selalu ditunggu umat sepanjang zaman.

Dakwah bil hal butuh dukungan SDM profesional dengan manajemen transparan, akuntabel, dan partisipatif. Mengembangkan dakwah aksi nyata juga butuh konsentrasi tinggi, dan tidak bisa diraih dalam satu dua tahun. Dengan dakwah bil hal inilah, eksistensi dan reputasi NU bisa terus menanjak sebagai lembaga yang concern pada pemberdayaan umat. Namun kesuksesan membangun dakwah itu sangat ditentukan oleh kedisiplinan warga nahdliyin dalam mengawal khitah, dari pengurus besar hingga ranting.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar