Rabu, 04 September 2013

Akademisi dalam Pusaran Korupsi

Akademisi dalam Pusaran Korupsi
Karyudi Sutajah Putra  Tenaga Ahli DPR
SUARA MERDEKA, 03 September 2013


PEKAN ini KPK memeriksa Andi Alifian Mallarangeng, akademisi yang kemudian terjun ke politik dan menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga, sebagai tersangka korupsi proyek Hambalang. Dalam kasus korupsi proyek bernilai Rp 2,5 triliun itu Andi dijerat Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.

Sebelum terjun ke politik dengan mendirikan Partai Demokrasi Kebangsaan dan kemudian bergabung dengan Partai Demokrat, Andi dosen di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta. Rudi Rubiandini, sebelum menjabat Wakil Menteri ESDM dan kemudian Kepala SKK Migas adalah dosen dan Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB).

Dia kini ditahan sebagai tersangka suap setelah ditangkap KPK dengan barang bukti uang 700.000 dolar AS dari petinggi PT Kernel Oil di Indonesia, Simon Gunawan Tanjaya, pada 13 Agustus lalu. Rudi dijerat Pasal 12 Huruf a dan Huruf b atau Pasal 5 Ayat (2) atau Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Andi dan Rudi menambah panjang daftar tersangka kasus korupsi berlatar akademisi. Sebelumnya, ada mantan ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin. Mantan guru besar Universitas Indonesia (UI) ini tersandung kasus pengumpulan dana taktis dari rekanan KPU pada 2005. Nazaruddin divonis 6 tahun penjara dan mengembalikan kerugian negara Rp 1,068 miliar.

Lalu, ada Rusadi Kantaprawira, saat itu anggota KPU. Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, ini tersandung kasus korupsi pengadaan tinta sidik jari Pemilu 2004. Ia dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Berikutnya Mulyana Wirakusumah. Kriminolog UI ini tertangkap tangan saat menerima suap dari pegawai BPK. Saat itu Mulyana menjabat anggota KPU. Selain suap, Mulyana juga terlibat korupsi pengadaan kotak suara Pemilu 2004.

Mulyana divonis 2 tahun 7 bulan penjara untuk kasus suap, dan 15 bulan penjara untuk korupsi kotak suara. Juga ada Daan Dimara. Guru Besar Universitas Cendrawasih Jayapura, ini tersandung kasus korupsi saat menjabat anggota KPU. Dia dinyatakan terlibat korupsi pengadaan segel surat suara pada 2005. Daan divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhmin Dahuri tersandung korupsi dana nonbujeter saat menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Rokhmin divonis 7 tahun penjara. Selanjutnya Miranda Swaray Goeltom, Guru Besar UI ini terlibat suap pemberian cek pelawat kepada sejumlah anggota DPR pada 2004.

Miranda divonis 3 tahun penjara. Di daerah, Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Edy Yuwono ditahan kejaksaan, pada Rabu (21/8), sebagai tersangka korupsi dana corporate social responsibillity (CSR) dari PT Aneka Tambang untuk proyek Pengembangan Perikanan, Peternakan dan Pertanian Terpadu di Pantai Ketawang Grabag Kabupaten Purworejo.

Hasil audit BPKP Jateng per 1 Agustus 2013, kerugian negara dalam kasus itu Rp 2,154 miliar dari proyek kerja sama Unsoed-Antam senilai Rp5,8 miliar. Edy dijerat Pasal 2, 3, 9, dan 12B UU Nomor 20 Tahun 2001.

Penuh Jebakan

Mengapa akademisi terjerat dalam pusaran korupsi? Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta Alfan Alfian berpendapat, keterjeratan akademisi dalam kasus korupsi menunjukkan bahwa dunia politik penuh dengan jebakan, godaan, dan intrik. Jika tak berhati-hati, akademisi akan dimanfaatkan oleh politikus.

Menurut Alfian, ada beberapa faktor yang memengaruhi akademisi terlibat korupsi, antara lain mereka dikendalikan kekuatan besar yang memanfaatkan kesempatan dengan sistem yang mudah untuk menyimpangkan wewenang atau abuse of power. Dari sisi lain, Rektor Universitas Paramadina Jakarta Anies Baswedan mengakui citra kalangan akademisi jatuh gara-gara ada oknum terjerat korupsi.
Namun, untuk memperbaiki hal tersebut ia makin mantap terjun ke dunia politik dengan mengikuti konvensi calon presiden dari Partai Demokrat. Klaim bahwa akademisi terjebak dan dimanfaatkan politikus sehingga terlibat korupsi, bisa benar bisa tidak. Yang pasti, mereka bukan orang bodoh.

Namun orang pintar kadang masih kalah dari orang beja (beruntung). Barangkali mereka sedang apes. Betapa banyak pejabat korupsi tetapi tak tertangkap. Atau mereka pintar tetapi lugu, tidak menguasai medan, sehingga jejaknya mudah diendus. Bandingkan dengan politikus kawakan yang sering disebut terlibat korupsi tapi tetap aman.

Yang pasti, ada dua faktor yang memengaruhi terjadinya korupsi, yakni niat dan kesempatan. Bila niat itu ada tetapi tak ada kesempatan, “tidak jadi itu barang”.

Begitu pun bila ada kesempatan tetapi tak ada niat. Maka, dua faktor itu harus ditutup secara simultan. Nilai-nilai kampus mestinya membentuk karakter para akademisi sehingga tak ada niat korupsi. Sistem yang bagus dan bersih dapat menutup kesempatan korupsi. Dua hal itu menjadi tanggung jawab siapa? ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar